FYI, Laki-Laki Tukang Ngatur Itu Lebih Meresahkan daripada Tukang Parkir Gaib

FYI, Laki-Laki Tukang Ngatur Lebih Meresahkan daripada Tukang Parkir Gaib

MOJOK.CO Apa yang bisa diharapkan dari laki-laki tukang ngatur yang merendahkan perempuan, padahal mereka sebenarnya sangat meresahkan dan berbahaya?

“Dia jelas nggak mau, lah. Perempuan berbahaya macam kamu, kan, susah diatur.”

Seorang lelaki mengomentari kemungkinan lelaki lain mau menikahi sahabat perempuannya. Sekalipun pernyataan tersebut mengandung kebenaran, jujur saya sangat sedih mendengarnya.

Tunggu, bukan berarti kisah “laki-laki tukang ngatur” ini adalah kisah saya pribadi. Anggap saja, tulisan ini adalah bentuk solidaritas untuk perempuan yang sering dianggap “berbahaya” dan susah diatur karena berani bersuara sehingga tidak istriable.

Saya tidak sedih pada fakta kemampuan manajerial sebagian (besar) lelaki yang begitu payah, tetapi justru menyalahkan pihak lain atas impotensinya. Saya lebih sedih bagaimana sebagian (besar) lelaki masih melihat pernikahan sebagai arena mengatur manusia lain, dalam hal ini perempuan. Sejak awal, dia tidak melihat perempuan sebagai “rekan yang setara”, melainkan “bawahan” untuk bisa diatur-atur. Kalau tidak bisa ditundukkan, ya sudah, pecat.

Padahal, kegiatan menundukkan manusia lain hanya dilakukan manusia rendah diri. Mereka cenderung merasa perlu menundukkan orang-orang yang “lebih tinggi” agar sama rendah kedudukannya Mereka yang tidak bisa ditundukkan akan ditinggalkan.

Tapi, yah, baiknya memang begitu. Mereka yang ditinggalkan di atas, kelak akan menemukan seseorang yang mengajaknya bergandengan tanpa perlu saling menundukkan. Kenapa? Tentu karena sudah sama-sama “di atas”.

Meski begitu, orientasi lelaki untuk selalu ingin mengatur mereka yang dianggap “lebih rendah” sesungguhnya tidak sehat.

Dalam banyak komunitas, laki-laki memang diamanahi peran sosial sebagai pemimpin rumah tangga (keluarga). Tetapi, menjadi pemimpin dan pengatur adalah dua hal berbeda. Memang, sih, ada gaya kepemimpinan yang hanya gemar mengatur dan memerintah, tetapi minim keteladanan….

Nah, faktanya, gaya kepemimpinan seperti itu bukan pilihan terbaik dalam seni pengaturan manusia, bahkan ketika konsep mengatur hidup manusia lain itu diasosiasikan dengan tugas dakwah.

Sebagai seorang muslim, melalui Alquran dan hadis, saya belajar bagaimana Allah dan Rasulullah kerap menggunakan bahasa ajakan untuk “mengatur” hidup manusia. Bahkan, sebagian besar pengaturan diberikan dalam hikmah berbalut kisah. Halus sekali—bukan sekadar perintah satu arah yang tidak memberi ruang dialog sebab bertanya dianggap membangkang.

Kalau menurutmu ini hanya persoalan (gaya) bahasa, sebenarnya tidak sesederhana itu juga, sih. Dalam komunikasi, bahasa yang kita gunakan berhubungan erat dengan bagaimana kita melihat diri kita dan pihak lain (sebagai register) dan di sinilah permasalahan mentalitas mengatur dimulai.

