Merayakan Kretek, Menyelamat Indonesia: Kesadaran yang Menyatu di Kota Bandung

Ingat, selain petani, menyelamatkan pendidikan anak muda juga sebuah aksi mulia untuk menyelamatkan Indonesia. Itulah esensi dari Sound of Kretek yang saya rangkum dari event luar biasa dari DCDC di Kota Bandung.

Kota Bandung Titik Aksi Menyelamatkan Kretek dan Indonesia MOJOK.CO

Kota Bandung Titik Aksi Menyelamatkan Kretek dan Indonesia MOJOK.CO

MOJOK.COKota Bandung seperti membangunkan kesadaran saya bahwa menyelamatkan kretek artinya menyelamatkan Indonesia. Sungguh luhur.

Kota Bandung sedang agak panas. Nggak seperti biasanya. Namun, sepanas-panasnya Bandung, angin semilir sedikit menutup gerah sore itu. Saya dan rombongan sampai di GOR Saparua sekitar pukul 15.00. Mata saya langsung tertuju ke sebuah titik di mana Eko Susanto, fotografer senior, menggelar pameran perdana bertajuk “SOUND OF KRETEK: DARI HULU KE HILIR SEBATANG KRETEK”.

Saya sudah agak lama mengenal Eko Susanto. Beliau adalah salah satu senior dan guru saya di Komunitas Kretek. Kami memanggilnya Kang Eko, sebagai bentuk respect kepada senior, sekaligus wujud rasa akrab di antara teman. Kang Eko adalah salah satu orang di komunitas yang lihai merekam kehidupan petani tembakau lewat lensa kamera. 

Fotonya adalah kombinasi “keras dan lembut”. Cocok sekali menggambarkan dinamika kehidupan petani tembakau. Dari Kang Eko juga saya belajar untuk selalu membuka mata dan telinga ketika berkunjung ke Temanggung, salah satu sentra tembakau di Indonesia. Lewat foto-foto Kang Eko, meski sedang berada di Kota Bandung, saya tetap bisa merasakan keseharian petani tembakau. Seperti yang saya rasakan ketika bermalam di Temanggung beberapa minggu yang lalu.

Kesadaran yang menyatu di Kota Bandung

Ketika menyapukan pandangan ke sekeliling GOR Saparua, Kota Bandung, saya bisa melihat banyak anak muda (tentu sudah cukup umur untuk merokok), menikmati Djarum Coklat Extra. Djarcok adalah salah satu Sigaret Kretek Tangan di mana kamu bisa menemukan jejak tembakau srintil di sana.

Apakah kamu sudah pernah mendengar tembakau srintil? Tembakau srintil adalah tembakau lauk dengan harga paling tinggi di Indonesia. Terakhir, harga per kilogram mencapai Rp800 ribuan. Lantaran harga dan kandungan nikotin yang tinggi, para produsen kretek menggunakan srintil sebagai “lauk” atau gampangnya, menjadi campuran.

Nah, Djarum Coklat Extra, adalah salah satu kretek nikmat dengan jejak srintil yang menyenangkan. Maka nggak heran apabila Djarum Coklat Dot Com (DCDC) menggelar acara Sound of Kretek di Kota Bandung untuk merayakan anugerah alam ini. Ingat, merayakan kretek, artinya menyelamatkan petani tembakau dan Indonesia. 

Maklum, di negeri ini, petani selalu menjadi korban akan sebuah kebijakan. Dalam hal ini, kebijakan menaikkan cukai rokok menjadi beban tersendiri bagi para petani hingga pabrikan.

Gerak anak muda untuk berkumpul di GOR Saparua, lalu mendengarkan kisah Kang Eko dengan dipandu Puthut EA menjadi kesadaran tersendiri yang memang wajib dirayakan. Kalau bukan anak muda, siapa lagi yang bisa dipasrahi untuk meneruskan pengetahuan dan kekayaan alam bernama tembakau.

