Manfaat Banyuwangi sebagai Kota Dukun Santet

Manfaat Stigma Banyuwangi Sebagai Kota Dukun Santet

Manfaat Stigma Banyuwangi Sebagai Kota Dukun Santet

MOJOK.COKonon Presiden Donald Trump bisa memenangkan pemilu di Amerika itu berkat bantuan dukun-dukun santet dan pelet Banyuwangi. Sangar to?

Harus diakui, eksistensi kota Banyuwangi sebagai kota santet sebenarnya sudah sedikit demi sedikit mulai memudar satu dekade ke belakang ini. Beruntung, hadirnya thread KKN Desa Penari yang booming pada 2019 lalu, membuat kemistisan Banyuwangi melejit lagi.

Walaupun sebenarnya belum jelas juga KKN Desa Penari itu ada di mana, saya sebagai orang Banyuwangi, ternyata tetap mampu memanfaatkan momen tersebut dengan baik. Ketika teman-teman saya pada kepo dengan segudang pertanyaan apakah Banyuwangi memang seserem itu? Saya jawab saja, “Iya.”

Nah, kalau sudah saya jawab iya dan keliatan bulu kuduk orang yang nanya agak naik, saya tambahin aja bumbu-bumbu semacam, “Di Banyuwangi ada namanya Alas Purwo. Kalau ada orang manggil namamu dan kamu noleh, kamu auto-menghilang terbang melayang dan tahu-tahu udah di Alas Roban Batang.”

Ngeri-ngeri sedap, mylov~

Seringkali sebagai seorang perantau dari Banyuwangi ketika ditanya alamat asal dari mana dan kita menjawab, “Banyuwangi,” nggak jarang mereka bakal ngeluarin embel-embel, “Wah pinter santet dong!”

Terus jawaban template anak Banyuwangi pasti gini, “Nanti kalau kamu muntah paku, itu pesan sayang dari aku ya.” Iyaa, kirim santet aja pake sayang, apalagi sayang sama kamu, ya jelas pake pelet laaah~

Ngomongin soal pelet atau santet Banyuwangi yang katanya paling manjur di antara yang lain, tetangga saya pernah bergosip kalau—bahkan—Donald Trump pun memenangkan pemilu di Amerika itu berkat bantuan dukun Banyuwangi. Yawlaaaaa, bangga banget deh. Perdukunan Banyuwangi ternyata udah go internesyenel.

Ya, meskipun saya sedikit takut juga sebagai warga Banyuwangi kota santet berseri, kalau-kalau saya pergi ke Banten atau Kalimantan, lalu perdukunan mereka mencium aroma ke-Banyuwangi-an saya dan mereka balas dendam karena perdukunan mereka kalah tender.

Banyak pengalaman-pengalaman absurd yang saya alami ketika bertemu dengan orang yang parno banget sama Banyuwangi. Pengalaman yang belum lama ini adalah ketika seorang kernet bis jurusan Madiun-Magetan pernah hampir menipu saya soal tarif perjalanan.

Kalau dari logatnya, dia sudah akan menaikkan tarif perjalanan saya karena saya kebablasan bertanya soal tempat pemberhentian. Sayang sungguh sayang, bapak kernet itu melakukan blunder dengan tanya terlebih dahulu saya asalnya dari mana.

Begitu saya jawab, “Dari Banyuwangi,” plus ditambah tatapan mengintimidasi. Eh, si bapak kernet langsung mak tratap kaget. Raut wajahnya langsung takut sampai terkencing-kencing.

Sebagai warga Banyuwangi yang suka pergi ke sana kemari, pengalaman saya membuktikan bahwa sangat manjur bagi orang Banyuwangi untuk menakut-nakuti dengan kalimat, “Nek awakmu apik karo aku yo tak apiki, nek awakmu macem-macem yo lain ceritone wes!” (Kalau dirimu baik sama aku ya aku baikin, tapi kalau dirimu macem-macem ya lain ceritanya).

