Melihat Pertanda Kiamat dari Keberadaan Warung Burjo

kiamat burjo

Saya sering berkelakar kalau kiamat sudah semakin dekat ketika warung burjo tidak lagi menjual burjo. Tanda ini lebih nyata daripada kemunculan dajjal atau turunnya sang mesiah. Dekatnya kiamat kian jelas ketika orang-orang Madura, yang biasanya menjual sate ayam, justru mulai banyak mendirikan tenda untuk menjual bubur kacang ijo yang puluhan tahun dikuasai warga Kuningan. Bukankah ini menyalahi kodrat? Bukankah telah terjadi perang ekonomi antar-suku? Alamat dekatnya kiamat makin bertambah nyata ketika di warung sate bumbu sate ayam malah dijadikan bumbu sate kambing. Inilah bukti bahwa manusia semakin lalim dengan tidak lagi meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Dan Yogyakarta, sebagai tempat munculnya semua anomali itu mungkin akan menjadi kota pertama yang hancur saat kiamat.

Sekali lagi itu hanya kelakar meskipun saya sendiri sering bergetar saat mengelakarinya.

Saya sudah menjadi pelanggan warung burjo semenjak sekolah menengah di sebuah pesantren. Cemistri yang sudah kadung mengakar lama antara saya dan warung burjo itu membuat saya sering mengaitkan segala pergolakan burjo dengan apa yang tengah dan akan terjadi pada lingkungannya. Burjo adalah pertanda, burjo adalah sasmita.

Jika daftar harga yang ada di warung burjo penuh coretan karena harga yang cenderung naik sehingga angka yang lama dicoret, dihapus, ditempel selotip, atau diganti entah dengan metode apa (dan ini terjadi dalam kurun berdekatan), maka itu adalah pertanda bahwa keadaan ekonomi negara memang sedang tidak stabil.

Jika dalam sebuah gorengan irisan tempenya lebih tipis daripada biasanya dan tepung yang membungkusnya pun mengecil, saya jadi tahu sebagian besar karakter yang dimiliki pedagang makanan yang memiliki pelanggan kelas menengah ke bawah. Mereka lebih memilih mengurangi ukuran barang dagangan daripada menaikkan harga. (Akibat yang tidak mereka sadari adalah penurunan kualitas rasanya, sebab mungkin makanan diramu dengan komposisi bumbu yang sama dengan sebelumnya tapi ukurannya lebih kecil). Pada akhirnya mereka menyerah dengan menaikkan harga. Menariknya, sebagian dari mereka lupa untuk mengembalikan ukuran gorengan seperti sebelum mengecil.

Jika ada Aa’ Burjo yang baru di sebuah warung burjo, kemungkinan ada seseorang yang patah hati atau justru ada yang jatuh hati. Bisa perempuan yang indekos di sekitar warung, atau bisa juga mbak-mbak mahasiswi yang saban hari jadi pelanggan setia.

Lalu bagaimana bila ada menu baru dalam akronim yang terlalu dipaksakan di warung burjo? Joshua misalnya, darimana bisa dipanjangkan menjadi ekstra jos susu? Ini lebih kacau daripada akronim bikinan Polri (Curanmor? Curas?) atau TNI (Alad? Alatud?). Menu ini muncul kurang lebih tujuh tahunan lalu yang merespons kebiasaan manusia Indonesia yang kerap mengoplos minuman. Sementara akronim menu itu diambil dari nama orang yang berdekatan dengan produk minuman yang bukan menjadi menu. Sungguh, ini kacau. Dan kekacauan ini tidak hanya dalam hal akronim, tetapi hampir dari segala perubahan yang dialaminya.

Saya kira kekacauan ini menandakan usaha warung burjo yang semakin sulit untuk tetap hidup. Atau kalaupun hidup mereka terpaksa menanggalkan identitas, cara kerja, dan hakikat keberadaannya yang semula.

