Magrib Hari ini: Mengejar Surga di Tengah Rush Hour Jalanan Surabaya

Mengingat Bus Surabaya terakhir beroperasi pukul tujuh malam dan Trans Jatim pukul sembilan, jangan pernah jalan di rush hour. Pulang saat siang adalah pilihan terbaik kalah rumahmu ada di Porong.

Magrib Hari ini Mengejar Surga di Tengah Rush Hour Jalanan Surabaya MOJOK.CO

Ilustrasi Magrib Hari ini Mengejar Surga di Tengah Rush Hour Jalanan Surabaya. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COUsaha kamu akan sia-sia, ketika mengejar Magrib hari ini yang berjarak satu jam dengan salat Isya jika kamu pulang di jam-jam paling macet di Surabaya.

Waktu menunjukkan pukul 16.43. Menenteng titipan dari saudara di Sidoarjo, saya meninggalkan Royal Plaza Surabaya. Begitu berada di luar Royal Plaza Surabaya, mata saya langsung menuju layar ponsel. Isi kepala saya langsung sibuk mengestimasi, kira-kira, apakah saya bisa menunaikan salat Magrib hari ini dan pukul berapa saya bisa sampai rumah. 

Bus sore di saat jam pulang kerja memang paling penuh tantangan buat batin. Selain ramai penumpang, jalanan Surabaya pasti sesak dan ramai. Belum lagi kalau kondektur memasang ekspresi muka datar dan mengumbar nada bicara yang agak sengak. Membayar tiket senilai Rp5.000, saya mendapatkan itu semua ditambah semburat senja yang hampir tiba.

Tidak lama kemudian, ponsel saya bergetar. Sebuah pengingat bahwa kewajiban salat Magrib hari ini sudah hampir tiba. Percaya diri saya berkata dalam hati, “Habis ini sampai di Terminal Purabaya. Seharusnya aman.”

Langit perlahan berubah dari oranye kekuningan ke abu-abu, lalu biru gelap. Tidak terasa bus sore itu semakin sesak. Lansia yang naik belakangan tidak dipungut biaya, alias gratis, dengan menunjukkan KTP. Pemerintah Surabaya menanggung biaya perjalanan mereka.

Gelisah ketika mengejar Magrib hari ini di sesaknya Surabaya

Awalnya saya memang percaya diri. Namun, perlahan, rasa percaya diri itu menguap ketika bus yang saya tumpangi lewat Tugu Pahlawan

Kombinasi antara lagu sendu yang mewarnai bus sore itu dan firasat akan sampai lebih lambat membuat perasaan saya nggak enak. Kondisi di dalam bus sudah semakin sesak, klakson kendaraan memadati jalanan Surabaya tembus ke dalam bus. Saya jadi pusing dan enggan berpikir lebih jauh lagi.

Namun, saya masih bisa bersyukur ketika sampai di halte Darmo. Saya melihat banyak calon penumpang bus yang tidak terangkut. Mereka harus ikhlas menunggu kedatangan bus selanjutnya. 

Ketika bus yang saya tumpangi melintas di depan Masjid Al-Falah, hati saya terketuk ingin turun lalu menunaikan salat. Namun, karena terlalu banyak pertimbangan, salah satunya adalah kebodohan sendiri, saya putuskan menunaikan salat Magrib hari ini di Terminal Purabaya.

Saat itu saya juga membawa keponakan. Tanggung jawab saya untuk sampai di rumah sebelum malam ikut menambah pikiran. Maka, karena terlalu lama berpikir, pintu bus sudah tertutup. Saya kehilangan kesempatan untuk salat Magrib di Masjid Al-Falah. Ya sudahlah. Memang salah saya. 

Kemacetan di Surabaya yang membuat khawatir

Mata saya mulai mengantuk, pikiran berkecamuk. Untung saya masih bisa sedikit berpikir jernih. Kalau tidak, mungkin saya sudah memaksa bus untuk berhenti demi menunaikan salat Magrib hari ini.

Tapi saya tetap yakin, walaupun kurang 20 menit lagi akan tiba waktu Isya. Sampai di depan UINSA (Universitas Islam Negeri Surabaya), saya sudah sedikit lega karena Terminal Purabaya, yang juga dikenal dengan nama Bungurasih, tidak terlalu jauh lagi. Namun, sampai di daerah Medaeng, macetnya jalanan Surabaya ternyata semakin parah. 