Menyelamatkan Indonesia 

Mungkin banyak orang yang akan menganggap bahwa istilah “menyelamatkan Indonesia” terlalu hiperbolis. Namun, melestarikan tembakau dan merawat petani adalah sebuah usaha untuk menyelamatkan Indonesia. Mau mengakuinya atau tidak, petani memang masih identik dengan kata “desa”. Dan, desa menjadi melting pot dari seluruh keluhuran nenek moyang yang dirusak oleh para keturunannya.

Puthut EA menjelaskan sebuah kondisi yang memprihatinkan secara akurat. Dia menulis begini untuk acara di Kota Bandung tersebut:

“Seorang petani yang sukses, punya beberapa anak. Saat mereka mulai kuliah, perlahan lahan pertanian orang tua mereka dijual. Setelah anak-anak mereka menikah, lahan mereka dijual lagi. Ketika anak-anak mereka membangun rumah di kota, lahan mereka dijual lagi. Hingga akhirnya habislah sumber kedaulatan mereka dalam wujud tanah. Menguap ke segala penjuru.”

Puthut melanjutkan: 

“Ketika anak-anak mereka sudah punya uang, tidak ada kesadaran untuk kembali ‘memuliakan’ desa. Saat mereka pensiun (yang sering kali tak seberapa itu), mereka jadi beban kota. Saat kota tak sanggup menerima beban itu, mereka balik ke desa. Namun situasinya sudah berbeda. Sumberdaya desa sudah terkuras dan saat mereka balik ke desa, sudah dalam keadaan tidak produktif dan renta. Desa makin merana.”

Terakhir, Puthut menulis:

“Pengamatan itu muncul karena saya saat itu bergabung di sebuah lembaga yang banyak melakukan penelitian di desa-desa di Indonesia. Tentu saja tidak semua desa seperti itu. Saya hanya memberi contoh mudah saja. Kalau dari sisi industri ekstraktif sudah banyak contohnya: gunung-gunung dikeruk, dihancurkan, segala mineralnya diambil, orang desa hanya jadi satpam atau sopir truk atau buruh, dan begitu mineralnya habis, yang tersisa tinggal kemiskinan dan kerusakan alam. Gunung-gunung hancur, hutan tinggal gundukan, sungai dan laut tercemar.”

Sudah bisa menangkap maksud saya soal “menyelamatkan Indonesia” yang terjadi di Kota Bandung?

Pengalaman yang terpanggil di Kota Bandung

Bersama Komunitas Kretek, saya sudah beberapa kali mengunjungi Temanggung dan Kudus. Fokus saya sendiri adalah kepada kehidupan petani, buruh tani, dan buruh pabrik, dan buruh linting kretek. Mau mengakuinya atau tidak, mereka adalah pilar dari sebuah industri rokok yang teramat besar di Indonesia. Saya sebut “industri besar” karena cukai dari rokok menjadi salah satu penyumbang cuan bagi negara yang sering nggak adil kepada petani. 

Tahukah kamu, mesin yang modern itu belum bisa menggantikan buruh linting SKT. Iya, SKT seperti Djarum Coklat Extra yang besar di sisi bakar tetapi mengerucut di sisi isap. Hanya manusia dengan tangan-tangan terampil bisa melinting kretek menjadi sajian nikmat untuk segala kondisi.

Dan, sejauh pengalaman bersentuhan langsung dengan “para pilar” itu, saya menemukan bahwa kesejahteraan masih menjadi isu. Misalnya bagi petani dan buruh tani di Temanggung, masih ada dari mereka yang belum bisa menyekolahkan anaknya sampai tingkat SMA/SMK. Oleh sebab itu, banyak dari mereka menggantungkan harapan anaknya mendapatkan pendidikan yang layak dari program beasiswa Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK). Sebuah pertanyaan langsung lahir di kepala saya. Kalau bantuan akan pendidikan berasal dari sebuah komite, ke mana bantuan dari pemerintah? Apakah tidak merata? Sudah pasti.

Ingat, selain petani, menyelamatkan pendidikan anak muda juga sebuah aksi mulia untuk menyelamatkan Indonesia. Itulah esensi dari Sound of Kretek yang saya rangkum dari event luar biasa dari DCDC di Kota Bandung.

Penulis: Yamadipati Seno

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Nitisemito: Sunan Sigaret Kretek dari Kudus dan pengalaman unik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version