Mencari Guru Tersembunyi

guru-dalam-diri-mojok.co

MOJOK.CO“Anak muda, sekarang kamu mulai bisa menyesap dan merasakan makna-makna pengalamanmu. Saya sebenarnya hanya seseorang yang disuruh oleh guru tersembunyimu untuk membantumu.

Seorang terpelajar di Kota Sijistan, Malik bin Dinar, setelah bertahun-tahun berhasil menamatkan pelajaran filsafatnya dari berbagai guru di kotanya. Ia merasa sudah saatnya melakukan perjalanan dalam rangka mencari pengetahuan lebih jauh.

“Aku harus pergi berkelana menemukan guru tersembunyi seperti sering dikatakan, yang sebenarnya berada di dalam diriku sendiri,” gumam Malik suatu saat. Ia lalu meninggalkan rumah tanpa membawa bekal yang berarti. Ia berharap akan bertemu seseorang yang akan membimbingnya bertemu guru tersembunyi.

Di tengah perjalanan ia melihat seorang darwis sedang berjalan lamban di jalanan berdebu. Ia segera menyusul Sang Darwis dan ikut berjalan mengiringinya. Merasa dibarengi seorang pemuda, Sang Darwis bertanya, “Siapa kamu? Hendak ke mana kau, anak muda?”

“Saya Malik Dinar. Saya ingin bepergian mencari guru tersembunyi,” jawab Malik. “Apakah kamu mau menolongku?”

“Anak muda, aku Malik Al-Fatih,” jawab Sang Darwis. Ia melanjutkan dengan kalimat bersayap, “Menolongmu atau kamu yang menolongku?” Malik terdiam dan Syeikh Fatih berkata lagi.

“Guru tersembunyi itu sebenarnya ada dalam diri manusia sendiri. Namun, untuk mengenalnya orang perlu menyesap pengalaman-pengalaman dalam hidupnya. Hal-hal seperti ini sebenarnya hanya akan disampaikan seorang sahabat.” Malik masih saja terdiam.

Saat melewati sebuah pohon besar, tiba-tiba Sang Darwis membelokkan langkah menuju pohon tersebut. Malik pun mengikuti. Pohon berderit dan bergoyang ditiup angin.

“Pohon ini berbicara,” Sang Ddrwis berseru. Pohon besar tersebut tiba-tiba sungguhan berbicara.

“Tolong aku, ada sesuatu yang menyakitkanku.”

“Berhentilah sebentar. Tolong pindahkan sesuatu yang menempel pada batangku sehingga aku bisa terbebas dari rasa sakit,” keluh si pohon mengiba.

Segera saja Malik menjawab kesal, “Saya sedang terburu-buru, wahai pohon aneh! Bagaimana kau bisa ngomong seperti itu.” Malik segera menggelandang Sang Darwis dan mereka melanjutkan perjalanan.

Setelah beberapa mil Syeikh berujar, “Saat berada di dekat pohon besar tadi, sebenarnya aku merasa sedang menghirup aroma madu. Mungkin ada sarang lebah madu yang menempel di salah satu rongga di batang pohon tersebut.”

Mendengar penjelasan Sang Darwis yang meyakinkan, Malik segera menimpali, “Jika memang itu benar, kenapa kita tak kembali ke pohon itu? Mari kita kumpulkan madu di sana. Kita bisa menjualnya di tengah perjalanan.”

“Sekehendak kamu saja,” jawab Syeikh. Keduanya akhirnya kembali.

Saat mereka hampir tiba, mereka terhenti. Mereka dengan jelas bisa melihat segerombolan orang sedang mengumpulkan madu yang menempel di salah satu rongga batang tersebut dalam jumlah yang begitu banyak. Malik berguman pelan, “Betapa beruntungnya orang-orang ini.” Anak muda ini menatap mereka dengan tatapan kesal.

Salah satu dari mereka tiba-tiba berucap, “Dengan madu sebanyak ini, kita bisa memberi makan orang sekota.” Ia sambil menatap ke arah Malik melanjutkan, “Kami yang orang miskin ini hanya seorang pengelana yang beruntung. Dengan madu ini, saat ini juga kami bisa menjadi pedagang. Masa depan benar-benar ada di depan mata.” Malik dan Syeikh akhirnya melanjutkan perjalanan mereka.

Tiba di sebuah jalanan di lereng gunung, mereka mendengar suara dengung sayup-sayup. Sang Syeikh berhenti dan menempelkan kupingnya pada tanah. “Ada ribuan semut di bawah tanah ini sedang bergotong royong membangun rumahnya,” seru Syeikh. “Suara dengung itu sepertinya permohonan bersama mereka sebagai tanda minta pertolongan,” tambahnya.

Semut itu bersuara, “Tolong kami, tolong! Kami menggali dan terus menggali, tapi membentur batu besar. Bagaimana cara kita bisa mempercepatnya?”

“Saya tidak mengurusi semut apalagi batu,” timpal Malik. “Saya sedang dalam perjalanan mencari guru. Ayo orang tua, kita lanjutkan perjalanan kita.” Malik mendorong tubuh Syeikh. “Baik, anak muda,” jawab Sang Darwis, “Namun, tiap kejadian di dunia ini tak ada yang kebetulan. Semua serba terhubung.” Malik tak menggubris. Ia tetap mendesak melanjutkan perjalanannya. Mereka berdua berjalan kembali.

