Lima Tips Agar Pak Polisi Tak Stres Lagi

Anak Buahnya Sensi pada Kritik, Kapolri Putuskan Bikin Lomba Mural Kritik Polisi mojok.co

“Masalah tugas di kepolisian salah satu yang mengundang stres. Ini memang salah satunya. Sudah beban tugas berat, ada lagi masalah pribadi,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Anton Charliyan.

Anton juga mengatakan ada satu penelitian yang mengungkap bahwa 80% Polisi Lalu Lintas (Polantas) dan anggota serse stres karena beban tugas. Pengakuan itu diberikan setelah Kanit Lantas Polsek Cipondoh diberitakan meninggal bunuh diri di rumah teman wanitanya.

Nggak ada yang mengejutkan dari uraian di atas, termasuk ketika banyak orang menjadikan berita ini sebagai olok-olok. Tapi ayolah, ini bukan bahan yang cocok untuk itu. Apalagi kalau Anda bagian dari kelas pekerja. Polisi itu kelas pekerja juga, buruh seperti kita. Ingat, semua yang digaji adalah buruh. Sebagai bentuk solidaritas sesama buruh, berikut lima tips agar kawan-kawan polisi nggak stres lagi.

#1 Batasi jumlah kendaraan bermotor

“Gimana nggak stres dengan kondisi yang dihadapi. Belasan ribu Polantas gimana nggak gila harus ngurusi 120 juta lebih kendaraan bermotor – 90-100 juta di antaranya adalah motor,” tulis Mas Kokok Dirgantoro di status Facebook-nya, “mengapa kepolisian nggak merekomendasikan kurangi kapasitas produksi motor nasional karena statistiknya sudah membahayakan?”

Barangkali ada yang bertanya kenapa penekanannya hanya pada jumlah motor? Lalu dijawab sendiri: karena Mas Kokok pengendara mobil, Alphard lagi. Namun, saya nggak ingin meniru para marxis vulgar dengan mengatakan kalimat Mas Kokok adalah wujud keberpihakannya terhadap kelas borjuis (diasosiasikan dengan Alphard) melawan kelas pekerja (diasosiasikan dengan motor) dalam perspektif pertentangan kelas.

Data yang dikeluarkan oleh Ditlantas Polda Metro Jaya (2015) memang menyebut jumlah kendaraan bermotor di Jakarta dan sekitarnya bertambah 5.500 hingga 6.000 unit kendaraan per hari. Per hari! Jumlah itu didominasi oleh pertambahan sepeda motor yang mencapai 4.000 hingga 4.500.

Bagaimana rupa jalanan Jakarta lima atau sepuluh tahun ke depan? Itu baru Jakarta.

Pemerintah bukannya nggak berusaha mengurangi kemacetan, buktinya ada regulasi seperti penambahan jalan, car free day, three in one, electronic road pricing, dan pelarangan sepeda motor (para pengendara mobil, berterima kasihlah kepada Ahok, gubernurnya orang-orang bermobil). Sekalipun solusi tersebut terasa sama sekali nggak menyentuh akar permasalahan, tetaplah positive thinking. Seremeh apa pun solusinya, yakinlah itu bukan kesengajaan untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap ketidakmampuan pemerintah menyediakan transportasi publik yang layak. Husnuzan, Akhi, ketimbang kena pasal ujaran kebencian.

“Jika memang pemerintah serius mau mengurangi kemacetan, kenapa impor kendaraan justru dibuka lebar-lebar? Kenapa pajak kendaraan di Indonesia murah sekali? Bayangkan apa yang terjadi kalau pajak kendaraan dipasang tarif tinggi? Uangnya bisa digunakan untuk penyediaan transportasi publik yang layak!”

Jangan sok tahu, Bung! Yang jelas penjualan otomotif bisa seret, pengusaha mobil nggak kaya-kaya. Dan macet di kota-kota besar itu bukan cuma masalah orang kota, tapi seluruh bangsa! Kalau yang macet cuma kota besar, artinya arus uang memang cuma deras di sana. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi nggak merata!

Berlawanan dengan Mas Kokok, keran impor kendaraan justru harus dibuka lebih lebar lagi biar seluruh Indonesia bisa macet sampai ke pelosok-pelosoknya sebagai bukti pertumbuhan ekonomi sudah merata. Nanti Polantas tambah stres, dong? Nggak apa-apa, setidaknya semua orang juga stres.

Dengan semakin dibukanya impor mobil LCGC, pajak kendaraan rendah, kemudahan ambil kreditan di bank, nggak ada pembatasan usia kendaraan, nggak tersedianya transportasi publik yang layak, kebutuhan industrial soal ketepatan waktu, dan akumulasi kapital yang cuma di kota-kota besar, yang paling masuk akal ya membeli kendaraan pribadi. Jadi mulai sekarang, camkan ini baik-baik: kemacetan adalah pasar yang nggak boleh dibubarkan!

#2 Menjadi cantik

Berbahagialah Mbak-mbak Polwan yang punya paras cantik. Yang beruntung, bisa tampil di MetroTV setiap pagi dan populer seperti Briptu Eka, Ipda Keisha, Brigadir Avvy Olivia, Briptu Hilda Nurmala, dan Briptu Dara Intan. Bagi yang merasa jelek, carilah dokter bedah plastik. Kalau sudah cantik tapi tetap nggak masuk TV, setidaknya tetap lebih dieman-eman ketimbang waktu masih jelek.

