Masih Adakah Hatimu yang Tersisa di Hari Raya Qurban Ini?

Masih Adakah Hatimu yang Tersisa di Hari Raya Qurban Ini?

Masih Adakah Hatimu yang Tersisa di Hari Raya Qurban Ini?

Kalau sebagai muslim kita begitu marah ketika ada yang bertanya, “Kenapa harus menyembah Allah?” sepertinya kita tidak jauh beda dengan bapaknya Ibrahim AS yang naik pitam ketika anaknya mempertanyakan ritual penyembahan berhala di zamannya.

“Tapi, kan, Tuhanku sudah jelas, sementara berhala bapaknya Ibrahim tidak!”

Lho kamu kok jadi menghina proses pencarian ketuhanan paling fenomenal itu? Apa yang dipertanyakan Nabi Ibrahim juga merupakan sesuatu yang dianggap sudah jelas di zamannya lho: agama nenek moyang.

Ibrahim AS sempat berpindah Tuhan beberapa kali sebelum pada akhirnya meyakini entitas metafisika yang disebutnya Allah. Seperti pengelana cinta pada umumnya, dia yang telah lama mencari akan benar-benar mencintai ketika telah memilih. Kecintaannya sampai-sampai membuat Ibrahim AS disebut Khalilullah (kekasih Allah).

Sebagai Khalilullah, blio menyatakan rela memberikan apapun demi Tuhannya. Maka ketika perintah menyembelih anak kandungnya datang, beliau harus berani walk the talk. Singkat cerita, di detik-detik terakhir proklamasi cintanya itu, tubuh anaknya diganti dengan domba. Begitulah sejarah ritual qurban yang diyakini umat Islam hingga hari ini.

Sebagaimana ritual keagamaan lainnya, banyak simbol dari pelaksanaan ibadah qurban ini. Secara bahasa, qurban berasal dari kata qaruba atau qarib yang artinya (men)dekat.

Harapannya dengan berqurban seseorang bisa mendekatkan diri dengan Tuhan maupun manusia. Dekat dengan Tuhan karena rela berkorban untuk “membuktikan cinta” pada-Nya. Dekat dengan manusia karena rela berbagi pada sesama.

Sayangnya, pada hari pelaksanaan qurban tahun ini, masih banyak yang enggan melakukannya.

Saya memang enggak secantik SPG di Mall Hewan Qurban. Makanya sebagai relawan qurban untuk pelosok, saya sering banget ditolak ketika menawarkan program. Sedihnya, mereka menolak bukan karena tidak ada duit untuk menafkahi saya, eh, untuk membeli hewan qurban.

Katanya, bagi-bagi daging qurban begitu enggak penting. Lebih baik kasih uang cash buat orang miskin. Apalagi orang miskin banyak kebutuhan, tega sekali kita sibuk beli hewan qurban tanpa memedulikan kebahagiaan mereka.

Ya ampun, bahagia itu sederhana, Sir. Mungkin kamu sudah terlalu sering makan steak, burger, lasagna, dan menu olahan daging internesyenal lain sambil membahas program sosial untuk anak-anak miskin.

Tapi anak-anak yang kamu bahas dalam rapat itu, cuma punya idul qurban sebagai momen pesta daging mereka. Dengan mencabut pesta setahun sekali itu, pada kebahagiaan apa lagi mereka harus menanti?

Ada juga yang bilang program beginian tidak baik sebab hanya memanjakan orang miskin. Dikasih daging, makan-makan, kenyang, tapi tidak diberdayakan.

Nah, kan, ketahuan banget selama ini kamu nggak pernah perhatian. Padahal saya sudah sering bilang kalau sekarang ini banyak program qurban dengan agenda pemberdayaan. Itu lho, tabungan hewan qurban.

Jadi, kamu beli hewan pas masih kecil untuk diternak warga desa binaan. Ketika masa qurban, hewan dijual dengan pembagian hasil untuk para peternak. Daging hewan qurban juga akan disalurkan ke warga.

Tapi kamu masih ngeyel dan bilang kalau kegiatan beginian nggak sustain. Hanya rame pas idul qurban, setelah itu lupa lagi sama nasib orang miskin.

Dear brother, mau program beginian sustain atau enggak, kan, pilihanmu. Sebenarnya hampir setiap saat saya menawarkan diri, eh proposal sosial, ke kamu. Tapi gimana mau sustain kalau kamunya juga sustain menolak?

Ada juga yang menolak dengan alasan klise, “kamu terlalu baik untukku.” Eh bukan. Katanya qurban adalah pembantaian hewan secara massal. “Hewan kan punya hak hidup juga. Kenapa Islam mengajarkan pembantaian penuh kekerasan ini?” katanya yang masih hidup karena makan olahan hewan dan tumbuhan.

Sebenarnya saya agak malas menjelaskan etika penyembelihan dalam Islam. Tapi karena kamu masih pakai logika lama itu, ya sudahlah.

