MOJOK.CO – Meski menyandang status lulusan S2 UGM, pemuda ini memikul stres karena status dan kesulitan bertahan hidup di Jogja.
Saya punya teman, namanya Andi, lulusan S2 UGM. Dia baru lulus 2024 yang lalu dan hingga saat ini, belum mendapat pekerjaan.
Sebetulnya, dia punya cita-cita untuk menjadi dosen. Namun, saat ini, yang bisa menjadi dosen adalah mereka yang sedang atau sudah memiliki titel S3. Dia juga ingin kuliah S3, tapi ada hambatan dalam soal biaya dan kesulitan menembus jalur beasiswa.
Lulusan S2 UGM yang merasa serba salah
Saat ini, sebagai lulusan S2 UGM, Andi justru merasa serba salah. Kita sama-sama tahu kalau syarat S3 itu penting kalau mau jadi dosen. Semua ini, salah satunya, karena keperluan universitas mengejar akreditasi.
Apalagi, mengajak para dosen untuk melanjutkan kuliah S3 itu lebih susah dibandingkan mendaftar S2. Banyak yang menjadi pertimbangan. Misalnya, panjangnya waktu studi hingga tingginya biaya bagi mereka yang tidak mendapat beasiswa. Selain itu, biasanya, mereka yang hendak S3 belum punya pekerjaan sebagai dosen.
Konkretnya kayak gini: Sebagai lulusan S2 UGM, Andi belum bisa mendaftar S3 karena belum bekerja sebagai dosen. “Bagaimana mau menjadi dosen, lha wong persyaratannya saja S3? Mau S3 juga tidak memiliki uang, mau beasiswa juga ditolak karena belum menjadi dosen. Serba salah hidup saya ini,” keluh Andi.
Baca halaman selanjutnya: Ekspektasi lulusan kampus ternama yang justru membebani.
Banyak pekerjaan yang tidak mau menerima lulusan S2, meski lulusan UGM
Andi menuturkan bahwa banyak pekerjaan yang menolak lulusan S2. Entah karena tidak memenuhi syarat atau standar gaji lulusan S2 UGM terlalu tinggi. Padahal, dia merasa status lulusan UGM bisa sedikit membantu. Tapi nyatanya, hal-hal seperti itu tidak lagi terjadi.
Andi sendiri bilang sudah puluhan kali mendaftarkan pekerjaan di Jogja. Namun, sampai saat ini, dia tidak kunjung menerima panggilan. Kesedihan ini semakin terasa karena tidak hanya Andi yang mengalami. Ada juga teman saya, namanya Berta, yang mengalami hal yang sama.
Berta juga lulusan S2 UGM. Saat ini, dia bekerja sebagai asisten dosen di sebuah kampus di Jogja. Masalahnya, “profesi” ini tidak bisa memberinya bayaran. Oleh sebab itu, Berta ingin menyudahi pekerjaan ini. Namun, karena satu dan lain hal, si dosen selalu menahan Berta.
Lain cerita dengan Andi, Beta sudah mendaftarkan dosen di beberapa universitas di Jogja. Namun, yang dia dapat hanya penolakan. Katanya, lulusan S2 itu cuma praktisi, bukan keilmuan. Ketika mengirimkan lamaran ke sebuah perusahaan, yang dia dapat juga penolakan. Katanya, mereka nggak butuh lulusan S2 UGM, tapi lulusan S1, bahkan SMA.
Kini menjadi ojol untuk bertahan hidup di Jogja
Andi, seorang lulusan S2 UGM, kini menjadi ojol untuk bertahan hidup di Jogja. Dan bagi dirinya, pekerjaan ini tidak semudah yang ada dalam bayangannya. Satu hal yang selalu menghantui Andi adalah pertanyaan atau komentar para penumpangnya.
“Lulusan S2 UM kok tidak melamar dosen?”
“Lulusan S2 kok cuma jadi ojol?”
Setiap pertanyaan dari penumpang hanya membuat hatinya semakin teriris saja. Rasanya seperti hidup segan mati tak mau. Baginya, yang penting adalah pekerjaannya halal dan tidak merugikan orang lain. Saat ini, bisa bertahan hidup di Jogja saja sudah lebih dari cukup.
Ekspektasi masyarakat tentang lulusan S2 UGM
Saat ini, ekspektasi masyarakat kepada lulusan S2 itu masih sangat tinggi. Apalagi mereka yang lulus dari perguruan tinggi ternama seperti UGM.
Memang, menyandang status lulusan perguruan tinggi ternama bisa memberi rasa bangga tersendiri. Namun, di sisi lain, hal ini melahirkan ekspektasi yang berlebihan. Bahkan, di level tertentu, bisa melahirkan stres yang tak perlu. Inilah yang saat ini dirasakan Andi.
Andi mengaku stres lantaran banyak yang menganggap lulusan S2 UGM itu sesuatu yang istimewa. UGM membawa ekspektasi tertentu. Namun, kalau sudah lulus dan terlalu lama menganggur, rasa stres itu pasti muncul. Namun dia bisa apa, itulah keresahan dari seorang lulusan S2 UGM.
Itu tadi pengalaman lulusan S2 UGM yang sementara menjadi ojol hanya untuk bertahan hidup di Jogja. Jauh dari bayangan dan cita-cita teman saya.
Saya yakin, banyak lulusan perguruan tinggi yang merasakan keresahan ini. Biaya kuliah yang tinggi, status “terhormat” lulusan kampus ternama, hingga pandangan aneh kepada pengangguran memberi tekanan tertentu.
Pada akhirnya, saya berharap ada aturan baru supaya lulusan S2 bisa lebih mudah mendaftar dosen. Selain itu, saya berharap, para dosen di luar sana, bisa tetap mengabdi dengan baik meski cobaan datang silih berganti. Amin.
Penulis: Helena Jovita Junijanto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pedihnya Lulusan S2 UGM, Ijazah Mewah Cari Kerja Susah dan pengalaman pahit lainnya di rubrik ESAI.