Kunto Aji, “Sang Wali” Pemuda-pemudi Generasi Emas 2045

Kunto Aji, “Sang Wali” Pemuda-pemudi Generasi Emas 2045 MOJOK.CO

Ilustrasi Kunto Aji, “Sang Wali” Pemuda-pemudi Generasi Emas 2045. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSalah satu ciri budaya golongan anak muda Indonesia hari ini, terwakili oleh fans Kunto Aji. Dia adalah “wali” bagi generasi emas 2045 kelak.

Di subuh pertama 2024, saya sudah keluar rumah untuk menunaikan undangan konser Kunto Aji bertajuk URUP di Asram Edupark, Sleman, Yogyakarta. Penyanyi asli Jogja itu menggelar sebuah konsep pertunjukan musik yang gila, karena dimulai pukul 5 pagi. Ribuan penonton datang. Isinya anak-anak skena yang sudi beli tiket yang bisa dibilang tidak murah untuk ukuran Jogja.

Di konser tersebut, selain Kunto Aji, juga tampil guest star kejutan Sal Priadi dan sesi meditasi bersama Adjie Santosoputro. Ada juga kedai-kedai jualan makanan serta pernak-pernik lucu ala skena anak muda. Tetapi, kita tak akan membahas tentang musik atau gimmick festival yang memang keren. 

Saya tertarik melihat kerumunan manusia (penonton) yang hadir di skena itu. Hampir semua mereka datang menonton, berdandan keren pagi buta. Entah itu sisa dandanan malam tahun baruan, atau menyengajakan dress up pagi-pagi. Gaya mereka layak kita apresiasi. Sebuah gambaran penonton yang jika diamati merupakan ciri perkembangan budaya hari ini.

Kunto Aji, yang mewakili budaya anak muda Jogja zaman sekarang

Kebudayaan, terutama di kota urban seperti Jogja hari ini, dalam hal ini tidak lagi bisa dibatasi hanya berbicara tentang elemen-elemen heritage konvensional. Misalnya seperti hanya membicarakan gamelan, batik, atau jamu. Apalagi ketika kita membahasnya menggunakan kacamata konservatisme atau pelestarian semata yang cenderung kaku. 

Budaya, seperti didefinisikan oleh kajian kebudayaan mutakhir, mesti dilihat sebagai sebuah proses; perjalanan, perubahan, pembenturan, yang tidak mengenal “pakem” final akan suatu ruang atau kurun waktu tradisi tertentu. Mengamati kebudayaan hari ini juga berarti mengamati gaya hidup yang cair, luwes, lentur, atau bentuk-bentuk yang sedang on going berjalan yang dicirikan manusia sebagai pelaku budayanya. Membaca kebudayaan adalah membaca perubahan itu sendiri.

Salah satu ciri budaya golongan anak muda Indonesia hari ini, terwakili oleh fans Kunto Aji.

Membaca skena anak muda

Dalam hal ini, kita batasi bahwa objek amatan adalah anak muda berpengetahuan. Konteks pengetahuan di sini tidak melulu dengan ukuran pengetahuan akademik. Bisa juga kita memandang anak muda di sini sebagai insan yang melek informasi aktual dan digital. Selain itu, anak muda kreatif, atau setidaknya hidup di sirkel kreatif juga masuk. Terakhir, anak muda yang relatif sukses secara karier atau finansial. Ini jika tolok ukur kemampuan membeli tiket konser Kunto Aji yang agak mahal menjadi salah 1 aspek menyaring kategori. 

Berdasarkan klasifikasi itu, kita berarti bukan membicarakan golongan anak muda Jogja lainnya. Misalnya anak muda yang menjadi pelaku klithih, penonton konser dangdut yang telanjang dada digendong kawannya sambil mengibar-ibarkan kaos, anak muda penguasa lahan parkir, atau anak muda yang tergilas kejamnya UMR kota ini.

Skena yang diamati adalah anak muda yang dandanannya artsy serta edgy. Ini adalah kerumunan anak muda yang bangga memakai produk-produk busana jenama lokal (bukan anak muda pemakai tas branded). Mereka memakai kebaya, berkain etnik Nusantara, dan beberapa mereka terpantau memakai busana berbahan (atau diproses) ramah lingkungan. Seperti busana eco print, atau apa yang diistilahkan slow fashion hari ini. 

Anak muda ini dengan percaya diri memadupadankan busana tradisional dengan gaya modern. Mereka membenturkan gaya busana tradisional dan modern di tubuh mereka seperti yang terlihat di konsernya Kunto Aji. 

Sebagai bentuk negosiasi anak muda

Dalam kacamata kebudayaan, perilaku atau pilihan busana skena tersebut merupakan salah satu bentuk negosiasi anak muda terhadap budaya di sekitar mereka. Pertama, negosiasi terhadap busana tradisi yang diwariskan pendahulu mereka. Ini sekaligus negosiasi dengan gaya modern branded yang ada di sekitar mereka hari ini. 

Mereka ini tidak terlalu sepakat dengan aturan busana tradisional yang mempunyai kesan kaku dan ribet dalam penerapannya. Akan tetapi, mereka juga tidak sepakat (dan cenderung anti) akan busana branded modern, yang dinilai merepresentasikan kapitalisme yang rakus dan eksploitatif (terhadap alam dan pekerja). 

Mereka memperolok barang branded sebagai simbol yang “tidak keren, norak”. Mereka juga menambahkan bahwa beberapa alasan yang memperburuk citra itu seperti perilaku flexing pemakai branded fashion seperti yang dipertontonkan para artis dan keluarga pejabat di media sosial.

Anak muda ini mengampanyekan lokalitas (yang tidak kaku dan terlalu tradisional), namun juga mengangkat kritik atau perlawanan pada modernisme yang destruktif. Ciri-ciri itu dilegitimasi oleh patron mereka hari ini. Kunto Aji dan Sal Priadi tampil dengan kain nusantara, bergaya lokal dan keren.

Gigs yang menyenangkan

Selain gaya busana, di konsernya Kunto Aji itu saya mengamati bagaimana penonton berperilaku tertib dengan tidak membuang sampah dan merokok sembarangan. Sebuah representasi akan kepedulian alam yang memang menjadi perhatian anak muda golongan ini. Tanpa perlu polisi atau ancaman denda macam-macam, mereka yang merokok akan menyingkir sejenak dari kerumunan penonton area panggung. 

Gigs ini memang dirancang ramah keluarga, sehingga banyak anak-anak yang ikut menonton. Kepedulian akan narasi perokok pasif, atau anak-anak yang berhak mendapatkan udara bersih, sangat diwakili oleh penonton konser ini. 

Bandingkan dengan konser-konser musik serupa di kota-kota besar, di mana “aturan” seperti ini jarang sukses diterapkan. Saya perokok. Dan saya memilih mengikuti kultur yang tercipta pagi itu dengan menyingkir jauh ke area yang memperbolehkan merokok. 

Begitu pula dengan kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya. Para penonton menyadari bahwa sirkel mereka hari itu adalah orang-orang yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap isu sampah, iklim, dan permasalah lingkungan lainnya. Tanpa perlu diserukan lewat pengeras suara atau bahkan tanpa perlu sign board

imbauan kebersihan, para penonton dengan tertib menjaga kebersihan venue. Bandingkan dengan konser musik di tempat serupa, di mana permasalahan sampahnya tidak sekondusif ini.

Para penonton di konser URUP ini pekewuh dengan orang di sekitarnya jika berperilaku yang tidak sesuai norma yang disepakati tentang rokok dan sampah itu. Mereka sadar penuh untuk menjunjung nilai-nilai skena (kerumunan) ini tanpa paksaan.

Kerumunan manusia dapat mempengaruhi dan membentuk perilaku baru seseorang

Hal ini seperti yang diungkapkan sosiolog Gustave Le Bon, yang mengembangkan teori kerumunan (crowd theory). Bahwa pengaruh kelompok kerumunan akan menyebabkan individu lain memberikan reaksi yang sama. Individu akan bersikap seperti kelompoknya, meskipun sebenarnya seseorang itu mempunyai sifat dan sikap berbeda ketika sendiri atau tidak dalam kerumunan tersebut. 

Teori klasik Sosiologi tersebut sering digunakan sebagai pisau analisis gejala sosial manusia yang berkerumun dan menunjukkan perilaku negatif seperti kasus pengeroyokan maling. Mungkin saja para penganiaya secara tidak sadar hanya terbawa suasana “bersama”, sekadar ikut-ikutan. 

Padahal kalau sendirian dalam keseharian, mereka jauh dari sikap brutal. Atau untuk menganalisis gejala di jalan raya saat rombongan motor pelayat yang maunya menguasai jalanan. Bisa juga rombongan suporter bola yang urakan konvoi, atau geng klithih, yang mungkin saja mereka bila berkendara sendirian sebetulnya santun dan tertib lalin.

Hal-hal positif dalam konser Kunto Aji

Dalam kasus kerumunan konser Kunto Aji, dapat kita lihat bagaimana hal-hal positif sebenarnya juga bersifat contagious (menular) secara kolektif. Para penonton tertib, karena kolektivitas skena di situ menunjukkan contoh yang tertib. Serta “sang wali”, Kunto Aji, dianggap sebagai sosok yang mewakili wacana-wacana anak muda tentang hidup bersahaja, peduli lingkungan, peduli kesehatan mental, toleran terhadap manusia lain, family man, dan lainnya.

Mungkin saja sebenarnya para penonton itu kalau sendirian juga merokok semaunya, atau tidak tertib membuang sampah. Namun, karena konser ini “menuntut” sikap penonton yang berkelas, maka individu yang tidak mematuhi aturan bersama itu akan tampak seperti alien, anomali, berbeda dari golongan kerumunan yang ada. 

Hal tersebut menunjukkan bahwa kerumunan tidak hanya dapat mengubah alam bawah sadar individu untuk cenderung berperilaku negatif seperti kekerasan/riot/memberontak seperti dalam tawuran atau demonstrasi massa. Kerumunan juga mampu mengubah kesadaran dalam arti yang positif.

Sangat indah melihat masifnya pertumbuhan kaum muda berkelas yang punya kepedulian dan kesadaran akan lingkungan dan kemanusiaan. Seperti umat Kunto Aji itu, dengan harapan kerumunan ini dapat menyebarkan dan menularkan wacana-wacana yang positif terhadap anak-anak muda lain di berbagai kota di Indonesia hari ini. Kalau begitu, impian generasi emas Indonesia 2045 dapat ditatap dengan optimisme tinggi.

Namun, yang selanjutnya menantang dan renyah didiskusikan adalah, bagaimana anak-anak muda ini akan menyikapi sebuah tahapan di negara ini yang akan berpengaruh dalam menatap masa depan mereka, yakni Pemilu bulan depan. 

Sebagai kerumunan pemilik suara terbanyak, akan menarik melihat pilihan politis pemuda-pemudi harapan bangsa ini. Apakah mereka tetap akan menjadi anak muda pembaharu yang cerdas, kreatif, inovatif, atau menjadi golongan anak muda yang ikutan joget gemoy aja.

Penulis: Paksi Raras Alit

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Melihat Semesta Bekerja, Seperti Lirik Lagu Kunto Aji dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version