MOJOK.CO – Kapolri tiba-tiba memberi tawaran ke 50-an pegawai KPK yang dipecat, untuk masuk ke kepolisian. Bentaaar. Sebentar.
Banyak orang mencibir tawaran Kapolri kepada 50-an pegawai KPK yang dipecat per hari ini gara-gara tes wawasan kebangsaan (TWK). Kapolri yakin bahwa mereka, mantan penyidik-penyidik KPK ini, akan bisa memperkuat Polri, meski hanya sebagai ASN Polri.
Tawaran tersebut dinilai banyak orang (terutama netizen sih) hanya sekadar gimik belaka. Cukup aneh. Tidak logis.
Mengingat, bagaimanapun juga para pegawai KPK yang tak lolos TWK itu dianggap tak cukup pancasilais. Mereka bahkan sempat mendapat stigma sebagai faksi Taliban atau faksi yang kesusupan paham Islam radikal.
Lah ini, kok Polri malah menawari orang-orang “Taliban” ini masuk ke institusinya? Apa Polri justru malah ingin kesusupan Taliban?
Soalnya, kalau Polri justru memberi tawaran kepada 50-an pegawai KPK itu, bukankah ini semakin menguatkan dugaan kalau TWK ini hanya akal-akalan untuk menyingkirkan Novel Baswedan cs saja? Jangan-jangan TWK kemarin memang hanya gimik belaka?
Lah itu nyatanya Kapolri tidak peduli dengan hasil TWK-nya KPK, bahkan blio sampai mau memasukkan 50-an pegawai KPK yang tidak lolos ke institusinya?
Demikian beberapa pendapat mereka, orang-orang yang gemarnya ngritik Kepolisian beserta Kapolri-nya itu.
Ya beberapa kritikan ini cukup keras juga lontarannya. Sampai-sampai Pak Mahfud MD ngetwit soal ini saja jadi langsung dirujak netizen.
Bagaimana tidak mau dirujak? Lah twitnya itu isinya cuma pembenaran tawaran itu dari perspektif hukum, tapi sama sekali tidak menyinggung substansi masalah.
Kontroversi ttg 56 Pegawai KPK yg terkait TWK bs diakhiri. Mari kita melangkah ke depan dgn semangat kebersamaan. Langkah KPK yg melakukan TWK menurut MA dan MK tdk salah scr hukum. Tp kebijakan Presiden yg menyetujui permohonan Kapolri utk menjadikan mereka sbg ASN jg benar.
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) September 28, 2021
Betul, betul, namun apakah pemerintah sebodoh itu memberi tawaran yang tidak logis? Justru adanya tawaran ini menunjukkan sesuatu yang cerdas. Juga memberikan gambaran sekuat apa pemerintah itu.
Sudah tahu tak logis, tapi tetap ditawarkan. Percaya diri sama kekuatannya sendiri bukan?
Lagian ya, jika mau ditelisik, ini juga bisa menjadi preteks untuk langkah ke depan. Sesuatu yang jarang diperhatikan para SJW-SJW katrok pembela KPK itu.
Dengan memberikan tawaran, mulai dari menjadi pegawai BUMN hingga menjadi ASN Polri, pemerintah tentu bisa mengklaim bahwa pihaknya sudah mempunyai goodwill.
Klaim goodwill ini akan menjadi penting untuk justifikasi langkah-langkah antisipasi berikutnya. Misalnya, jika demo dan perlawanan akibat pelemahan KPK nanti membesar, pemerintah bisa langsung dilakukan langkah represif untuk menekannya.
Meski—yaaah—tampaknya demo soal respons pelemahan KPK ini tidak membesar sih. Karena, nyaris tidak ada berita soal demo tersebut di media massa mainstream. Paling hanya beredar di akun-akun aktivis kritis saja. Belum lagi, akun-akun buzzerp juga bisa langsung meredamnya dengan aneka puja-puji ke pemerintah.
Nah, di sinilah pentingnya goodwill itu. Pemerintah, dan juga buzzerp-nya, akan lebih bisa melakukan counter-wacana.
Ingat, tiap kali bertarung, yang paling penting adalah alasannya. Jika dari awal sudah terlihat salah sama sekali, maka orang yang bertarung pun akan menjadi awkward.
Dengan alasan, “Lho, kami sudah beritikad baik memberikan tawaran, tapi tidak diterima. Memang dasar mereka aja emang mau bikin onar kok,” itu sudah cukup untuk sedikit membungkam lawan. Cukup cerdas kan?
Lah, kan nanti rezim pemerintah saat ini dianggap sebagai kelompok yang memperlemah KPK dan merah nilainya dalam pemberantasan korupsi?
Ah, itu bisa dilalui dengan cepat.
Masyarakat kita itu pelupa. Juga tinggal ungkap saja soal keberhasilan pembangunan infrastruktur, keberhasilan penanganan pandemi, atau kesederhanaan dan kemerakyatannya Pak Jokowi. Selesai sudah.
Lah, ini nanti juga bisa dianggap upaya melanggengkan kekuasaan belaka, karena konon katanya Novel cs disikat gara-gara sempat membidik anak seorang petinggi yang juga jadi pejabat?
Ah, itu isu. Nggak ada yang dibuktikan. Coba tanya kepada 50-an (mantan) penyidik KPK soal ini. Mereka pasti nggak akan berani jawab.
Lah, bagaimana jika nanti ini memantik reaksi demo dari masyarakat?
Jawabannya sederhana. Demo? Demo who? Kayak nggak tahu sejarah saja. Lihat aja demo anti revisi UU KPK atau demo Omnibus Law. Kurang besar apa coba?
Bahkan, sampai ada mahasiswa yang meninggal seperti tragedi Trisakti dan Semanggi pas reformasi 1998. Tapi apa yang terjadi? Revisi UU KPK berjalan terus, Omnibus Law tetap diteken dengan proses yang begitu menggelikan. Seolah-olah mengejek kekuatan yang mengkritisi.
Lalu, kehidupan berjalan begitu biasa. Oh iya, jangan lupakan, ada banyak akun-akun di media sosial yang tinggal memantik masyarakat umum untuk mempertanyakan demo. Mulai dari yang berkerumun tanpa prokes, sampai demo dianggap mengganggu kehidupan sehari-hari.
Lah, itu nanti akan memerosotkan tingkat kepercayaan masyarakat ke Presiden Jokowi dong?
Benar, terus mau apa? Lalu kenapa kalau indeks kepercayaan ke Presiden merosot?
Meski pemerintahan dalam sistem demokrasi pada dasarnya adalah delegasi kekuasaan rakyat ke sekelompok orang, namun faktanya di Indonesia rakyat tetap tak bisa mengartikulasikan kekuasaan tertingginya.
Ada banyak barrier system, yang membuat rakyat tak bisa dengan mudah berkata “tidak” pada pemerintahan.
Kita semua tahu bahwa kekuasaan bekerja di Indonesia ditopang oleh sistem-sistem politik yang “jauh” dari jangkauan masyarakat. Parpol, misalnya. Bisakah seorang warga negara, atau beberapa warga negara, meminta satu parpol untuk mewakili kepentingannya tanpa terkecuali?
Tidak bisa. Parpol sangat bergantung pada sistem di internalnya sendiri (baca: ketua umum). Jika ketua umum sudah sangat manut ke penguasa untuk bargaining kepentingannya sendiri, dan circle-nya, lalu rakyat bisa apa?
Maka, ketika rezim pemerintah yang sekarang berkoalisi (baca: menguasai) 80 persen suara di parlemen, ya wajar kalau akhirnya mereka bisa melaksanakan apa saja kayak sekarang.
Bagaimana dengan Polri, Kejaksaan, TNI, dan aparat lembaga hukum lainnya sebagai pengimbang?
Serius nanya beginian, Bro? Emang siapa sih yang memilih dan mengangkat Kapolri, Jaksa Agung, dan Panglima TNI? Selain itu, mereka juga harus imparsial kan, nggak boleh ikut-ikut dalam kehidupan politik?
Ya, memang agak membuat pening kepala pemerintah jika masyarakat akhirnya bisa bersatu dan menuntut agenda perbaikan sistem. Atau seminimal-minimalnya menuntut pemerintah dan Presiden Jokowi untuk tidak terus-terusan memperlemah KPK.
Ta-tapi, tolonglah, jangan bercanda.
Lagian, emang bisa rakyat bersatu?
Lihat saja di info twitwor, atau info netijen gelut. Kadang masyarakat sudah gelut sendiri hanya gara-gara ada seorang cewek posting foto selfie-nya yang agak seksi. Gitu mau bersatu soal urusan negara? Gitu mosok pemerintah dan oligarkinya mau dilawan. Mimpi kali.
Jadi tetaplah putus asa dan jangan pernah semangat. Pemerintahan yang sekarang sudah tiada lawan. Mereka sudah pakai R1, R2, L1, X, kiri, bawah, kanan, atas, kiri, bawah, kanan, atas.
Cheat jadi bebal, eh, kebal.
BACA JUGA Cinta yang Berakhir untuk KPK dan tulisan Kardono Setyorakhmadi lainnya.