Melarang Mudik dan Membolehkan Wisata Adalah Bentuk Kepedulian Pemerintah Terhadap Science

mudik

Libur lebaran memang sudah usai, namun permasalahan yang menyertainya masih terus dibicarakan oleh orang-orang. Salah satu yang paling kerap dibicarakan, utamanya dengan nada olok-olok, adalah kebijakan pemerintah yang melarang masyarakat untuk mudik, namun tidak melarang masyarakat untuk piknik.

Isu tersebut menjadi amat meriah tatkala foto keramaian di berbagai tempat wisata banyak tersebar di media sosial. Obyek wisata Taman Impian Jaya Ancol, misalnya, menurut pihak pengelola, sempat dikunjungi oleh 39 ribu orang pada hari kedua libur lebaran. Foto keramaian di pantai Ancol bahkan kerap disandingkan dengan foto aktivitas mandi massal di sungai Gangga, India, yang disebut sebagai salah satu sebab meledaknya angka kasus Covid-19 di India.

Itu belum termasuk kerumunan di banyak tempat wisata lain yang, kalau mau hitung-hitungan jumlah pengunjung, jumlahnya nggak kalah dengan pengunjung Ancol.

“Mudik dilarang, tapi piknik boleh. Mengunjungi orang tua dan kakek-nenek di kampung dilarang, tapi lihat monyet rame-rame di kebun binatang boleh.”

Begitu guyonan yang kerap ditulis.

Kalau dilihat sepintas, hal tersebut tampak seperti sebuah kebodohan kultural yang dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan yang dibuat, padahal kalau mau melihat dari kacamata yang lebih dalam, ada pesan penting yang ingin disampaikan pemerintah kepada masyarakat.

Mudik mengunjungi orang tua dan kakek-nenek di kampung dilarang, tapi lihat monyet rame-rame di kebun binatang boleh. Orangtua, monyet, kakek-nenek, monyet. Lihat, ada pesan tersembunyi.

Ini sejatinya adalah sinyal penting, bahwasanya pemerintah sebenarnya punya agenda ingin mengenalkan masyarakat kepada pendalaman keilmuan biologi, utamanya diawali dengan teori evolusi Darwin. Pemerintah sadar betul bahwa keilmuan yang berkaitan dengan biologi semakin lama semakin berperan penting dalam peradaban.

Pemerintah tampaknya mulai mengetahui fakta, bahwa kini, science and nature mulai menjadi isu yang menarik. Buku populer yang membahas peradaban manusia utamanya melalui sudut pandang science seperti seperti Sapiens, Gen, Kosmos, Kanker, sampai Kepunahan Keenam kini mulai menemukan masa puncak popularitasnya.

Pemerintah pun bertindak cepat sebab mereka mencium potensi yang layak untuk dikembangkan. Itulah kenapa pemerintah melarang masyarakat mudik menemui bapak, ibu, kakek, dan nenek, namun justru mengizinkan masyarakat untuk bertemu dengan monyet di kebun binatang.

Ini langkah yang layak diapresiasi. Jika sampai agenda ini berhasil, maka bukan mustahil masyarakat kita akan menjadi masyarakat yang sangat science dan sangat biologi. RPAL akan setara dengan GBHN. Kalau perlu, tes wawasan kebangsaan diganti dengan tes wawasan kealaman.

Seluruh stasiun televisi hanya boleh tayang asalkan di jam-jam tertentu me-relay siaran National Geographic.

Pendidikan keagamaan akan difokuskan kepada apa saja yang berbau tadabbur alam. Pokoknya semuanya alam, alam, dan alam.

Ini adalah revolusi besar. Setelah Poros Jakarta-Peking, Poros Jakarta-Pyongyang, dan Poros Jakarta-Moskow, tampaknya negeri kita ini sedang menuju poros yang lebih baru: Poros Jakarta-Galapagos.

Dan itu semua dimulai dengan melarang masyarakat mudik namun tidak melarang berwisata.

BACA JUGA Lebaran yang Sendu bagi Para Kakek dan Nenek yang Tahun Ini Tak Bisa Melihat Wajah Anak-Cucunya dan artikel AGUS MULYADI lainnya

Exit mobile version