Ya, begitulah cara kerja industri media, Mbak. Manusia distandarisasi cantik dan tidaknya, komodifikasi tubuh untuk memenuhi selera pasar yang sebelumnya sudah lebih dulu dibentuk. Tak beda-beda amat dengan abad pertengahan, di mana orang bisa disalib cuma gara-gara bilang bumi itu bulat.

Misoginis, ya? Ah, nggak juga. Misoginis, kan, kalau Mbak-mbak Polwan itu merasa terpaksa cantik. Lha kalau free will? Diskriminatif, sih, mungkin iya. Namun tenang, meski MetroTV nggak menganggapmu cantik karena kamu cantik… cantik dari hatimu.

#3 Akui bahwa polisi memang nggak sehebat itu

Dengan mengenakan baju bebas, ribuan polisi turun ke jalan. Sembari membawa spanduk, mereka bernyanyi-nyanyi. Di sebuah lapangan besar, langkah mereka berhenti tapi bukan nyanyiannya. Polisi-polisi itu bukan sedang jalan sehat tapi menuntut pemerintah. Bendera besar di tengah lapangan menjadi saksi bahwa polisi sekalipun juga berhak demo meminta kenaikan gaji yang sepadan dengan jam kerja.

Kisah nyata ini terjadi pada Maret 2009 lalu. Sayangnya di Spanyol, bukan Indonesia.

Begitu juga di Brazil, beberapa minggu sebelum Piala Dunia tahun lalu. Sejak Rabu, 7 Mei 2014, polisi federal sudah mogok kerja selama 24 jam di beberapa kota termasuk Fortaleza dan Rio de Janeiro. Juru bicara pendemo mengatakan, “Kami akan terus berdemo hingga beberapa minggu mendatang dan selama Piala Dunia jika pemerintah tidak menaikkan gaji kami sejalan dengan inflasi.”

Baca lagi kutipan dari Irjen Anton Charliyan di alinea pertama. Selain masalah pribadi, stresnya kawan-kawan polisi juga disebabkan beban tugas berat. Saya nggak akan mengatakan pernyataan Kadiv Humas Polri sebagai kode. Namun, harus diakui penghasilan polisi sekarang belum sebanding dengan beban kerja yang dihadapi. Apa jadinya jika lembaga yang melayani dan melindungi, harus terpecah perhatiannya karena rokok habis, pacar minta gawai baru, DP untuk beli Ninja kurang, atau ingin wisata ke Bali seperti kawan-kawan buruh lainnya?

Selain itu, polisi yang sering dininabobokan sebagai putra-putri terbaik bangsa, abdi negara yang paling disiplin dan ngerti hukum sendiri, penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, sering kali membuat mereka merasa paling hebat. Padahal ini justru menjadi beban bagi mereka.

Polisi tetaplah manusia, ada waktunya punya masalah, ingin menangis, butuh pelukan hangat, atau sekadar bahu untuk bersandar. Tapi nggak bisa karena mereka harus tampil sempurna, wibawa, tangguh, bakoh, strong, gagah, dan perkasa. Di situ, kadang saya merasa sedih.

Coba kawan-kawan polisi berani mengakui bahwa polisi juga manusia biasa. Kalau ada masalah, jangan dipendam sendiri. Hanya dengan mengakui kelemahan, kita bisa mengobati kelemahan itu.

Kalau sudah, berikutnya posisikan diri dalam masalah orang lain. Ketimbang berhadap-hadapan dengan mahasiswa dan buruh yang berdemo, coba ikut demo sekalian menuntut remunerasi, misalnya.

Atau setidaknya jangan galak-galak, lah. Kalau bisa mendukung dengan doa, lebih bagus. Terkadang cinta justru adalah milik mereka yang cuma bisa diam-diam saling mendoakan.

#4 Berhenti jadi polisi

“Kalau nggak suka, resign aja!”

Terdengar ngehek memang, tapi setiap kali saya mengkritik tempat kerja saya, ada saja orang ngehek bilang begitu. Ada yang bilang kalau orang ngehek model begitu nggak perlu didengarkan tapi dihubungkan dengan stres. Saran ngehek ini saya jamin efektif.

Jadi pengusaha adalah ide yang bagus. Namun, bicarakan dulu dengan pasangan bagi yang sudah menikah, atau orang tua bagi yang belum. Ridlo mereka adalah doa terbaik karena merintis usaha itu nggak semudah hadap-serong-kiri-langkah-tegap-maju-jalan-grak! Tanyakan pada Norman Kamaru kalau nggak percaya. Terlebih dengan adanya Trans-Pacific Partnership kalau nanti Indonesia benar-benar bergabung.

Mau jadi pegawai saja? Buat dulu surat pengunduran diri. Tempat kerja yang baru nggak akan mau menerima orang yang pernah diberhentikan dengan nggak hormat. Selain itu, cari informasi lowongan kerja dan selamat menjalani hari-hari menenteng map ke sana-ke mari sebelum merasakan jadi pekerja dengan gaji di bawah UMR. Oh iya, sebaiknya cari pekerjaan yang sesuai dengan bakat. Ingat-ingat lagi, ada bakat lain selain baris-berbaris?

Kalaupun semua sudah dicoba tapi nyatanya tetap stres juga, setidaknya stresnya bukan sebagai polisi. Efektif, bukan?

#5 Rajin membaca Mojok

Anda membaca seluruh tulisan ini dari atas ke bawah? Ngapain? Harusnya sih nggak perlu repot-repot begitu, langsung saja ke tips yang ini. Keempat tips tadi nggak ada apa-apanya dibandingkan yang ini.

 

*sumber gambar

 

Exit mobile version