Maaf, Pak Jokowi, Kami Malas Jadi Petani

Maaf, Pak Jokowi, Kami Malas Jadi Petani

Maaf, Pak Jokowi, Kami Malas Jadi Petani

Kemarin pagi saya membaca beberapa koran pagi ditemani tahu Sumedang, lengkap dengan gigitan cabai rawit yang semakin syahdu karena tinggal melahap kudapan yang dibawa teman alias gratis. Tahu itu seperti seret di tenggorokan saat halaman berita sampai pada berita bagaimana petani cabai di Waled, Cirebon, malas panen.

Males panen, Bor. Malas panen.

Membaca petikan wawancaranya (Jawapos edisi Selasa, 12 September 2017, hal 3), Pak Maimun, salah satu petani cabai tersebut, membuat saya miris dan menjadi enggan melanjutkan ngremus cabai untuk sementara.

“Kami juga bingung. Padahal, saat ini musim kemarau, biasanya harga-harga mahal karena ongkos dan biaya tanam naik. Ini malah turun, cenderung tidak laku,” ungkapnya. Pak Maimun mencontohkan harga cabai hijau besar di tingkat petani yang saat ini dibeli tengkulak hanya Rp 4 ribu per kilogram.

Harga itu, menurutnya tidak sebanding dengan ongkos biaya petik harian yang saat ini mencapai Rp 35 ribu, yang paling-paling maksimal dapat 7 kilogram cabai. Jika dikali Rp 4 ribu, paling banter dapat Rp 28 ribu, sedangkan biaya yang dikeluarkan Rp 35 ribu. Ketimbang harus tombok, mending tidak usah dipanen. Itu alasan yang logis sekaligus membuat ngelus dada.

Duh, saat harga cabai tinggi seperti beberapa bulan lalu, petani pun belum tentu sejahtera, apalagi seperti sekarang saat harganya anjlok, bahkan saat memanen pun mereka enggan.

Sementara itu, menurut Kepala Badan Pusat Statistik, Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, awal Agustus kemarin, nilai tukar petani (NTP) sepanjang Januari-Juli konsisten di bawah NTP pada periode yang sama tahun lalu. Dan tentunya hal tersebut adalah indikasi yang tidak bagus.

Masih menurut data BPS tersebut, NTP stagnan di angka 100. Idealnya, indeks harga yang diterima petani jauh lebih besar daripada yang dibayar sehingga petani lebih sejahtera dan bisa menabung. Kenyataannya, tidak demikian. NTP merupakan perbandingan antara Indeks harga yang diterima petani dengan Indeks harga yg dibayar petani.

Ketika NTP di atas angka 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya dan pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya.

Jika NTP-nya adalah 100, seperti data yang dilansir BPS di atas, berarti petani mengalami impas. Kenaikan atau penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan atau penurunan harga barang konsumsi. Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya.

Di angka itu pun sebenarnya petani sudah rugi, karena beban hidup petani tentu bukan hanya persoalan produksi, ada urusan dapur tetap ngebul, anak tidak terlambat bayar sekolah, atau tetek bengek cicilan lain yang tidak akan pernah berkompromi.

Bisa dibayangkan, rendahnya nilai tukar petani dalam jangka panjang mungkin akan mengancam ketahanan pangan. Alasannya tentu jelas, sektor pertanian akan semakin ditinggalkan karena kian tidak menguntungkan. Usaha tani bahkan menjadi pilihan terakhir.

Mas dan Mbak, nganu, jangan dikira urusan pangan ini bukan urusan politis, lho. Memang sih tidak seseksi demo mengutuk osang-oseng tapir sambil teriak-teriak sembari mbibrik akhwat lucu uwuwuw.

Beberapa saat lalu, Presiden Jokowi dalam Dies Natalis IPB ke-54 di Kampus IPB Bogor mengatakan bahwa lulusan IPB banyak yang kerja di bank daripada menjadi petani. Duh, saya jadi mbatin apa salahnya kalau saya tidak mau jadi petani, jika kesejahteraannya suram. Bagaimana nanti bisa beli kuota, kredit kendaraan, biaya eksis foto-foto untuk Instagram, biaya mbibrik dan lain-lainnya?

Mungkin mahasiswa dan mahasiswi IPB itu mbatin;

“Lha, nyuwun sewu lho, Pak Jokowi, njenengan juga kan dulu kuliah di Fakultas Kehultanan UGM kok sekarang jadi presiden?”

Lalu netizen khas anak-anak gera’an berkomentar beda lagi:

“Lha piye mau jadi petani, sawah-sawah malah dibangun pabrik semen?”

Sejak awal masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo bertekad untuk mevvujudkan kedaulatan pangan pada empat komoditas, yaitu beras, gula, jagung, dan kedelai. Pada saat pemerintah bertekad menciptakan kedaulatan pangan, justru lahir ironi: kesejahteraan petani merosot.

Mungkin, menjadi petani memang menjadi jalan sunyi yang tidak semua orang bisa dan mampu melakukannya. Sebuah jalan ninja yang penuh rintangan, jalan hijrah yang kaffah. Sedikit enaknya banyak getirnya.

Saking getirnya, saya kemudian mencari lagu petani di Youtube yang dulu sering diputar di TVRI tahun 90-an. Itu pun saya tidak bisa temukan. Sekadar klangenan lirik:

Nasi putih terhidang di meja kita santap tiap hari

Beraneka ragam hasil bumi dari manakah datangnya

Dari sawah dan ladang disana, petanilah penanamnya

Panas terik tak dirasa, hujan rintik tak mengapa

Masyarakat butuh bahan pangan

Terima kasih bapak tani, terima kasih ibu tani

Tugas anda sungguh mulia …

Yang ada hanya versi covernya, saya jadi ingin menangys. Tambah ingin menangys karena saya juga cuma nyangkem, lupa kapan terakhir bersihin rumput di sawah.

Exit mobile version