Jadi begini, sis, sebagai anak dari perempuan yang berani menyembelih ternak sendiri, saya sudah terbiasa melihat adegan pembunuhan ayam di halaman belakang. Dalam rangka menjaga hak-hak hewan bahkan menjelang ajalnya, Ibu akan menajamkan pisau dengan mengasahnya tanpa memperlihatkannya kepada ayam itu, serta membaringkannya pada lambung kiri agar melancarkan proses sakaratul maut, selain karena pose itu lebih memudahkan penyembelihan.

Apa yang dilakukan ibu saya juga diterapkan dalam ritual qurban. Dalam metode penyembelihan Islam, hewan dibikin meninggal secepat mungkin. Kamu tahu sendiri kan, disakiti berlama-lama itu enggak enak. Ingat apa yang biasa kamu ucapkan kalau sudah sakit banget tapi masih terus disakitinya? “Bunuh saja aku sekalian!”

Nah, itu sudah.

Tetapi menyembelih sapi tentu beda dengan ayam. Makanya kalau hewan qurban berhasil “ditumbangkan” dengan cepat dan segera disembelih, kamu akan dengar teriakan takbir. Itu karena para petugas lega proses menyakitkan itu tidak lama. Bukannya bahagia karena bisa melakukan kekerasan terhadap hewan seperti pikiranmu.

Lagipula, kalau memang nafsu membunuhlah yang mendasari qurban, sudah pasti kepala dan tubuh hewan akan terputus. Mak dhel. Nyatanya penyembelihan hewan secara Islam tidak boleh lebay sampai memutus kepala dan badan, karena qurban merupakan simbol penyembelihan nafsu diri dan keserakahan.

Tidak seperti ketika kamu menghajar selingkuhan pacarmu. Sampai (mereka) putus baru berhenti.

Sayangnya, ritual sembelih ini sering dijadikan kesempatan menyebut Islam sebagai agama yang tidak bermoral atau ajaran yang penuh kekerasan. Sekalipun output ritual itu adalah bakti sosial daging qurban ke masyarakat miskin tanpa peduli agama mereka, Islam akan disebut keji, tidak seperti agama lain yang penuh kasih sayang.

Padahal teman-teman ini cuma kurang ngobrol sama penganut kepercayaan lain.

Di Toraja nih, masyarakatnya yang mayoritasnya Protestan dan Katolik itu masih menjalankan tradisi aluk mereka. Pada setiap upacara kematian dilaksanakan ritual ma’tinggoro tedong yakni pemotongan kerbau dengan sekali tebas menggunakan parang. Kerbau yang ditambatkan di batu akan terkapar sebelum akhirnya mati.

Ketika yang meninggal bangsawan, setidaknya diperlukan 24 hingga 100 ekor kerbau. Jika ritual ini pun disebut pembantaian, bayangkan berapa banyak kerbau yang dibantai pada setiap kematian? Padahal para penganut ajaran Kristus itu tentu paham dengan nilai-nilai cinta kasih.

Sebenarnya kalau mau mengikuti logika begituan, setiap hari kita yang merasa paling bermoral ini juga telah membantai tumbuhan. Atau jangan-jangan selama ini kamu pikir tanaman tidak punya perasaan? Ih, jahat banget.

Urusan makan nasi saja, bukan cuma hak hidup padi yang terabaikan, melainkan kita telah menyakiti hati para penyembah Dewi Padi yang menjadikannya perangkat ritual penyembahan. Di tempat lain padi begitu dihormati, tetapi kita begitu saja menginjak-nginjaknya demi menghilangkan kulitnya, mengakhiri hidupnya, lalu dimakan. Ckckck.

Terus, kalau makan daging dibilang melanggar hak hidup hewan dan makan sayuran dibilang melanggar hak hidup tumbuhan, kita makan apa, dong?

Mungkin kita bisa belajar dari kasih sayang ibu saya yang suka bikin adegan pembunuhan ayam itu. Kepada tanamannya, Ibu sangat sayang. Tidak jarang Ibu memberi lotion pada daun-daun tertentu agar mengkilap, padahal anaknya sendiri jarang pake lotion.

Ibu juga hobi “menyisiri” setiap daun demi membersihkan ulatnya karena Ibu tidak memberi minum pestisida ke mereka. Bahkan ketika menyirami, tanaman-tanaman itu suka diajak ngobrol Ibu. Beliau merawat mereka penuh kasih sayang. Tetapi waktu masa panen, Ibu juga tetap memakannya.

“Terus gimana, dong?” tanyamu yang hobi disuapi pikiran. Jadi, guys, poinnya bukan pada hak hidup yang hilang dari hewan atau tumbuhan. Mereka diciptakan bukan untuk saling lihat-lihatan sama kita terus mati bareng karena kelaparan.

Tapi dari sekian banyak penolakan qurban, saya paling sering ditolak dengan alasan, “Setiap hari aku udah qurban hati, Es.”

Padahal kan hati manusia cuma satu. Karena tiap hari sudah kamu qurbankan, saya jadi curiga. Masih adakah hati yang tersisa di dirimu, yang akan menjawab bahagia ketika ajakan membantu orang miskin sampai padamu. Bukan justru sibuk membuatmu sibuk memproduksi alasan dan hujatan.

Exit mobile version