Laki-laki Boleh Pakai Pembalut dan Kehormatan Mereka Tidak Bakal Runtuh

Masa iya, sebagai pria, lelananging jagat, alpha male, puncak hierarki gender, harus membeli pembalut.

Laki-laki Boleh Pakai Pembalut MOJOK.CO

Ilustrasi laki-laki membeli pembalut. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COAda banyak hal yang bisa jadi patokan kehormatan atau marwah seorang laki-laki. Menolak membelikan pembalut bukan salah satunya.

Twitter sedang ramai dengan komentar-komentar agung tentang betapa kehormatan lelaki jadi hancur jika mereka bersedia membeli pembalut. Menurut para alpha male itu, membeli pembalut berarti merendahkan diri, membuat mereka jadi subordinat, lebih dari itu, mereka merasa tak punya kehormatan. Lho, kok, bisa?

Perkara menjadi lelaki ini rumit. Kalau diusut, barangkali doktrin semasa kecil jadi biang keroknya. Sejak lahir dan bisa bicara, lelaki diajarkan, nggak boleh nangis, nggak boleh main boneka, harus gagah, harus kuat, dan menganggap bahwa perempuan itu makhluk lemah yang perlu dilindungi. Ya, produk sisa peradaban yang berpikir dengan kalau suka perempuan, maka kita perlu mengganggunya, bodo amat jika mereka tidak nyaman.

Ini yang membuat lelaki berpikir mereka makhluk mulia. Apalagi kalau ditambah embel-embel ayat-ayat arkaik yang menggambarkan mereka sebagai pemimpin, khalifah di muka Bumi tanpa mau melihat teladan para pemimpin agama di masa dulu. Lelaki nggak boleh ada di dapur, lelaki nggak boleh terlalu ngemong anak, nggak boleh beli pembalut, mereka harus jadi figur keras yang tak tergoyahkan.

Kalau dipikir-pikir, ini menggelikan. Saya ingat, dulu ada selebriti mualaf, yang mengaku takut dengan perempuan perkasa. Dia nggak mau punya pasangan perempuan yang mandiri karena dianggap bukan kodratnya. Padahal ya banyak banget cerita bahwa Kanjeng Nabi itu sosok yang nggak sungkan membantu kerja-kerja domestik. Salah satu istrinya bekerja sebagai penyamak kulit untuk bisa bersedekah.

Ini alasan “diskursus memalukan” bagi laki-laki untuk beli pembalut agaknya lahir dari sikap kerdil, bukan perkara kehormatan. Pembalut dianggap sebagai satu benda yang paling privat dari perempuan. Laki-laki bisa bikin lelucon soal vagina, oh jangan salah, saya juga pernah bikin lelucon bodoh (yang tak perlu) tentang bagian privat itu. Cuma beruntung ada banyak orang yang mengingatkan dan mengajarkan soal sikap menghargai sesama.

Ribut-ribut ini sebenarnya akan mudah diatasi kalau kita paham bahwa pembalut itu ya sekadar benda. Ia tak punya atribusi selain membantu seseorang, sanitary products, yang punya fungsi beragam. Lelaki bisa menggunakannya jika mereka ingin, tergantung kebutuhan, tapi ya jangan dipakai mabuk juga.

Benar, ada laki-laki yang demikian gagah merebus pembalut dan menjadikan benda itu sebagai ramuan minuman. Mereka ini tentu bukannya bodoh, tapi ya karena alkohol mahal saja. Tapi itu untuk pembahasan lain kali, sikap ogah atau bahkan anti membelikan pembalut untuk perempuan ini punya problem lain. Laki-laki ini bisa jadi tak peduli pada pasangan mereka. Dan itu berbahaya.

Kalau kamu, misalnya, sebagai laki-laki takut beli pembalut karena dianggap gay, karena thread lelaki gay beli pembalut, ya aneh. Emangnya kalian lelaki nggak pernah takut dikira pemerkosa karena beli obat tetes mata? Atau tidak takut dikira begal karena beli motor RX King? Benda-benda itu tidak punya label dan atribusi, manusia yang memberinya, dan lebih bermanfaat jika kita tak peduli padanya.

Beberapa komentar tentang diskursus pembalut ini masih berkisar bahwa sebagai llaki-laki mereka punya marwah untuk dijaga. Masa iya, sebagai pria, lelananging jagat, alpha male, puncak hierarki gender, harus membeli pembalut. Lha kalau beli pembalut saja nggak mau, gimana nanti jika pasangan/kerabat/saudaranya melahirkan? Apakah mereka akan membiarkan pasangannya mencuci sendiri bekas darah usai persalinan?

Beberapa bulan yang lalu, istri salah satu teman saya melahirkan. Sedihnya, anak mereka sudah meninggal di dalam kandungan istrinya.

Selama masa nifas, darah dari rahim akan terus keluar. Masa nifas adalah masa sejak melahirkan sampai pulihnya organ produksi perempuan. Lamanya antara 40 sampai 60 hari.

Selama periode itu, teman saya harus siaga di samping istrinya yang baru saja melahirkan. Dia harus cekatan menyiapkan pembalut ganti. Termasuk mengganti dan menyingkirkan pembalut yang sudah penuh dengan darah nifas. Dia juga rutin mengganti underpad, semacam alas untuk menyerap cairan secara cepat. Biar darah dari sisa masa nifas tidak rembes ke tempat tidur.

Sesekali, dia pergi ke apotik untuk membeli underpad dan pembalut cadangan. Dia melakukannya dengan bahagia. Apoteker di apotik tidak menertawakannya. Semua berjalan biasa saja. Dia pulang dengan riang. Kehormatannya tidak runtuh. Dia tidak ditertawakan dan dituduh gay.

Ketika istrinya merintih karena rasa sakit di vaginanya masih terasa, dia menenangkan dengan cara yang dia tahu. Membuatkan istrinya minuman hangat. Mengajaknya menonton video-video lucu. Dia memahami rasa sakit perempuan dan itu tidak membuat kehormatannya ambruk.

Saya bukan perempuan, tak pernah melahirkan, apalagi datang bulan. Tapi dari banyak literatur, saya tahu bahwa menstruasi itu sakit. Ia setara serangan jantung dan perempuan mengalami hal itu rutin setiap bulan. Hal paling sepele yang bisa dilakukan untuk membantu mereka adalah membelikan pembalut, memeluk atau menyiapkan minuman hangat saat haid pertama datang.

Ada banyak hal yang bisa jadi patokan kehormatan atau marwah seorang laki-laki. Menolak membelikan pembalut bukan salah satunya. Ia hanya menunjukkan bahwa kalian tidak benar-benar peduli pada kesehatan pasangan ketika masa datang bulan.

Tentu memberikan nafkah, melindungi, memberikan rumah, atau hal-hal lain bisa jadi ukuran. Tapi jika hal sepele, bare minimum, semacam membeli pembalut aja ogah, bagaimana kamu bisa memahami penderitaan perempuan saat datang bulan?

BACA JUGA Proses Menemukan Pembalut Paling Nyaman, Sebuah Jalan Terjal yang Panjang dan cerita menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Arman Dhani

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version