Membandingkan Strategi Jualan ‘Joke’ SARA Ernest Prakasa dengan ‘Dark Joke’ Coki Pardede

Membandingkan Strategi Jualan ‘Joke’ SARA Ernest Prakasa dengan ‘Dark Joke’ Coki Pardede

Membandingkan Strategi Jualan ‘Joke’ SARA Ernest Prakasa dengan ‘Dark Joke’ Coki Pardede

MOJOK.COErnest Prakasa nggak lucu kalau stand up, tapi bikin film? Jago. Kayak Coki, yang lebih moncer jualan produk kegelapan ketimbang stand up.

Ernest Prakasa bisa dibilang jebolan ajang pencarian bakat paling sukses di Indonesia. Bahkan melebihi Judika yang pernah jadi peserta, kini jadi juri Indonesian Idol. Sementara Ernest sampai punya perusahaan manajemen artis bernama Hahaha Corp yang menaungi para komika.

Harus diakui, banyak jebolan ajang pencarian bakat yang namanya meredup setelah masuk dunia hiburan yang sesungguhnya. Ada yang dulunya pengamen, setelah ikut kompetisi menyanyi dan jadi juara, tetap jadi pengamen. Mungkin mereka mesti belajar trik marketing ala Ernest Prakasa.

Tak hanya dikenal sebagai pelawak tunggal, Ernest juga punya segudang profesi lainnya. Sebutlah sutradara, aktor, dan penulis. Baru-baru ini ia mengantongi piala Citra yang kesekian untuk skenario yang ditulisnya.

Film garapannya tiap liburan nataru (natal dan tahun baru) selalu diputar di bioskop. Hanya di masa pandemi saja, ia absen. Sebagai ganti, penikmat karyanya bisa menonton serial Cek Toko Sebelah Babak Baru di Netflix. Lumayan menghibur di akhir tahun ini yang harus dilalui tanpa film Ernest Prakasa.

Ernest Prakasa ada untuk membuat pencapaian Raditya Dika di dunia film terasa biasa-biasa saja. Film-film absurd agak jayus ala Raditya Dika belum bisa menyamai film-film Ernest Prakasa yang lebih berprestasi di berbagai festival film.

Semua pencapaian itu dimulai dari audisi Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) season 1 yang dibawakan oleh Raditya Dika dan diikuti oleh Ernest Prakasa. Ernest mengawali kariernya dengan membawakan joke kodian di depan Indro Warkop selaku juri.

Kira-kira bunyi leluconnya begini: Di pasar, Ernest bertemu dengan pria sangar dengan tato bertuliskan “jagal pasar” di lengan. Ketika sang pria buka baju, tatonya terbaca menjadi “jagalah kebersihan pasar”.

Di antara kita yang pernah membaca joke kodian itu di buku kumpulan humor atau internet, tentu bisa menebak arah lawakannya. Namun, Om Indro yang tertawa pada joke itu bahkan sebelum punch line, dengan sukarela kasih golden ticket.

Jadilah kita mengenal Ernest Prakasa seperti sekarang. Seorang pegiat Twitter yang kerap menuai kontroversi setelah mendaku sebagai minoritas yang teraniaya, korban diskriminasi mayoritas.

Nyatanya, minoritas tidak melulu tentang golongan yang diperlakukan berbeda oleh mayoritas masyarakat. Minoritas bisa juga merujuk kepada kelompok kecil. Para elite seperti konglomerat, taipan, dan cukong, bisa juga disebut minoritas karena jumlahnya sedikit. Mayoritasnya ya kelas pekerja.

Minoritas bisa lekat dengan privilese. Seperti yang “dimanfaatkan” Ernest Prakasa. Hidup sebagai warga beretnis Tionghoa, Ernest menggunakan pengalaman hidupnya sebagai materi stand up comedy.

Berbicara tentang Tionghoa dan membuatnya sebagai lucuan-lucuan, hanya bisa dilakukan oleh Ernest. Kalau orang lain yang membuat lawakan serupa, bisa jadi joke SARA yang menyinggung.

Dengan joke berbau SARA, Ernest melaju sampai tiga besar SUCI dan dapat juara tiga. Runner up-nya Akbar yang terakhir terlihat sebagai peran pembantu di film Raditya Dika. Juara pertamanya adalah Ryan Adriandhy yang kini senasib dengan Ernest: memenangi piala Citra (untuk nominasi film animasi pendek terbaik).

Sejak awal, Ernest punya privilese sebagai orang yang punya akses untuk mempelajari stand up comedy dan kelimpahan referensi joke dari berbagai sumber. Ketimpangan informasi dan edukasi ini menentukan hasil dari sebuah usaha.

Contohnya, seorang peserta audisi yang seangkatan Ernest. Pria ini datang dengan mengayuh sepeda dari luar kota. Namun, di depan juri, dia malah storytelling ala fabel dan ditutup dengan slapstick akrobatik. Tentu saja juri tak melihat effort yang dikeluarkannya untuk datang ke lokasi audisi. Yang dinilai adalah materi komedinya.

