Pepatah bilang, “Katakan siapa temanmu, maka aku akan tahu: siapa kamu.” Ada pepatah lain yang juga mirip, “Buku yang kamu baca, menunjukkan siapa kamu sesungguhnya.” Tapi pepatah-pepatah itu sudah susah dipegang. Kita butuh pegangan pepatah baru, “Rokokmu menunjukkan watak dan tabiatmu.”
Kru Mojok berjumlah 10 orang. Kenapa harus 10? Karena kalau 11, dikira klub sepakbola. Kalau 12, dikira klub sepakbola, dan saya pasti tertuduh sebagai pelatihnya.
Dari 10 orang itu, ada 5 orang yang merokok, dan 4 orang yang tidak merokok. Lalu yang satu orang lagi? Masih labil. Bisa dimaklumi karena dia pernah aktif di PMII, dan sedang dalam tahap merenungi pilihan masa lalunya itu.
Mari kita telusuri para kru Mojok dan kita pindai watak mereka berdasarkan rokok yang diemut.
Kita mulai dari Ega Fansuri, orang yang paling bertanggung atas visual kreatif Mojok. Ega merokok LA Bold. Bungkus rokok itu hitam elegan. Isinya: berwarna putih, lencir, dan lumayan panjang. Orang yang merokok ini biasanya punya citarasa seni tinggi, suka bercanda, dan hangat dengan keluarga.
Soal kelucuan Ega, tak perlu ditanya lagi. Dari takmir masjid sampai tukang parkir, bisa merasakan sensasi kelucuan lulusan Diskomvis ISI tersebut.
Dia juga hangat dengan keluarganya, lebih tepatnya manja. Dia akan bela-belain pulang ke Magelang hanya untuk menikmati sayur tahu bikinan ibunya.
Untuk soal asmara, Ega termasuk cowok yang disukai banyak cewek. Tapi karena mencari sosok yang sesuai dengan karakter LA Bold: putih, lencir, dan elegan, besar kemungkian dia baru akan mendapatkan jodoh di usia 40 tahun.
Jika ditanya keluarganya kapan menikah, jawabannya: “Yang sabaaar ya, Booossss!”
Masuk ke sosok kedua: Prima Sulistya. Redaktur Mojok. Awalnya dia merokok A Mild, tapi semenjak punya pacar baru, rokoknya berganti dengan Djarum Black Cappuccino. Ini rokok yang agak aneh. Namanya: black, tapi warna isinya kecoklatan seperti warna cappuccino.
Cappuccino, sebagaimana Anda tahu, adalah minuman yang ditemukan karena ‘kecelakaan’. Seorang biarawan yang suka minum kopi, secara tidak sengaja menumpahkan susu ke dalam kopi hitamnya. Ketika dicoba, ternyata enak. Kini, selain susu, cappucino ‘modern’ juga butuh busa. Hal tersebut mirip kisah cinta Prima yang serba tak sengaja. Dan kalau dia sedang kena deadline atau panik, mirip busa: bergelembung dan mudah pecah. Mukanya pucat, agak panik, tapi lalu bisa menuntaskan tugasnya.
Kisah soal biarawan sebagai penemu cappucino hanyalah dugaan saya saja. Tidak perlu diperdebatkan.
Sosok ketiga bernama Dony Iswara. Dialah sang admin Mojok yang baru bekerja semalam sudah bikin geger dunia medsos karena istilah-istilahnya yang menggelitik. Dony merokok dua jenis dengan satu pabrikan: rokok putih Lucky Strike dan Lucky Strike Mild (kretek, ada cengkehnya).
Seperti merek rokoknya, Dony selalu diberkahi banyak peruntungan baik: kuliah di Fakultas Peternakan UGM, lalu memilih jualan CD film. Tapi dari dua pengalaman itu, dia dipercaya membuat sebuah film dokumenter tentang bebek. Film itu bagus secara kualitas karena memadukan dua dunia: pengalaman kuliahnya di Peternakan, dan sering menonton CD film yang dijualnya: Donald Duck. Itu pula yang bisa menjelaskan, kenapa akhirnya dia lebih memilih bergabung di Mojok padahal tawaran kerja di tempat lain begitu banyak.
Ya, karena Mojok punya rubrik baru: Hewani.
Kini kita memasuki tokoh selanjutnya. Siapa lagi kalau bukan Arlian Buana, Si Pimred. Rokoknya: Djarum Super yang berisi 12.
Dia termasuk orang yang kena mitos bahwa Djarum Super 12 berbeda rasa dengan Djarum Super 16. Sama kayak pengisap Surya 12 yang mengganggap berbeda rasa dengan Surya 16. Padahal ya sama saja. Pabrik rokok bakal repot memproduksinya kalau perbedaan tersebut benar-benar nyata.
Tapi begitulah: bungkus memberi sensasi dan persepsi. Sama dengan Bana, bagi dia bungkus sama pentingnya dengan isi. Ya, isi yang bagus akan tetap jelek jika bungkusnya tidak menarik. Maka dia selalu menjaga pola penampilan fisiknya. Potongan rambutnya, dua bulan sekali diubah. Busananya dipilih yang paling pas dengan situasi dan suasana hati. Gajetnya pasti yang termutakhir. Dan dia selalu menjaga pola makan ketat demi bisa keluar dari bayang-bayang rupa Aldi Bragi yang bersuara Ariel Noah.
Tokoh terakhir adalah Kepala Suku. Rokoknya selalu berganti. Karena bagi dia, merokok sama dengan makan. Kadang hari ini pengen sarapan pecel, makan siang di warung padang, dan makan malam menyantap nasi goreng. Rokok juga begitu. Fanatisme rokok menurutnya terlalu berlebihan. Perokok sebaiknya pluralis sejak dari barang yang disedotnya.
Sudah, jangan panjang-panjang soal Kepala Suku. Dia orang keramat. Makin banyak diobrolkan, makin menjadi mitos.
Jadi bagi Anda yang berpikir bahwa kru Mojok adalah perokok semua, singkirkan pikiran itu jauh-jauh. Sebagian dari kami merokok, sebagian yang lain tidak. Mereka yang merokok menghormati yang tidak merokok. Demikian juga sebaliknya. Kami tidak mau diadu domba perokok versus orang yang tidak merokok. Selain karena kami bukan domba, strategi itu bisa memecah belah bangsa. Kami tetap tim yang kompak dan penuh canda.
Eh, sebentar, ada satu yang belum dijelaskan: si labil Ali. Ya, videografer yang bimbang itu. Dia sedang berpikir untuk pindah dari PMII ke LMND. Tentu saja ini bukan soal ideologi. Ini soal panutan. Juga soal nama. LMND terdengar lebih elegan diucapkan dibanding PMII.
Tapi kami semua juga siap kalau suatu saat dia pindah aktif di Pramuka. Aktif di mana saja baik. Apalagi Ali yakin Pramuka sudah ada sejak zaman Gajah Mada. Hal itu terbukti karena Gajah Mada ahli dalam hal mencari jejak, lihai dalam tali-temali, cepat dalam mendirikan tenda, dan sering ditunjuk sebagai komandan upacara.