Yah, mau gimana lagi, sebagai orang Banyuwangi, saya kerap dianggap bisa nyantet atau melet. Padahal saya ini nggak ada potongan dukun santet atau dukun pelet babar blas. Dan di era modern begini, stigma semacam ini tetap aja masih berlaku, mau orang Banyuwangi kayak saya ini sedang tandang ke luar kota atau lagi di dalam kandang.

Kalau sedang tandang, kami sebagai orang Banyuwangi yang nggak tahu menahu soal santet atau pelet pun masih bisa ngibul seolah kami semua ahli dalam dunia santet dan pelet. Ya gimana, stigma orang lain soal Bayuwangi sebagai kota santet udah bikin kibulan itu sukses duluan, bahkan sebelum kibulan itu diniatkan.

Namun, jangan tanya saat di dalam kandang. Sangat jarang orang Banyuwangi nggak tahu menahu soal dunia dukun santet. Kamu bisa lihat bagaimana orang Banyuwangi bisa teriak-teriak “jancuk” dengan santuy nan riang gembira kalau melihat geni mobat mabit neng langit (bola api berkobar-kobar di langit).

Oleh karenanya, jika kalian punya teman dari Banyuwangi yang suka misah-misuh buantere koyo gledek, sudah bisa dipastikan itu anak emang udah terbiasa melihat api di langit mobat-mabit neng langit.

Ya mau gimana lagi, sejarah santet menyantet atau pelet memelet Banyuwangi memang punya riwayat panjang dengan sanad dan nasab yang cukup sahih. Pernah dengar peristiwa “Geger Santet” atau “Perang Santet” pada tahun 1998? Kalau belum, coba searching dan telusuri, mylov.

Dalam perang itu, kamu bisa dapat gambaran betapa nenek moyang, moyangnya lagi, moyang-moyangnya lagi dari orang Banyuwangi memang sangat ahli dalam dunia persantetan. Maka, jika ada yang bilang santet atau pelet Banyuwangi nggak manjur, lha yo menowo dukune wes insap, lur. (Mungkin dukunnya emang udah insaf, bro).

Lantas, bagaimana membedakan antara orang Banyuwangi yang pandai santet, pelet, dengan yang tidak bisa sama sekali? Oh, gampaaang.

Pertama, kalau kalian ngelihat orang Banyuwangi yang pake celana atau baju dengan banyak saku, dipastikan orang itu pandai menyimpan paku-pakuan. Nah, mending, jangan macem-macem sama orang ini. Salah bicara, paku-pakuan itu bisa tercerna di dalam lambungmu.

Kedua, jika teman atau kenalan kalian dari Banyuwangi terus melihatmu dengan pandangan cinta tak sampai, kedipkan mata dan kuatkan diri bahwa peletnya tak akan mempan buat mendapatkan makna cinta.

Ketiga, kasih pertanyaan, “Kamu lebih milih melet Pevita Pearce atau Lucinta Luna?”

Kalau dia jawab Pevita Pearce, nah bisa jadi dia pandai pelet Banyuwangi. Lha kok? Ya iya, soale perdukunan Banyuwangi nggak kuat kalau suruh kirim pelet ke Lucinta Luna. Mungkin perdukunan Banten atau Kalimantan yang bisa.

Selain itu, untuk membuktikan kenalan kalian itu pandai pelet atau nggak, suruh dia buka mulut sambil mengeluarkan nafas. Kalau dia nggak bisa, berarti dia bukan ahli perpeletan. Melet gitu aja nggak bisa, apalagi melet hati orang.

Terakhir, sebagai orang Banyuwangi yang baik dan budiman, saya kasih tahu ke kalian jika sempet main ke Banyuwangi, plis nggak usah nggumunan kalau kalian dengar penjual asongan nggak teriak, “Cangcimen, cangcimen, cangcimen,” tapi teriaknya, “Santetnya, Kak. Bisa isi paku payung, paku gajah, atau paku-pakuan.”

BACA JUGA Bapak Saya Seorang Dukun: Sebuah Cerita, Sederet Tanya atau tulisan rubrik ESAI lainnya.

Exit mobile version