Di season awal, banyak yang menganggap SUCI sama seperti API (Audisi Pelawak TPI). Tak heran banyak peserta yang berkostum nyentrik dan try hard too be funny. Otomatis gagal karena gagal paham.

Belakangan, ada komika yang gagal paham dengan konsep dark joke, yaitu Coki Pardede.

Pada awal tahun, Coki bikin lelucon tentang angpau di Cina berisi virus Corona. Ernest yang lebih senior (dan kebetulan merayakan tahun baru Imlek) sempat meluruskannya, “A dark joke is still a joke. Kalau dark doang tapi nggak ada lucunya, menurut gue sih jatuhnya cuma cari sensasi.”

Namun, menjelang akhir tahun, Coki membuat kontroversi dengan olok-olok lucu-lucuan dengan foto anak-anak Afrika yang kelaparan. Kalau Coki adalah orang Afrika sendiri, yang berasal dari kampung yang sama dengan anak-anak di dalam foto itu, barangkali foto itu nggak akan jadi perdebatan.

Apa yang dilakukan Coki itu ibarat Ernest nggak lagi ngomongin soal Cina, tapi ngomongin soal orang Jawa dan orang Islam. Wah, sudah pasti bakal rusuh dan ramai itu. Bisa jadi “The Next 212” yang dibikin series sama Netflix itu saking seriusnya.

Artinya, dengan analogi tersebut, kita bisa lihat kalau apa yang diolok-olok Coki bukanlah keresahannya sendiri. Dan di situlah poin masalahnya.

Kalau sebagai set-up, foto orang-orang Afrika kelaparan itu sih nggak apa-apa, tapi kalau itu jadi dasarnya olok-olokan? Wah, ya wajar kalau banyak yang sebel atau sampai mencak-mencak. Masalah orang lain kok kamu becandain? Gitu kira-kira.

Yah, tapi mungkin memang itulah strategi Coki untuk membuat dirinya tetap relevan dengan zaman. Tetap dibicarakan oleh semua orang.

Nyatanya, justru dari kasus-kasus model begini-begini, patner Tretan Muslim ini makin moncer. Beberapa kali Coki jadi bintang tamu dalam diskusi politik dan agama, justru karena masalah-masalahnya soal itu.

Berkaca dari Ernest dan Coki, stand up comedy adalah langkah awal yang bisa bercabang ke segala jenis hiburan. Dari mulai film, video YouTube, sampai siniar (podcast).

Profesi stand up comedian adalah pekerjaan serba-bisa. Aktor, penulis, sutradara, pembawa acara, YouTuber, penyanyi rap, juri kompetisi melawak, bintang iklan, bahkan jadi mentor kelas menulis yang iklannya sering muncul di Facebook dan Instagram, semua bisa disikat.

Jika Coki pakai jalur ekstrem dalam meningkatkan reputasinya (dengan cara kontroversial), Ernest lebih luwes dalam merawat kariernya. Bersama sesama jebolan SUCI, Ernest membuat komunitas yang cabangnya ada hampir di setiap kota.

Dengan kekuatan konektivitas, Ernest bisa membuat film yang termasuk dalam waralaba AADC. Bahkan dia bisa membuat waralabanya sendiri, yaitu serial Cek Toko Sebelah (CTS the series).

Film Cek Toko Sebelah adalah bukti Ernest bisa membuat humor dari bisnis dan membisniskan humor itu sendiri.

Dengan CTS, Ernest yang jadi sutradara mampu mengumpulkan komika dari beragam suku (Jawa, Sunda, Betawi, Batak, Tionghoa, dan Indonesia Timur) dalam satu frame yang sama. Walaupun berbeda-beda tetapi tetap ketawa.

Bahkan Film CTS adalah satu dari segelintir film yang ditonton Presiden Jokowi. Maklum, Kaesang sang anak presiden main jadi cameo di sini. Nah, pinter kan taktik dagangnya Koh Ernest?

Tapi apakah Coki Pardede nggak pinter mengelola taktik dagang entertainnya? Karena suka memicu perdebatan, dan bikin makin banyak brand atau company yang nggak mau ngajak kerja sama?

Barangkali justru itu lah jualannya si Coki. Di situlah diferensiasi produknya.

Ketika Ernest ngomongin ke-bhineka-an, Coki datang dengan ke-amoral-annya. Dan ini adalah topik-topik yang hanya bisa dinikmati oleh klub kecil, eksklusif, solid, dan penganut faham freedom of speech yang radikal.

….

….

Hm, lah kok lama-lama cirinya malah udah kayak ormas ya, Cok?

BACA JUGA Surat Terbuka untuk Raja Terakhir ‘Dark Comedy’ dan tulisan Haris Firmansyah lainnya.

Exit mobile version