Sejarah menunjukkan, demi menghidupi poin-poin maskulinitas mereka, lelaki selalu merasa sebagai makhluk yang paling pantas mengatur segalanya di bumi ini: air, laut, udara, hewan, tumbuhan, bahkan manusia lain—yaitu perempuan—yang di mata mereka tidak lebih dari sekadar properti untuk diatur-atur: cara berpakaiannya, cara berjalannya, bahkan cara tidurnya. Kalau love bird merasa dunia hanya milik berdua, lelaki bermental pengatur merasa dunia milik mereka seorang, yang lain kebetulan numpang sehingga harus mengikuti segala aturannya.

Maka, ketika menikah, laki-laki tukang ngatur ini merasa seolah seluruh beban pengaturan berada di pundak mereka. Apabila terjadi konflik, alih-alih mencari akar persoalan dengan objektif, pertama-tama mereka lebih mengkhawatirkan komentar masyarakat perihal “ketidakmampuan” mereka mengatur istri. Relasi pasangan seperti ini jelas tidak memberi ruang saling menasihati ala rumah tangga Nabi Muhammad saw. di mana Aisyah ra. “berani” menegur Rasulullah yang tidur tanpa salat sunah dan menginterupsi beliau ketika sedang berceramah.

Jelas, dialog seperti itu tidak akan hadir dalam rumah tangga laki-laki tukang ngatur sebab, dalam benak mereka, perempuan tidak tampak sebagai manusia setara yang bisa salah untuk diingatkan sekaligus bisa benar untuk mengingatkan. Bagi laki-laki tukang ngatur, dialah sumber pengetahuan dan perintah utama juga satu-satunya di dalam rumah. Hadeh!

Bahaya ini akan kian menjadi-jadi kalau si perempuan terlalu sering menonton serial Azab, lalu mengamini mentalitas suami pengatur seperti itu dan melupakan fungsinya sebagai khalifah fil ardh. Padahal, sebagai perwakilan Tuhan di bumi (Allah tidak menyebutkan tugas kekalifahan itu ekslusif untuk lelaki), perempuan juga wajib memegang kendali ketika bahtera salah arah.

Dengan kata lain, bukannya membiarkan suami yang zalim pada sekitar—bahkan berdiam di balik hijab kesabaran ketika menerima kekerasan karena takut melanggar otoritas pengaturan yang (diyakini) hanya berada di tangan lelaki—tepat saat itu perempuan justru juga menjadi zalim atas tindakannya meletakkan sesuatu (kepasrahan) tidak pada tempatnya (kejahatan) demi melindungi maskulinitas rapuh lelaki yang merasa paling pantas mengatur dunia.

Padahal dalam Tauhid, hanya Allah sebagai Rabblah yang mempunyai justifikasi mengatur, tentu saja dengan pengaturan yang tidak pernah zalim. Sebab, sebagai Pencipta, Dia paling mengerti apa harus ditempatkan di mana.

Tentu saja, hal ini tidak seperti manusia yang banyak luputnya. Misalnya, ketika kita berniat baik mengatur kamar kerja pasangan agar lebih manusiawi (menurut kita), kita justru membuatnya kesulitan mencari benda-benda penting. Alhasil, kebaikan pun berakhir sebagai kezaliman. Padahal, kita “hanya” tanpa izin mengatur ruang kerjanya, bukan ruang hidupnya seperti dalam pernikahan.

Atau jangan-jangan, dalam benak lelaki selama ini, pernikahan adalah perizinan untuk mengatur ruang hidup perempuan? Semakin besar mahar diberikan, semakin besar kuasa pengaturan didapatkan, mirip ketika lelaki melakukan transaksi eksploitasi pengaturan sumber daya alam? Begitu, hah?

Padahal, nih, ya, kalau hanya untuk menyalurkan mentalitas mengatur yang tinggi, tidak perlu modal (kapital) besar lewat pernikahan, kok. Para laki-laki tukang ngatur ini cukup alih profesi saja menjadi tukang parkir tidak gaib, maka insyaallah penyaluran hasrat itu akan lebih bermanfaat.

Mamam~

Exit mobile version