Kolom: Seperti Ricky

merdeka sepakbola singkong menulis ironi sepakbola jendela sepeda zainuddin mz puasa tarawih kolom menulis tutur tinular penulis buku lagu tv rusak rebahan kolom mahfud ikhwan mojok.co ayam rumah kontrakan contoh esai bagus indonesia mojok.co putu wijaya

merdeka sepakbola singkong menulis ironi sepakbola jendela sepeda zainuddin mz puasa tarawih kolom menulis tutur tinular penulis buku lagu tv rusak rebahan kolom mahfud ikhwan mojok.co ayam rumah kontrakan contoh esai bagus indonesia mojok.co putu wijaya

Ada suatu masa ketika semua yang ada di televisi memengaruhi semua orang. Ia jadi bahan obrolan yang diulang-ulang, biasanya dengan sedikit analisis dan lebih banyak imajinasi; ia bayangan yang jauh dan diangankan dekat, sehingga menimbulkan andai-andaian macam “bagaimana kalau”, “seandainya saja…”, “seumpama terjadi”, dst.; ia, pada akhirnya, menjadi obsesi dan menjadi objek peniruan.

Tidak, ini bukan ketika televisi telah menguasai semua rumah dan semua orang menonton di ruang tamunya masing-masing; sebaliknya, ini terjadi ketika sebagian kecil orang saja yang bisa menonton, sementara sisanya yang lebih besar hanya memperoleh cerita dari mulut ke mulut tentangnya. Ini jauh sebelum semua orang bisa tahu apa yang terjadi di Jakarta atau Seoul atau Reykjavik atau Ouagadougou hanya dengan menggeser layer ponsel pintar ke kiri; ini masa ketika dengan sesekali membaca koran dan rajin menonton Dunia dalam Berita kamu akan jadi orang terpintar di seantero desa.

Ini terjadi lebih dari 30 tahun lalu—ya, saya setua itu, tapi saya akan menceritakan masa itu dengan mata berbinar, bibir mengulum senyum, dan dada busung. Ini adalah masa ketika orang-orang kampung di Indonesia mengeja dan menyebut nama-nama idola sekaligus pahlawan pujaannya dengan mulut gemetar oleh kekaguman sebagaimana sekarang para remaja memandangi wajah anggota boyband Korea di foto profil media sosialnya dan para snobis kota mengulas serial baru dari Spanyol dengan dua paragraf yang separohnya berbahasa Inggris. Itu adalah masa ketika pertandingan terakhir Liem Swie King dan Ellyas Pical jadi bahan percakapan di beranda masjid dan teras-teras rumah.

Itu adalah masa ketika nama dan gerak-gerik Ricky Yacob mengisi semua kepala anak-anak yang sedang menyepak bola plastik pertamanya.

***

Beberapa tahun sebelum gelombang besar migrasi melanda desa saya (sebuah masa yang saya tandai sebagai awal perubahan drastis di desa kami, dan menciptakan obsesi besar untuk mencatat dan menuliskannya, mengingat bekasnya yang dalam kepada diri saya secara pribadi), lapangan sepak bola adalah tempat terjauh dari pusat desa namun sekaligus yang paling ramai. Orang-orang masih di rumah, bertahan di kampung halaman dan tak banyak memikirkan hal atau jenis pekerjaan lain selain menggarap ladang, menambang batu, mencuri kayu, atau paling jauh, ikut melaut juragan kapal di desa-desa pesisir. Setiap sore, puluhan pemuda memenuhi lahan kosong yang tak luas itu, sementara bocah-bocah merubung di pinggir atau membuat gelanggangnya sendiri di lahan sempit dan sedikit becek di belakang gawang. Orang-orang menyebutnya sebagai tren (yang tentu saja hasil penyederhanaan dari istilah Inggris training, latihan). Tapi hari-hari tren adalah rutinitas biasa, sebelum nanti berpuncak pada hari-hari pertandingan.