Dari nama usahanya kita tahu bahwa usaha ini mulanya mengandalkan bubur kacang ijo sebagai menu utama, yang lalu dilengkapi dengan mi instan rebus dan mi instan goreng (yang pada prosesnya, tetap saja direbus, bukan digoreng) dengan atau tanpa telor. Itu saja, belum ada menu nasi telor atau bubur ayam. Semua menu dituliskan dalam akronim yang menarik. Minumannya standar seperti warung makan umumnya. Dengan nama-nama menu yang unik juga. Namun, memasuki dekade awal 2000-an terjadi perubahan yang cukup signifikan dari warung burjo. Mereka mulai menyediakan nasi telor, nasi sarden, nasi goreng, dan nasi oreg. Dan akhirnya sekitar tahun 2007 banyak warung burjo yang menyajikan menu sayur-mayur dengan lauk-pauk selain gorengan dan telur. Warung burjo pun meninggalkan burjonya, meninggalkan identitasnya.

Beberapa alasan yang muncul dari pedagang adalah karena burjo sudah jarang diminati dan gampang basi sehingga cenderung mendatangkan rugi. Saya kira burjo masih diminati banyak orang, buktinya orang Madura sekarang banyak membuka usaha itu, dan ini menandakan banyaknya untung dari usaha tersebut.

Apa yang mungkin tidak disadari dari pedagang warung burjo adalah turunnya minat orang memesan burjo di warung burjo karena kualitasnya yang menurun. Sebelum menu itu menghilang, saya merasakan burjo yang hambar dari sejumlah warung. Ada yang kacang hijaunya tidak merata matangnya hingga terasa keras, ada yang ketan hitamnya asam, dan beberapa tak menggunakan santan dan daun pandan sehingga kadang saya tak sadar menyanyikan lagu Slank setelah suapan pertama: “terlalu manis… untuk dimakan…”. Ini amat berbeda ketika saya masih nyantri dan awal kuliah, dimana warung-warung burjo masih menyediakan bubur kacang ijo dengan kacang hijau terbaik (yang dibesarkan seperti anak sendiri) yang matangnya merata, ketan hitam yang likat dan harum, santan yang gurih, dan wangi daun pandan yang menggugah. Maknyuuuus. Cita rasa burjo yang seperti itu saya dapati hampir di setiap warung burjo yang saya datangi waktu itu. Maka, tak berlebihan rasanya jika turunnya kualitas burjo di warung burjo adalah tanda tidak optimalnya pewarisan ilmu dan pengetahuan memasak burjo dari generasi sebelumnya. Dan kini kemampuan memasak burjo tidak lagi menjadi salah satu syarat bagi Aa’-Aa’ dari Kuningan yang hendak melamar pekerjaan di sebuah warung burjo.

Sejak awal kemunculannya, sejatinya warung burjo mampu mempertahankan cara kerja yang unik, kreatif, dan cukup baik. Selama puluhan tahun mereka menggunakan hanya satu merek mi instan di antara sekian banyak merk mi instan lainnya yang lebih murah, yang dapat membuat keuntungan semakin banyak. Sebabnya saya kira bukan karena bagian nama mi instan itu masuk dalam daftar menunya, tetapi lebih karena mereka ingin mempertahankan cita rasanya, yang kemudian disambut dengan baik oleh perusahaan mi instan itu.

Menurut saya, menu mi instan sebagai selingan menu bubur kacang ijo boleh dibilang cukup asyik, karena keduanya adalah sama-sama makanan kelas ringan. Menjadi tidak asyik ketika Aa’ Burjo mulai bertanya “Ini mi-nya mau sekalian ditambah nasi?” Alasannya sederhana, warung burjo yang semula memang digagas untuk memenuhi perut yang tidak terlalu lapar, kini menjadi usaha untuk mengenyangkan orang-orang yang lapar. Warung burjo meninggalkan hakikat keberadaannya dengan menyamakan diri sebagai warung makan biasa.

Terlepas dari perubahan itu, warung burjo harus terus menyediakan keakraban bagi para pelanggannya, sesuatu yang jarang didapatkan dari warung makan biasa ketika konsumen hanya makan, minum, bayar, dan pergi. Inilah yang selama ini membedakannya dari warung-warung makan biasa, sebab warung burjo memang bukan kedai makan yang disinggahi sebentar oleh beberapa pendekar tanpa pernah saling bertukar kabar dan hanya jadi tempat bertengkar.

Ah, semoga di masa depan, warung-warung burjo tak berlomba-lomba menyediakan wifi.

Exit mobile version