Perintah Jokowi Memang Sebaiknya Tidak Selalu Dituruti oleh Anak Buahnya

jokowi

MOJOK.COInstruksi Jokowi yang tidak diikuti oleh anak buahnya adalah sinyal demokrasi yang berjalan amat baik.

Beberapa waktu yang lewat, publik dihebohkan dengan kasus mural bergambar wajah seseorang yang menyerupai Jokowi dengan tulisan “404: Not Found” pada bagian matanya di salah satu sudut tembok di wilayah Batuceper, Tangerang. Mural tersebut viral dan banyak disebarkan di media sosial.

Tak berselang lama setelah viral, pembuat mural tersebut pun kemudian sempat diburu oleh pihak kepolisian untuk dimintai keterangan walau belakangan diketahui pihak kepolisian tidak lagi menindaklanjuti kasus mural tersebut karena memang tidak ada pidananya.

Tak berselang lama setelah kasus mural Tangerang itu, mural yang serupa pun muncul. Kali ini di fly over Pasupati, Bandung.

Mural yang lagi-lagi bergambar seseorang mirip Jokowi dengan mata tertutup masker tersebut tak bertahan lama, sebab setelah banyak dipotret dan diunggah di media sosial, mural tersebut langsung dihapus oleh petugas.

Polrestabes Bandung kemudian mencoba memburu pembuat mural tersebut untuk dimintai keterangan.

“Kita tanya dulu, kalau ketangkep orangnya, kita interview, apa maksud dan tujuannya. Apakah kritik sosial atau bagaimana,” terang Kasat Reskrim Polrestabes Bandung AKBP Rudi Trihandoyo kepada Detik.

Apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang memburu para pembuat mural ini tentu saja bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh Jokowi.

Seperti diketahui, Kabareskrim Komjen Agus Andrianto menyampaikan bahwa Presiden Jokowi tidak berkenan jika polisi terlalu responsif dalam merespons kritik-kritik terhadap pemerintah yang dituangkan melalui karya seni salah satunya mural.

Dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi bahkan sempat mengatakan bahwa pihaknya tidak antikritik dan memperbolehkan masyarakat memberikan kritik melalui berbagai cara.

Maka, tak berlebihan jika menyebut bahwa perburuan pelaku mural itu sebagai bentuk pembangkangan terhadapan instruksi presiden.

Di media sosial, hal tersebut pun kemudian banyak dijadikan guyonan, tentang presiden yang instruksinya makin kerap tidak didengarkan oleh para bawahannya.

Dalam kasus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap para pekerja di KPK beberapa waktu yang lalu, misalnya, presiden sempat menyatakan bahwa TWK tidak serta-merta bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan para pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus.

Pada kenyataannya, lebih dari separuh pegawai KPK yang tidak lolos TWK itu tetap dipecat.

Fenomena tidak didengarkannya suara presiden ini tentu saja menjadi keprihatinan tersendiri. Banyak yang kemudian menganggap bahwa Presiden Jokowi sudah tidak lagi dihargai dan dihormati sebagai pemimpin sehingga petunjuk dan instruksinya tak perlu dituruti.

Lantas, apakah Presiden Jokowi memang sudah tak seberkekuatan itu sampai omongan-omongannya kerap diabaikan oleh anak-anak buahnya?

Bisa jadi iya. Namun, sebagai warga negara yang baik, tentu saja saya dituntut untuk senantiasa berpikir positif terhadap setiap kondisi yang melibatkan unsur pemerintah.

Tidak diikutinya perintah, instruksi, atau petunjuk dari Presiden Jokowi sejatinya justru bisa diartikan sebagai sinyal demokrasi yang kelewat bagus. Bahwa suara presiden bukanlah suara mutlak. Suara presiden harus tetap bisa dielaborasi atau bahkan dibantah.

Aneka “pembangkangan” di atas menjadi contoh konkret, betapa selalu ada dialog yang mengutamakan kebenaran umum, ketertiban masyarakat, serta kebaikan bersama.