Ketika dua bendera kesebelasan telah didirikan di pinggir pertigaan desa, lalu hari-H tiba, dan siang telah lewat, semua orang seperti berhenti melakukan apa pun selain menengok ke arah kelokan jalan di ujung desa: apakah truk yang mengangkut pemain tim tamu sudah datang atau belum? Ketika truk itu muncul, dipenuhi oleh orang-orang yang berjubel di kap di atas kepala truk, melambaikan tangan, beberapa dari mereka sudah dengan sepatu di kaki dan kaus seragam di badan, maka semua anak akan keluar dari rumah, mengejar truk tersebut sampai ke lapangan. Jika di tim itu ada pemain yang sering disebut-sebut orang, diisukan pernah dijajal di klub persyarikatan atau malah Galatama (entah si A tukang pematah kaki atau si B sang jago gocek atau si C yang berlari secepat angin), maka anak-anak akan mencari tahu yang mana, dan setelah tahu mereka akan mengerubunginya, memandangi wajahnya dengan penuh rasa ingin tahu, mengamati apa merek sepatunya dan bagaimana cara ia mengikatkan talinya (apakah disimpul biasa di atas punggung kaki atau diikatkan mengelilingi sepatu, misalnya), apakah ia pakai pelindung tulang kering atau tidak, dan jika tidak, mereka akan berbisik-bisik satu sama lain apakah si pemain pakai jimat di dalam kaus kakinya atau pakai susuk di betisnya.

Lalu pertandingan dimulai, dan desa yang tak lebih dari tiga ratusan rumah kala itu, akan berhenti berdetak. Semua orang pindah ke lapangan. Seluruh garis lapangan dijubeli penonton; tua atau muda, dewasa atau kanak-kanak, laki-laki atau perempuan, semua orang tumpah. Jika yang datang bertandang adalah tim tamu yang cukup dikenal di kawasan, penonton dari desa-desa luar di sekitar juga akan datang berbondong.

Namun, keramaian hari itu tak akan begitu saja selesai bersamaan dengan selesainya pertandingan. Tim tamu dari desa yang jauh biasanya akan dijamu makan malam oleh orang kaya di desa sebelum diizinkan pulang, dan orang-orang yang ingin tahu, tapi terutama anak-anak, akan terus mengerumuni mereka. Tapi bahkan jika itu tak terjadi, lebih-lebih saat kami memenangkan pertandingan, bermalam-malam setelah hari itu sepenuhnya dikuasai obrolan soal pertandingan. Orang-orang akan menceritakan hal-hal menarik di lapangan dari sudut pandangnya; semua orang punya proses gol menurut versinya masing-masing; semua orang menceritakan peristiwa di lapangan yang hanya ia sendiri yang tahu.

Meskipun tak ada kompetisi resmi, pertandingan macam itu, dengan suasana seramai itu, bisa terjadi dua pekan sekali—seperti yang biasa dialami oleh kota-kota besar dengan klub-klub terkenal di liga-liga Eropa mana pun saat ini. Dan setiap tim tamu yang datang biasanya akan dibalas dengan kunjungan balik, lebih-lebih mereka yang meninggalkan kesan baik. Itu artinya setiap pekan bisa saja ada pertandingan.

Jika saja desa kami punya sasana, dan pertandingan-pertandingan tinju diadakan tiap pekan, mungkin kami akan punya Ellyas Pical kami sendiri. Demikian juga kalau bulu tangkis membudaya, pastilah kami punya Liem Swie King dan Icuk Sugiarto. Tapi di tempat kami hanya ada sepak bola. Maka, yang kami puja adalah Rully Nere, Marzuki Nyak Mad, Hermansyah, dan tentu saja Ricky Yacob.

