Mantan Preman Bagas Suratman dan Rasanya Hidup di Penampungan Anak Jalanan

MOJOK.CO – Melihat video soal mantan preman Bagas Suratman, ada sentimen personal yang kuat bagi saya, orang yang pernah tinggal di penampungan anak jalanan.

Beberapa hari yang lalu, saya dipertemukan dengan video tentang Bagas Suratman. Seorang mantan preman yang mampu mengubah hidupnya. Dari dunia gelap lalu memilih bertani. Bahkan tidak hanya hidupnya sendiri yang dia ubah, namun juga orang-orang yang pernah bernasib sama.

Video Bagas Suratman tersebut segera mengingatkan saya pada zaman ketika masih muda. Masih bujangan, luntang-luntung nggak jelas. Hidup sia-sia dan tidak berguna sama sekali kalau saya ingat lagi sekarang.

Kisah Bagas Suratman yang menurut orang lain mungkin inspiratif, bagi saya malah memunculkan rasa haru yang sangat personal. Percampuran antara perasaan bahagia, sedih, dan perasaan lain yang tidak bisa dijabarkan dengan utuh.

Beberapa tahun lalu, ketika masih muda, saya pernah tinggal di kamp konsentrasi anak muda rentan (bahasa kerennya vurnerable youth) yang bertempat di Kabupaten Cianjur. Kalau boleh nyebut merek, saat itu saya ditampung di The Learning Farm, tempat untuk belajar bertani (organik).

Di sana, saya bersama sekitar 40 orang teman seangkatan dari berbagai tempat di Indonesia berkumpul untuk belajar bertani selama empat bulan non-stop. Hal luar biasa bagi saya untuk bertemu dan berinteraksi dengan berbagai jenis orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda.

Menjadi anak muda rentan, anak jalanan, atau apa pun istilahnya bukan sebuah pilihan yang kami inginkan saat itu. Dari sesi sharing and carring yang secara rutin dilakukan untuk memperbaiki kondisi “psikologis” bisa mengungkap berbagai alasan yang melandasi anak untuk hidup di jalanan.

Sebelumnya, alasan ekonomi dan ikut-ikutan teman sepermainan dalam pergaulan mendominasi kepala kami saat di jalanan. Selain itu ada juga yang nasibnya menjadi tidak menentu karena terjadi konflik atau bencana alam yang melanda daerahnya. Membuat anak-anak muda itu kehilangan tempat bernaung maupun keluarga.

Dengan banyaknya bencana belakangan ini, sejujurnya saya cukup cemas akan ada lebih banyak anak yang bernasib seperti kami dulu. Hal itu karena saya pernah tinggal berbulan-bulan bersama mereka, dan saya sungguh tidak bisa membedakan apakah saya merasa iba atau merasa senasib saja.

Setelah berminggu-minggu belajar, kami mengetahui kalau kalau bertani tidak terlalu sulit untuk dilakukan, bahkan oleh orang yang tidak berpendidikan seperti kami. Selama punya tekad dan tujuan, segalanya menjadi mungkin, setidaknya hal itu yang kami yakini saat itu.

Bagian tersulitnya bukanlah pengetahuan yang terbatas, tetapi kondisi mental dan penerimaan oleh masyarakat. Anak-anak yang ditempa oleh kerasnya jalanan seperti teman-teman saya ini akan cenderung anti sosial, tertutup, bahkan rendah diri karena merasa dipandang negatif oleh dunia.

Seiring dengan waktu, pergaulan dan interaksi intens yang dilakukan bersama para mentor, staf, maupun penduduk setempat membuat kami “membaik”. Rasa sabar dan pengertian yang diberikan mampu mengalihkan kehidupan jalanan yang keras sebelumnya.

Mengembalikan mental pemuda rentan agar “merasa layak” dan bisa kembali diterima oleh masyarakat mungkin merupakan hal terberat yang harus dihadapi. Baik bagi mentor atau sosok seperti Bagas Suratman maupun anak-anak yang “ditolong”-nya.

Dengan bertani, pikiran anak muda akan fokus. Sebab energi yang begitu besar dibutuhkan untuk menggarap lahan pertanian. Mereka akan dipaksa oleh keadaan untuk bangun pagi dan tidur cepat, jadi mana sempat punya kepikiran macam-macam.

Lalu ada juga sesi sharing and carring mampu membuat anak yang tadinya tertutup dan malu-malu, akhirnya bisa bercerita dengan runut dan panjang lebar.

Padahal tadinya ketika dapat giliran cerita, saya dan teman-teman sering kali cuma mampu ngomong sepatah dua patah kata. Namun, lambat laun karena pertemuan yang intens semua bergerak ke arah yang lebih baik.

Ketika lulus sebagian dari kami mendapat pekerjaan di farm lain yang membutuhkan tenaga. Ada juga yang direkrut CSR perusahaan untuk membuat kebun. Bahkan ada yang beruntung bisa melanjutkan sekolah sampai dikuliahkan karena mendapat orang tua angkat.

Dan ketika muncul kisah-kisah bahagia, tentu saja ada juga yang tidak kebagian kue keberuntungan. Beberapa di antara kami ada yang harus kembali pulang dan berhadapan dengan kehidupan seperti sedia kala.

Ada yang pulang, ketemu teman lama, lalu kembali ke jalanan. Bahkan ada juga yang berhadapan dengan hukum lalu berakhir di penjara.

Sekali pun tidak seburuk itu nasibnya, mantan anak jalanan yang lain, yang masih bisa bertahan tidak macam-macam masih bakal kesulitan kalau pun mau mengembangkan kemampuannya bertani di dunia luar. Jangankan cari lahan buat digarap, ngontrak tempat tinggal saja tidak mampu.

Lalu ketika saya dipertemukan dengan video Bagas Suratman, seolah ada api baru yang muncul pada tungku yang nyaris padam di hati saya.

Tiba-tiba ingatan masa lalu kembali dan saya sendiri tiba-tiba berharap untuk bisa bertani lagi. Keterampilan yang pernah saya dalami di “pembinaan” anak jalanan saat muda kembali ingin saya geluti lagi.

Dan ini semua dimulai karena pertemuan saya dengan kisah Bagas Suratman.

Exit mobile version