Memahami Logika Perempuan yang Gemar Membeli Tas Baru

Memahami Logika Perempuan yang Gemar Membeli Tas Baru

Tidak pernah terbayang sebelummya saya akan terjerat dalam grup pencinta berat sebuah merek tas asal Prancis. Modelnya begitu pasaran. Saking mudahnya ditiru, produk palsunya pun bertebaran. Mulai dari yang dinamakan kw2, kw1, premium, superpremium, sampe mirror yang konon klaimnya adalah sempurna serupa dengan yang autentik.

Makin ke kanan makin mehong harganya. Sampai yang versi mirror kadang kala tak jauh beda dengan yang asli (Lha, terus kenapa juga tetap beli yang tembakan? :p).

Hingga dari jalan-jalan di berbagai grup Facebook penggemar tas, saya menemukan sebuah grup menarik. Dari sini saya menemukan bahwa para perempuan bisa menjadi sangat tidak logis jika sudah berhubungan dengan tas. Saya sendiri contohnya. Bentuk tas yang semula big no no sebagai item koleksi kini mendadak menjadi begitu menggoda. Pesona Adam Levine hingga Tae Yang langsung sirna, diganti dengan tas-tas dengan puluhan warna pilihan itu.

Dari bangun tidur sampai tidur lagi, yang saya lakukan adalah melihat setiap update dari grup. Memandang-mandang sambil mengelus-elus ATM. Berharap, dalam pencarian tiada henti ini, ada seorang anggota grup yang menjual tas bekasnya (ya, bekas) dengan harga nyungsep. Di grup ini, barang-barang bekas yang lebih manis dilabeli preloved itu memang masih dihargai tinggi. Apalagi jika kondisinya masih very good condition (vgc). Hanya terpotong tak sampai 20 persen dari harga baru.

Hingga perjalanan yang membuat banyak sisi kehidupan saya yang lain tersisihkan itu sampai pada sebuah jawaban. Saya menemukan tas perempuan baru dengan harga menawan. Tergolong murah karena itu barang PO alias pre-order alias saya bisa mencicil bayarnya sampai barangnya datang. Saya pilih item yang lagi hit dengan harapan bisa meng-upgrade penampilan saya berlipat-lipat.

Setelah satu bulan menanti plus mencicil, akhirnya tas datang. Senangnyaa…tapi kadang harapan tak sesuai kenyataan. Ungkapan klasik ini juga berlaku untuk tas. Chemistry yang saya dapat ketika melihat tas itu dalam bentuk gambar ternyata tidak terjadi ketika tas itu hadir nyata. Uang 1,8 juta yang saya keluarkan untuk tas itu jadi terasa besar sekali. Apalagi saya yakin, seyakin-yakinnya, hanya sedikit orang yang sadar kalau saya sedang memakai tas mahal.

Tapi di grup itu saya tidak perlu khawatir. Tas yang saya kurang sreg itu bisa dijual lagi dengan mudah. Maka keesokan hari saya mempersiapkan photo session. Menata barang jualan di online tidaklah serumit menata jualan di etalase toko. Tinggal cari spot paling sip, atur cahaya agar warna yang ditampilkan foto bisa semirip barang asli dan klik, jadi deh. Biarpun sekeliling berantakan, dengan pilihan sudut foto yang tepat akan memberi hasil memuaskan. Tas akan terlihat seperti nongkrong di sebuah sudut galeri mahal.

Lalu upload dan tunggulah respons anggota grup yang lain. Jaga lapak dengan siaga. Sering-sering cek messenger barangkali ada yang tertarik.

Tak sampai sepuluh menit sudah beberapa inbox mengalir. “Sis berapa harganya?” “Sis liat detailnya, dong. Difotoin semua bagian.” “Ya sis uda saya terima ftonya. Tapi masih kurang. Sudut kanan belum. Handlenya juga difoto.” “Sis dust bagnya ori ga?” “Sis ada care cardnya ga?” “Sis boleh kurang nggak harganya.” “Saya tawar dikit boleh ya, nggak afgan (baca: sadis) kok.” “Sis freeongkir, dunk. Boleh ya, boleh ya?”

Begitulah rangkaian pertanyaan yang sering diajukan para calon buyer. Semua itu akan terasa lega begitu calon buyer bilang, “Ok sis deal. Berapa noreknya.”