Tidak semua yang keluar dari mulut Jokowi harus diamini dan dituruti, sebab bagaimanapun, Jokowi adalah juga manusia biasa yang tak sempurna dan kadang salah namun di hatiku hanya satu, cinta untukmu, luar biasa.

Contoh sederhana saja, saat menjadi pemimpin upacara dalam peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2015 silam di Blitar, Jokowi sempat menyebut Blitar sebagai tempat kelahiran Bung Karno. Tentu saja pernyataan tersebut harus dikoreksi, sebab walau diucapkan oleh Jokowi, namun apa yang ia katakan itu keliru. Bung Karno itu memang dimakamkan di Blitar, namun beliau lahir di Surabaya, bukan Blitar.

Bayangkan kalau semua orang harus mengiyakan dan menuruti apa kata Jokowi, maka bakal susah itu Kementerian Pendidikan karena harus mengganti semua naskah cetakan buku paket pelajaran sejarah yang sudah beredar.

Maka, kalau dalam banyak peristiwa, pernyataan Jokowi ternyata dibantah atau tidak dituruti, justru itu harus dirayakan. Hal tersebut selayaknya diartikan sebagai bentuk kritik dan dukungan terhadap Jokowi.

Selain itu, ketika anak buah Jokowi berani membantah perintah Jokowi, itu artinya ada sistem kontrol yang sehat. Bahwa Jokowi tetaplah warga negara biasa yang harus tunduk terhadap aturan-aturan yang menyangkut ketertiban masyarakat.

Keteladanan ini dulu pernah dicontohkan oleh Gus Dur, yang dulu saat dimakzulkan dari jabatannya dan harus keluar dari istana, Gus Dur sempat-sempatnya meminta Priyo Sambadha, staf pribadinya menemui Lurah Gambir untuk mengurus surat pindah.

“Pak Lurah, mohon izin, saya ditugaskan sama Pak Presiden untuk minta surat pindah,” begitu kata Priyo saat itu.

Sang Lurah Gambir yang dimintai surat pindah itu konon sampai bergetar saat menandatangani surat tersebut karena tidak menyangka, bahwa ia sedang menandatangani surat pindah untuk seorang presiden.

Bayangkan, sekelas presiden, mau keluar dari istana pun sempat-sempatnya mengurus surat pindah.

Kelak, ketika ditanya tentang hal tersebut, Gus Dur mengatakan bahwa apa yang ia lakukan itu untuk memberikan contoh bahwa walau saat itu ia (masih) berstatus presiden, namun ia tetaplah warga negara biasa, yang tidak bisa seenaknya dan harus taat aturan.

Nah, sisi keteladanan ini pulalah yang harus dibiasakan. Presiden Jokowi harus terbiasa menerima kenyataan bahwa ia sejatinya juga hanya warga negara biasa, yang setiap omongannya tidak melulu akan disetujui, namun juga bisa dibantah.

Jokowi harus merasakan birokrasi yang rumit dan bertele-tele, sebab itu pulalah yang dirasakan oleh banyak warga negara biasa.

Jokowi harus juga sesekali merasakan memfoto-copy KTP untuk mengurus berkas tertentu walau KTP-nya sejatinya sudah elektronik, sebab itu pula yang dirasakan oleh banyak warga negara biasa.

Kalau perlu, dalam setiap kunjungan ke daerah, kalau Jokowi menginap di salah satu rumah warga, jika lebih dari 1 x 24 jam, ia harus tetap lapor kepada ketua RT setempat.

Pokoknya, Jokowi harus merasakan sensasi warga negara biasa. Dan itu bisa dimulai dengan merayakan setiap pembangkangan dan pembantahan terhadap Jokowi.

Atas dasar itulah, saya, tak bisa tidak, sangat mengapresiasi tindakan-tindakan aparat atau pejabat yang berani membantah petunjuk atau instruksi dari Jokowi.

Lagipula, Presiden Jokowi saja sering tidak menuruti omongannya sendiri, kenapa anak buahnya nggak boleh?

BACA JUGA Mendukung Langkah KPK Menggandeng Napi Koruptor dalam Program Penyuluhan Antikorupsi dan tulisan AGUS MULYADI lainnya. 

Exit mobile version