***

Perkenalkan Ricky Yakob kami. Namanya Mu’in. Ia tampan dan tinggi-ramping dan flamboyan, seperti Ricky Yakob betulan. Kumis tipisnya mungkin membuatnya lebih mirip dengan bek Jaya Hartono, tapi kami ingin ia adalah Ricky Yakob. Dan sebagaimana Ricky Yacob, Mu’in jelas seorang bintang. Dan karena itulah kami mendatangkannya.

Saya tak mengingat prestasi apa yang pernah diraih oleh kesebelasan kami. (Saat itu, seperti sekarang juga, tak ada kompetisi teratur di tingkat desa. Piala Bupati, turnamen tahunan setiap bulan menjelang Hari Kemerdekaan, juga hanya diikuti oleh tim-tim tingkat kecamatan, dan tentu saja kecamatan kami, yang saat itu mendominasi Lamongan, didominasi oleh pemain dari tim-tim yang lebih besar dari desa pesisir, yang memang punya tradisi sepak bola kuat.) Meski demikian, saya bisa menyebut bahwa itulah masa emas sepak bola desa kami.

Lapangan selalu ramai, pertandingan banyak, antusiasme tinggi, dan kami punya bintang-bintang kami sendiri, nyaris di setiap posisi. Ada Masropin di bawah mistar gawang, Kasmindar dan Mumarji sebagai dua bek tangguh sekaligus mengerikan, Nahi Mungkar mengatur serangan, Pandi jadi pelari kencang di sayap, dan striker yang cepat dan licik dan tajam ada pada diri Kaeri. Mereka mungkin tak pernah menarik perhatian para pemandu bakat untuk tim kecamatan di Piala Bupati, dan hanya dikenal di desanya sendiri, tapi mereka benar-benar dipuja para kanak-kanak, bahkan ditiru dari cara bermain hingga gerak-gerik khasnya. Tapi, untuk pertandingan-pertandingan melawan tim yang jauh lebih bagus, kami merasa kadang para bintang lokal kami itu memang tak cukup. Kami butuh mendatangkan pemain yang bukan hanya lebih bagus skill-nya tapi juga lebih kuat mental bertandingnya. Maka, sesekali kami akan ngebon pemain dari luar.

Ngebon, atau pinjam/sewa (kata yang juga dikenal dalam pergaulan perwarungan), adalah hal yang lumrah dilakukan di sepak bola level galadesa, yang berlaku hingga hari ini. Di desa-desa yang setengah kota, dengan komunitas pedagang besar yang banyak dan saling bersaing satu sama lain, ngebon biasa dilakukan secara habis-habisan dan jor-joran, dan pemain yang didatangkan pun dari level yang jauh lebih tinggi. Ini misalnya pernah saya lihat langsung ketika dua tim bertemu di final turnamen Agustusan tingkat kecamatan Babat, kota kecamatan paling ramai di Lamongan dan hanya satu jam saja jaraknya dari Surabaya. Hampir 80 persen pemain yang berlaga hari itu adalah pemain yang masih aktif di Liga Indonesia, yang diambil dari tim-tim di Gresik dan Surabaya.

Tim kami tak pernah melakukan hal segila itu. Pemain yang didatangkan untuk dibon juga hanya dari desa-desa yang tak terlalu jauh. Sebagian malah terkesan coba-coba, mengingat para pemain tersebut biasanya dipilih hanya berdasar katanya. Kalau cocok bisa dipakai lagi, kalau tidak, mencoba yang lain. Oleh karena itu, pemain-pemain yang dibon sering berganti seiring pertandingan dan sesuai kebutuhan. Sampai kemudian kami mendapatkan Mu’in.

Mu’in berasal dari sebuah desa nelayan di Tuban (sebuah daerah dengan kegilaan sepak bola tinggi dan bakat-bakat besar, tapi entah kenapa tak pernah mampu unjuk gigi di level nasional). Meski berbeda kabupaten, desa Mu’in tak terlalu jauh, persis berada di batas barat kecamatan kami. