Ali, menantu Nabi Muhammad saw., bercerita bahwa suatu hari mertuanya itu menerima tamu. “Wahai Rasul saya telah berdosa, bersihkanlah saya,” tamu itu berseru.
“Apa yang telah engkau lakukan?” tanya Nabi
“Saya malu mengatakannya, wahai Rasul.”
“Mengapa malu kepadaku dan tidak malu kepada Allah yang selalu melihat perbuatanmu? Pergilah sebelum turun api di sini.”
Orang itu lalu pergi dengan hampa, putus asa dan dengan tangis dari rumah Nabi. Lalu datang Malaikat Jibril, dan berkata, “Wahai Muhammad mengapa Tuan buat putus asa orang yang melakukan dosa? Padahal ia memiliki penghapus dosa, meski andai dosanya besar sekali?”
“Seperti apa penghapus dosanya?”
“Ia punya seorang anak kecil. Setiap ia masuk rumahnya dan anak itu mendapatkannya, ia mengacungkan makanan atau sesuatu yang membuat bocah itu gembira. Maka bila bocah itu gembira, itulah yang menjadi penghapus dosanya.”
Hadis itu dinukil dari kitab Ushfuriyah yang diterjemahkan dengan indah ke dalam bahasa Indonesia oleh Syu’bah Asa. Sebagai orang tua, saya merasakan riwayat itu begitu menyentuh.
Anak-anak sering disebut sebagai malaikat kecil. Kehadiran mereka menjadi cahaya bagi keluarga. Demi anak orang tua rela melakukan apa saja. Dan betapa indahnya, kebahagiaan mereka ternyata juga penebus dosa.
Selain sebagai nabi, rasul, panglima perang, Muhammad adalah seorang bapak yang penuh cinta. Banyak riwayat yang melukiskan betapa Nabi Muhammad mencintai putra-putrinya. Beliau tak malu mengungkapkan perasaan cinta baik dalam ucapan maupun tindakan.
Nabi saw. mencium, menggendong, bersenda gurau, berbicara dengan lembut, memberi panggilan yang indah, atau bermain dengan mereka. Beliau juga menangis ketika kehilangan putra-putra beliau, sebuah tindakan yang dianggap sebagai tabu di masyarakat Arab saat itu.
Kelekatan Nabi dengan anak dan cucu-cucu beliau pernah membuat heran tamunya, Al-Aqra bin Habis, yang mengaku tak pernah sekalipun menciumi anak-anaknya, padahal ia punya 10 anak. Maka kepadanya Rasul berkata, “Siapa yang tidak memiliki rasa welas dalam hatinya tidak akan diwelasi oleh Allah.”
Dalam bahasa yang sedikit kenes, mengekspresikan cinta kepada anak adalah sunah Nabi. Dan itu penting, agar anak-anak menjadi tahu bahwa mereka dicintai. Kesadaran itu menjadi modal berharga bagi pertumbuhan emosional mereka.
Nabi mencontohkan perilaku ini dalam keseharian. Tidak hanya kepada keluarganya sendiri tapi juga kepada semua anak. Ketika bertemu dengan anak kecil beliau mengelus kepala mereka, bersalaman lalu mencium tangan mereka, dan tak jarang pula menggoda mereka.
Seorang sahabat, Jabir bin Samurah mengenang pengalaman masa kecilnya bersama Nabi. “Aku pernah salat bersama Rasulullah. Setelah selesai salat beliau keluar ke tempat keluarganya, aku pun keluar bersama beliau. Beliau tampak menciumi anak-anak dan mengusap kedua pipi mereka satu persatu.”
Aisyah, istri Nabi, memberi kesaksian yang indah. Bahwa ketika mendatangi anak-anak, Rasulullah selalu jongkok untuk menyamakan posisi pandangan dengan lawan bicaranya, lalu memberikan pengertian atau mendoakan mereka.
Bahkan kehadiran anak-anak di tempat ibadah tidak pernah dianggap sebagai gangguan oleh Nabi saw. Nabi pernah memanjangkan sujud karena cucu beliau bermain di atas punggungnya, merenggangkan kakinya ketika Hasan kecil berusaha menerobos di antara kedua kaki beliau saat rukuk. Beliau juga mempercepat salat ketika terdengar suara tangis bayi.
Kepada para sahabatnya, Nabi mewanti-wanti agar tidak berbohong kepada anak-anak, berlaku kasar, atau melukai perasaan mereka. “Hormatilah anak-anakmu dan didiklah mereka. Allah memberi rahmat kepada seseorang yang membantu anaknya sehingga sang anak dapat berbakti kepadanya”.
”Bagaimana cara membantunya, ya Rasul?” tanya seorang sahabat.
“Mengapresiasi usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya, tidak membebaninya dengan beban yang berat, dan tidak pula memakinya sehingga hatinya terluka,” jawab Nabi saw.
Begitu besar kasih sayang Nabi saw. kepada anak-anak. Lebih-lebih kepada anak yatim. Pernah pada hari Idul Fitri beliau menjumpai seorang bocah berpakaian kumal sedang menangis. Sementara tak jauh darinya anak-anak seumurannya bermain gembira di jalanan.
Rasulullah lalu menghampiri si bocah dan mengajaknya berbincang. Si bocah yang belum mengenal lelaki di hadapannya itu bercerita tentang ayahnya yang telah wafat dalam peperangan bersama Rasulullah. Ibunya lalu menikah lagi dan ayah tirinya mengusirnya dari rumah.
Rasulullah mengusap kepalanya lalu berkata “Nak, apakah kau mau bila aku menjadi ayahmu, Aisyah menjadi ibumu, Ali sebagai paman, Hasan dan Husein sebagai saudara, dan Fatimah sebagai saudarimu?”
Tahulah kini si bocah dengan siapa dia berbicara. Tak ada aIasan baginya menolak tawaran itu. Rasulullah lalu membawanya pulang. Ia memberinya makan, mengganti pakaiannya dan memberikan wangi-wangian. Si bocah keluar dari rumah Rasulullah dengan senyum dan wajah bahagia di hari kemenangan.
Anak-anak adalah malaikat kecil kita. Kasih sayang kita kepada mereka adalah investasi berharga bagi kehidupan mereka dan kita di kemudian hari.
Rasulullah saw. pernah bercerita tentang seseorang yang diangkat derajatnya di surga, ia lalu bertanya, “Karena apa ini?” dijawab oleh malaikat, “Karena bacaan istigfar anakmu untuk dirimu.”
Sepanjang Ramadan, MOJOK menerbitkan KOLOM RAMADAN yang diisi bergiliran oleh Fahruddin Faiz, Muh. Zaid Su’di, dan Husein Ja’far Al-Hadar. Tayang setiap hari.