Mas Slamet, Kasus Beda Agama, dan Intoleransi di Jogja Itu Hal Biasa

MOJOK.CO – Daripada bikin trauma, Mas Slamet mending pindah saja, deh. Kasus beda agama dan intoleransi di Jogja kan hal biasa. Tolong dipahami, ya. Makasih.

Intoleransi udah lama terasa di Jogja, tapi kenapa sih baru sekarang-sekarang ini ramainya? Dulu, pada 2007 di perumahan yang sempat saya tinggali di daerah Jatimulyo, ada tetangga yang menjual rumahnya ke seseorang yang beda agama. Si pembeli adalah pemeluk Kristen.

Hal ini merupakan kali pertama dalam sejarah perumahan—yang mayoritas muslim ini—ditempati oleh seseorang yang beda agama. Ini tentu saja membuat saya gelisah dong, karena merupakan sesuatu yang baru dan berbeda. Saya harus ekstra waspada karena ini akan melibatkan keimanan saya.

Saya juga sempat heran. Saya tahu betul tetangga saya yang menjual rumahnya ini muslim taat. Orang tuanya juga tinggal di perumahan yang sama dan sering berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan di perumahan, kayak menyediakan konsumsi saat malam takbiran, menjadi relawan pemotongan daging hewan kurban, serta menyediakan akomodasi untuk pengajian rutin.

Anaknya pun disekolahkan di sekolah muslim swasta. Kok bisa-bisanya menjual rumah ke orang yang kami nggak tahu asal usulnya dari mana? Kok pembeli non-islam, beda agama ini juga mau aja beli rumah di lingkungan yang bakal membuat dia menjadi minoritas? Kalau tahu-tahu dia bakal nyebarin ajaran agamanya gimana? Kalau saya ketularan jadi kafir alias non-muslim itu gimana? Kan bahaya.

Saya kan nggak tahu pemahaman apa yang ada dalam dirinya. Wajar dong kalau saya takut jika sewaktu-waktu ada kejadian yang menimpa saya dan tetangga-tetangga saya, apalagi kalau iman kami bisa terguncang karena berprasangka macem-macem tentang tetangga non-islam ini.

Setelah informasi jual beli beda agama ini tersebar, kami pun menjadikannya sebagai topik pembicaraan hangat saat bertemu dan berkumpul dengan tetangga. Urusan mediasi, melobi, dan “intoleransi” dengan pihak terkait itu masalah belakangan, yang penting ketakutan dan kekhawatiran kami harus difasilitasi terlebih dahulu.

Setelah 12 tahun berlalu, muncul kasus intoleransi pembubaran bakti sosial, penyerangan Gereja St. Lidwina di Sleman, penolakan acara sedekah laut di Pantai Baru, penyerangan di Pengadilan Negeri Bantul terkait kasus pameran Wiji Tukul, hingga pemotongan nisan salib warga Katolik di Kotagede oleh kami-kami yang takut dengan beda agama ini, ternyata masalah pendatang baru beda agama di lingkungan mayoritas muslim terjadi kembali.

Sebuah rumah di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang warganya merupakan mayoritas muslim ini ditempati oleh Mas Slamet yang beragama Katolik. Keberadaannya langsung ditolak oleh warga setempat setelah menetap selama tiga hari.

Ya jelas saja, Mas Slamet yang terlihat seperti seniman karena berambut panjang ini sudah membuat kami auto waswas. Lagian kami kan juga nggak tahu kalau seniman itu kerjanya ngapain aja?

Kalau pun dia sudah sering ketemu orang-orang dengan beragam usia, latar belakang, dan pola pikir saat bikin event pameran bersama atau berkesenian ya itu bukan urusan saya kalau Mas Slamet lebih mudah menerima keberagaman. Yang penting sekarang adalah gimana biar warga di Dusun Karet ini tidak terganggu dengan keberadaan Mas Slamet.

Saya yakin betul bahwa warga setempat yang merupakan saudara seiman setakwa sesama muslim dengan saya ini pasti tidak berniat buat bikin Mas Slamet dan sekeluarga trauma, sampai-sampai membuat Mas Slamet mengambil keputusan segera pindah.

Mereka pun juga sudah memberi “keringanan” agar Mas Slamet bisa menetap di sana dengan syarat: tidak mengadakan doa di rumah dan tidak merugikan warga meski beda agama, kan? Kayak gini kok masih dibilang intoleransi.

Kami tuh cuma takut kalau misal tiba-tiba ada ritual-ritual religi yang bisa bikin macet kawasan perumahan karena harus keliling kompleks malem-malem sambil bawa obor dan pengeras suara yang bisa bikin warga terganggu pas asyik-asyiknya nonton dangdut akademi.

Lha gimana ya, semua kemungkinan terburuk juga harus diperhitungkan risikonya ya kan?

Kalau misal saya berada di lingkungan itu sih, saya juga nggak mau kalau kualitas keimanan saudara, teman, dan tetangga saya jadi menurun gara-gara lihat Mas Slamet beli kado silang buat keluarga, rame-rame menghias pohon natal, ngajakin anak-anak bikin telur paskah di sekolah minggu, berangkat ibadah Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci, Minggu Paskah, apalagi kalau sampe ada open house pas Thanksgiving atau Halloween ala ala di film. Itu beneran ada atau enggak pun saya nggak tahu. Lagian itu juga bukan urusan saya.

Oya, fyi, saya sebenarnya juga takut kalau tiba-tiba nggak sengaja nonton Home Alone kalau nggak ada tontonan lain pas liburan akhir tahun, nggak tahu takut kenapa pokoknya yang nggak sesuai dengan apa yang harus dilakukan oleh keyakinan saya lebih baik dihindari deh.

Yah, walaupun sekarang kasusnya sudah dituntaskan dan Mas Slamet akhirnya diperbolehkan tetap tinggal dan nggak jadi diusir. Pihak kepolisian, perangkat desa, dan tokoh agama setempat yang cepat tanggap, berhasil membujuk kami untuk menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Lalu meminta kami mencabut aturan soal larangan orang beda agama dengan kami untuk tinggal.

Meski kasus intoleransi selesai, tapi jelas hal kayak begini meninggalkan bekas trauma pada Mas Slamet dan keluarganya. Jika memang istri dan anak Mas Slamet merasa tertekan, kayaknya pindah betulan jauh lebih baik deh.

Soalnya orang-orang kayak kami masih cenderung takut dengan hal-hal yang tidak kami pahami dan tidak tahu cara memahami sebelum membenci, persekusi, lalu usir mereka dari rumahnya sendiri.

Nggak apa-apa dong, itu kan dusun kami. Meski akhirnya kami sadar, yang kami lakukan ini jebul nggak ada keren-kerennya dan malu-maluin.

Exit mobile version