Menjelang malam, mereka berhenti untuk istirahat. Malik mencari-cari sesuatu. Ia mengatakan jika belatinya tertinggal di tempat semut tadi. Sang Syeikh menyarankan agar mereka kembali esok hari.

Fajar menjelang. Sang Syeikh dan Malik kembali ke tempat semula. Saat mereka tiba, Malik tak menemukan belatinya. Mereka justru melihat banyak orang bergerombol sedang menggali tanah di tempat semut meminta pertolongan kemarin. Tubuh-tubuh para penggali yang berlumuran tanah ini terlihat gembira menemukan timbunan emas dalam jumlah besar. Salah satu dari mereka berkata dan menatap pada Malik.

“Ini adalah timbunan emas tersembunyi setelah kami menggali tanah ini. Sebelumnya, saat kami sedang berjalan, tiba-tiba seorang syeikh menyuruh kami menggali tanah ini. Dan kami pun menggalinya. Sang Syeikh mengingatkan jika nanti bertemu batu besar, galilah di sampingnya. Di situ terdapat banyak emas.”

Malik tiba-tiba mengutuk diri sendiri, “Seandainya jika kita kemarin menggalinya, o Syeikh, mungkin hari ini kita telah kaya.”

Salah satu penggali buru-buru menimpali, “Syeikh yang menunjuki kami itu ada di sampingmu itu, anak muda!”

“Para darwis memang banyak yang mirip wajahnya,” Syeikh Fatih menyela, “mereka juga punya caranya sendiri-sendiri.”

Syeikh Fatih dan Malik bin Dinar melanjutkan lagi perjalanannya. Tiba di sebuah pinggir sungai besar, mereka menunggu kapal ikan yang akan menyeberangkan. Saat duduk-duduk menunggu di tepi, tiba-tiba mereka berdua melihat seekor ikan menyembul ke permukaan. Ikan tersebut berkata, “Saya tak sengaja menelan batu. Tangkap aku, berilah aku ramuan dedauan yang bisa membantuku memuntahkan batu dari dalam perutku ini.”

Belum sempat Sang Darwis menjawab, perahu ikan tiba dan mendekat. Malik yang tak sabaran segera mendorong syeikh melompat menaiki perahu. Syeikh Fatih memberi koin tembaga pada pengayuh kapal sebagai jasa imbalan. Mereka akhirnya sampai di seberang sungai dan beristirahat di kedai teh di pinggir sungai. Mereka pun terlelap.

Keesokan harinya mereka sedang duduk dan menikmati teh suguhan saat pengayuh perahu yang mengantar kemarin muncul kembali. Ia berkata kepada Syeikh bahwa tadi malam ia bermimpi bertemu seorang peziarah yang memberinya keberuntungan besar. Dengan raut gembira, ia meminta berkah kepada Syeikh Fatih dengan mencium tangannya. Syeikh Fatih pun mendoakan.

Si pengayuh perahu kemudian melihat di seberang sungai ada seseorang yang butuh diseberangkan. Ia pun menarik perahunya menuju seberang. Saat hendak mencapai pinggir sungai, Malik dan Syeikh melihat dengan jelas si pengayuh tersebut menceburkan diri dan menangkap seekor ikan. Ia terlihat memasukkan sesuatu ke mulut ikan tersebut hingga ikan tersebut memuntahkan dua benda ke pinggir sungai. Sebuah batu dan berlian indah. Ia kemudian mengantonginya dan segera menyeberangkan penumpangnya.

Melihat kejadian di depan matanya, Malik segera berteriak marah, “Kau benar-benar jahat, Syeikh! Kau mengerti tiga khazanah tersembunyi yang tak terlihat mata, namun kau tidak memberitahuku. Apakah ini yang disebut persahabatan sejati?” cecar Malik sembari menunjuk-nunjuk si darwis tua itu.

“Keberuntunganku memang kurang, Malik. Setelah bersama denganmu, bahkan aku tak bisa menangkap kemungkinan tersembunyi dalam pohon besar, sarang semut, dan ikan serta seluruhnya.”

Sesaat setelah menyeleseikan kata-katanya, tiba-tiba angin berembus pelan menerpa tubuh Malik. Angin itu begitu lembut hingga seolah-olah sedang menyentuh jiwanya. Ia menyadari kebenaran dari apa yang barusan Sang Syeikh katakan justru ada dalam perkataan sebaliknya.

Syeikh Fatih menepuk pundak Malik sembari tersenyum kecil, “Anak muda, sekarang kamu mulai bisa menyesap dan merasakan makna-makna pengalamanmu. Saya sebenarnya hanya seseorang yang disuruh oleh guru tersembunyimu untuk membantumu.”

Sang Syeikh pun berlalu meninggalkan Malik Dinar. Ia tersenyum.

Dinukil dan disadur dari Idries Shah Tale of Dervish, 1969, hlm. 148-151.

Baca edisi sebelumnya: Buah dari Kemalangan yang Seakan tanpa Putus dan artikel kolom Hikayat lainnya.

Exit mobile version