10 menit menuju waktu salat Isya…. 

Saya kelimpungan melihat wajah orang-orang di sekitar. Saya berharap menemukan satu-dua wajah yang khawatir takut ketinggalan salat Magrib hari ini. Sampai di titik keputusasaan, saya sekilas teringat salat Lihurmatil Waqti alias salat niat menghormati waktu yang nanti harus saya ganti lagi sesaat saya sampai di tempat salat. 

Namun, saya mengurungkan niat itu karena sempitnya space antara saya dan penumpang di depan saya. Selain itu ada tatapan wanita di seberang yang membuat saya berpikir dua kali karena pastinya saya dikira ngapain gitu kan.

Terlambat menunaikan salat Magrib hari ini yang selalu mengganggu perasaan

Saya tersenyum memandang jarak yang semakin dekat dengan terminal. Namun, seiring itu, saya mendengus kesal karena jalan bus Surabaya ini malah melambat. 

Keponakan saya berbisik, “Sudah waktu Isya, Mbak.” 

Saya yang awalnya komat-kamit ber-istighfar, jadi kesal karena perasaan guilt-tripping saya yang berteriak di kepala: “Harusnya kamu tadi gini, kamu gitu.” 

Salah satu perasaan yang paling saya benci di dunia ini adalah ketika telat salat. Bagi saya, itu kan kewajiban utama, masa sih gitu aja nggak bisa. Ya, gengsi sama Tuhan. 

Atau memang karena buku ilustrasi neraka yang saya baca waktu kecil itu masih menghantui saya akan azab kubur dan neraka. Oleh sebab itu, begitu sampai Purabaya, saya bergegas menunaikan salat Magrib hari ini. 

Saya langsung tanya posisi musala ke kondektur. Dia menjawab, “Oh itu ada tikungan belok kanan, lurus terus, nanti ada masjid, Mbak.”

Tanpa panjang lebar, saya langsung berjalan secepat mungkin. Terdengar dari jauh azan Isya samar-samar dari surau lain, namun sumber suara masjid terdekat sudah melantunkan salawat. Saya kecewa sekali karena hasil dari husnudzon membuahkan hasil telat salat yang wajib saya lakukan sebagai muslim yang baik. 

Kudu pandai mengatur waktu

Hikmahnya? Sesederhana kudu pandai mengatur waktu. Untuk para pembaca, semoga artikel yang aslinya sambat hasil guilt-tripping ini memberi manfaat. Sekalian tolong mendoakan saya supaya tidak lagi mengulangi dosa yang sama. Karena orang yang celaka kata Al-Qur’an dalam surah Al-Ma’un, adalah orang yang melalaikan waktu salat.

Selepas salat Isya berjamaah, saya meng-qadha’ salat Magrib hari ini, disusul salat taubat dua rakaat untuk memohon ampunan karena keteledoran saya. Saya salat dengan kecepatan yang lebih tinggi. Iya, ada keponakan menunggu dan kami harus segera mengejar Bus Trans Jatim ke arah Terminal Porong. 

Setelah menembus kemacetan Surabaya, saya sampai di Porong pukul sembilan malam. Nenek saya sudah menunggu di depan teras. Dia terlihat sangat khawatir. “Perawan jangan pulang terlalu malam,” katanya. 

Saya hanya bisa mengangguk, sambil membatin kalau stigma tersebut terdengar aneh sekali. Tapi, yah, pulang di waktu rush hour Surabaya itu ide yang sangat buruk. 

Mengingat Bus Surabaya terakhir beroperasi pukul tujuh malam dan Trans Jatim pukul sembilan, jangan pernah jalan di rush hour. Pulang saat siang adalah pilihan terbaik kalah rumahmu ada di Porong.

Usaha kamu akan sia-sia, ketika mengejar Magrib hari ini yang berjarak satu jam dengan salat Isya jika kamu pulang di jam-jam paling macet di Surabaya.

Penulis: Roudhotul Maghfiroh

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 8 Kebohongan tentang Kota Surabaya dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version