Memahami Maaf yang Tak Semudah Mengucapkannya

Hikayat-2019 - Mojok.co

MOJOK.CO – Tanpa maaf, kita akan terus-menerus terpenjara kesalahan masa lalu. Menanggung konsekuensi tindakan untuk selama-lama-lama-lamanya.

“Siapa yang bertindak tidak pernah cukup mafhum dengan tindakannya, sehingga ia selalu merasa bersalah atas konsekuensi yang tak pernah dia maksudkan,” ujar Hannah Arendt dalam bukunya, The Human Condition (1959).

Konsekuensi tindakan tidak pernah dapat dihapuskan. Kalau begitu, maka pertanyaannya ialah: apa solusi bagi problem tindakan, yaitu kemustahilan untuk menghapusnya serta kemustahilan untuk menubuatkan dampaknya?

Arendt mengajukan kekuatan maaf dan janji sebagai solusinya. Tanpa maaf, kita akan terus-menerus terpenjara kesalahan masa lalu. Menanggung konsekuensi tindakan untuk selamanya. Tanpa kemampuan atau kesempatan berjanji, kita tidak pernah dapat membentuk identitas, selalu terbebani kesalahan yang tak termaafkan dan tidak dapat diprediksi.

Manusia laiknya bergerak tanpa arah dalam kegelapan hati yang kesepian, berhadapan dengan kontradiksi dan kemenduaan dunia yang tanpa kepastian. Kegelapan ini dapat diterangi oleh ruang publik. Maaf dan janji sangat bergantung pada kebinekaan dan kehadiran orang lain. Tak seorang pun dapat memaafkan dan berjanji untuk dirinya sendiri.

Maaf dan janji dalam kebinekaan manusia menghasilkan standar moral berbeda dengan yang dirumuskan Plato. Menurut Plato, legitimasi tindakan terletak pada upaya pengendalian terhadap diri.

Prinsip-prinsip moralitas yang menjustifikasi dan membatasi kontrol atas orang lain, diturunkan dari hubungan antara saya dan diri saya. Benar-tidaknya hubungan dengan yang liyan ditentukan oleh perilaku terhadap diri sendiri, sampai akhirnya keseluruhan ruang publik tampak seperti perluasan diri manusia super, tatanan yang dideterminasi berdasarkan kriteria individu: pikiran, hati, dan tubuh seseorang.

Sebaliknya, model moralitas Arendt diturunkan dari kemampuan memaafkan dan membuat janji, yang tak seorang pun dapat melakukan tanpa kehadiran orang lain (Sudibyo 2012: 104).

Penemu konsep maaf dalam ruang hubungan antarmanusia menurut Arendt adalah Yesus Kristus. Meskipun Yesus menemukannya dalam konteks religius, konsep maaf itu tetap relevan dalam konteks kehidupan modern.

Konsep maaf itu juga tergali dari pengalaman-pengalaman pergaulan antarmanusia, antara Yesus dan pengikutnya tatkala hidup di bawah tekanan rezim Israel. Menurut Yesus, tidak benar hanya Tuhan Yang Maha Esa yang mampu memaafkan. Kekuatan memaafkan tidak turun dari Tuhan. Kekuatan memaafkan dilakukan manusia terhadap manusia, sebelum mereka dapat berharap dimaafkan Tuhan.

Lebih radikal lagi Yesus mengatakan, manusia tidak didorong untuk memaafkan karena Tuhan memaafkan sehingga dia harus melakukan hal yang sama. Mengapa demikian? Karena manusia melakukan sesuatu yang tidak mereka tahu secara persis dampaknya. Maaf tidak berlaku untuk kejahatan ekstrem yang disengaja.

Akan tetapi Arendt membayangkan, kriminalitas dan kehendak jahat jarang terjadi. Sementara dosa setiap saat terjadi. Di sinilah ciri alamiah tindakan beroperasi, yakni membutuhkan maaf atau pelupaan, untuk membebaskan manusia dari apa yang tidak mereka ketahui atau duga, agar hidup terus berjalan.

Hanya melalui saling memaafkan, saling membebaskan dari apa yang telah terjadi, manusia menjadi manusia bebas. Hanya dengan kehendak konstan untuk membuka lembaran anyar, mereka dapat percaya terhadap kekuatan manusia untuk memulai sesuatu yang baru.

Menurut ajaran Injil, manusia memaafkan bukan karena Tuhan memaafkan sehingga manusia harus melakukan “hal yang sama”, tapi justru sebaliknya “jika manusia berdasarkan kata hatinya memaafkan”, maka Tuhan niscaya juga “melakukan hal yang sama”. Yang melatarbelakangi keharusan memaafkan jelaslah bahwa “karena manusia tidak mengetahui persis apa yang mereka lakukan,” namun maaf tidak dapat diterapkan untuk kejahatan ekstrem yang disengaja… (Arendt 1959: 215).

Apa alternatif dari memaafkan? Pertama-tama, Arendt menyebut balas kasam: reaksi otomatis atas kesalahan orang lain. Balas kasam sebagai reaksi melawan dosa dan pelanggaran, bukanlah upaya mengakhiri konsekuensi tindakan di masa lampau, tetapi justru mendorong kita masuk dalam proses rantai reaksi tak berujung.

Memaafkan bukan hanya reaksi atas suatu tindakan, melainkan juga tindakan baru yang tidak terkondisikan oleh tindakan sebelumnya, bebas dari konsekuensi tindakan individu yang memaafkan maupun dimaafkan. Kebebasan yang ada dalam ajaran Yesus tentang pemaafan ialah kebebasan dari balas kasam dan otomatisasi aksi-reaksi yang tak berujung.

Alternatif liyan dari maaf adalah hukuman. Maaf dan hukuman memang bertolak belakang, tetapi keduanya sama sebagai upaya mengakhiri proses yang tiada berakhir tanpa intervensi.

Di sini Arendt mendedahkan eleman struktural dalam hubungan antarmanusia, “kita tak mungkin memaafkan suatu tindakan yang tak dapat dihukum, kita tidak mungkin menghukum tindakan yang tak dapat dimaafkan”.

Paralel dengan penjelasan ini adalah konsep Immanuel Kant perihal kejahatan radikal (radical evil): jenis-jenis kejahatan yang kita tidak tahu persis seperti apa bentuknya, tetapi jelas sekali tidak bisa dimaafkan maupun dihukum. Jenis kejahatan yang melampaui dan menghancurkan realitas hubungan antarmanusia dan potensi kekuatan manusia (Sudibyo 2012: 106).

Argumentasi yang paling menjelaskan mengapa maaf dan tindakan berkelindan erat menurut Arendt datang dari kenyataan, bahwa penghapusan efek tindakan dengan pemaafan sesungguhnya paralel dengan karakter penyingkapan pelaku dalam tindakan.

Maaf menghasilkan hubungan yang sangat personal dalam mana tindakan yang telah terjadi dimaafkan untuk kepentingan pelaku tindakan. Objek maaf bukan kesalahan, namun pelaku kesalahan.

Mengutip Yesus, Arendt menegaskan keistimewaan maaf, “Dosa yang banyak dengan maaf yang banyak, untuk cinta yang banyak, sebaliknya maaf yang sedikit, sedikit pula cinta yang tercipta.”

Cinta mempunyai kekuatan memaafkan. Cinta mempunyai kekuatan pengungkapan diri seseorang, karena cinta tidak peduli kepada kelemahan, kegagalan, dan pelanggaran dari yang dicintai.

Namun masalahnya, cinta dengan demikian juga merusak ruang-antara yang memisahkan sekaligus menghubungkan antarmanusia. Satu-satunya ruang-antara dua manusia yang saling mencintai ialah anak. Anak adalah produk dari cinta. Anak, ruang-antara kepada mana dua pecinta terhubungkan dan berbagi kebersamaan, merupakan representasi keduniaan yang juga memisahkan mereka.

Sebuah indikasi bahwa mereka menghadirkan dunia anyar ke dalam dunia yang sudah eksis. Melalui anak, si pecinta kembali ke dunia, pasca cinta mengeluarkan mereka dari dunia.

Akan tetapi kemudian keduniaan baru ini berubah bentuk menjadi penguasaan atas pasangan atau bertransformasi menjadi modus kepemilikan bersama atas anak. Arendt di sini menegaskan, ciri-ciri dan kelemahan cinta, menunjukkan bahwa cinta tidak hanya apolitis, tapi juga antipolitis. Cinta adalah kekuatan antipolitik dalam hidup manusia.

Arkian, alternatif yang lebih memadai dari cinta menurut Arendt adalah respek. Respek sebagai bentuk persahabatan tanpa intimasi dan kedekatan (friendship wihout intimacy and closeness). Hormat pada seseorang dari sebuah jarak, dari sebuah ruang-antara, yang memisahkan sekaligus menghubungkan.

Respek berbeda dengan kekaguman atau penghargaan personal. Hilangnya respek dalam zaman modern, degradasi respek menjadi sekadar kekaguman dan penghargaan personal, membentuk gejala peningkatan depersonalisasi kehidupan publik dan sosial. Respek mendorong tindakan memaafkan perbuatan orang lain.

Tak seorang pun dapat memaafkan diri sendiri. Kita bergantung pada keberadaan orang lain untuk menciptakan distingsi diri. Kita tidak pernah dapat memaafkan diri sendiri karena tidak pernah dapat merasakan pengalaman orang lain yang menerima konsekuensi tindakan kita.


Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.

Exit mobile version