Kini saatnya packing. Tas ini harus selamat dengan bentuk yang tidak berubah sedikitpun meski harus bergumul dengan tumpukan barang ekspedisi yang lain. Cari kotak tebal sebagai tempat merupakan salah satu cara termudah. Tapi ada juga seller yang mau usaha lebih. Dalam sebuah postingan dia memperlihatkan piranti packingnya. Ada gulungan besar bubble wrap ratusan meter, ada tumpukan koran dan plastik bening. Juga bungkus kado dan label nama. Seller itu biasanya memasukkan gulungan koran ke dalam tas untuk menjaga struktur tas, membalut tas dengan bubble wrap, dimasukkan ke dust bag, dan dilapisi kardus, baru kemudian dibungkus kado biar cantik. Umumnya perempuan akan senang dengan paketan model begitu karena serasa mendapat hadiah padahal itu bayarrrr.

It’s wrapped. Tiba saatnya mengirim. Pilih yang sehari sampe (berlaku hanya di sesama pulau Jawa) demi lebih memuaskan buyer. Apakah cerita ini selesai? Belum. Sesi buyer menerima tas itu juga sering menjadi kisah tersendiri.

Tas akhirnya nyampe ke buyer. Karena kesibukan hingga baru dibuka jelang tengah malam. Saya yang mau tidur, seperti biasa absen dulu ke messenger. Ting, pesan masuk. “Sis uda terima tasnya. Kok warna noir bukan black.”

Busyett, padahal setahu saya noir (baca: noar) itu bahasa Prancis dari hitam. Ternyata beda memang warnanya. Langsung berdebar saya menerima komplain itu. Gak kebayang kalo tas itu akan direfund. Saya langsung hubungi seller pertama tempat saya PO. “Sis, kok warna yang dikasih ke saya noir bukan black. Saya kan dulu pesan hitam?”

Sis yang tinggal di satu pulau dekat negara tetangga itu langsung membalas. “Sis sebelum komplain buka Google Translate. Noir itu bahasa prancisnya black.” Oh, wow, I feel so stupid by then. Segera saya sampaikan ke buyer penjelasan itu. Yang dijawab, “Beda sis. Kalo black itu legam gni kalo noir agak terang.” Buyer memperlihatkan perbandingan tas dengan dua warna itu. Pasrah sudah saya.

Untung buyernya baik. Dia mau ngerti dan menerima tas itu. Selese? Belum. Jam 12-an malam lebih bunyi ting lagi. Saya buka pesannya. “Sis, benangnya kok ada yang keluar satu.” Sambil menunjukkan foto benang kecil nongol, yang saking kecilnya saya sendiri gak pernah menyadari ada benang yang bisa banget langsung dipotong sendiri itu. Oh my…

Kalau sudah begitu, rasanya kapok-kapok berurusan dengan tas-tas branded begini. Karena harganya lumayan, tingkat komplain jadi begitu tinggi. Tapi meski akhirnya semalam itu saya jadi nggak bisa tidur, besoknya yang saya buka juga masih grup itu.

Dilihat dari perspektif ekonomi, perempuan memang pangsa pasar yang besar untuk barang-barang yang berkaitan dengan image. Dan jangan pernah meremehkan kekuatan perempuan dalam membeli tas. Banyak anggota grup yang posting koleksinya. Ada yang masih punya hitungan sebelah jari, ada juga yang sudah sampai puluhan hingga ratusan.

Salah seorang anggota pernah menaksir koleksinya kalau dirupiahkan mencapai Rp112 juta. Mungkin ini murah jika itu berupa tas perempuan kelas atas macam Hermes atau produksi avant garde sebuah lini fashion dunia, atau tas limited editions lainnya. Tapi ini tas tergolong menengah. Pembelinya juga mayoritas kalangan menengah ke atas yang bawa tas itu untuk jemput anak sekolah, arisan, atau belanja bulanan. Ini merupakan fenomena tersendiri, bahwa para perempuan kelas menengah sekarang sudah tidak lagi sayang untuk menghabiskan uang jutaan untuk tas baru atau bekas yang digunakan sehari-hari.

Soal nilai ekonomi jangan ditanya. Bisa puluhan juta sehari uang berputar di grup-grup pencinta tas medium class itu.

Saya sekarang berusaha mengurangi waktu berkunjung ke grup itu lagi. Bukan karena insyaf. Tapi karena saya menemukan lagi grup tas merek lain yang sepertinya juga seru. Untuk itu, saya mesti bersiap membuang waktu lebih banyak demi mantengin grup sambil makin kencang mengusap ATM. Mengutip Agnes Monica yang sedang sibuk go international: Cinta (tas) ini, kadang-kadang tak ada logikaaaaaaaa…

Exit mobile version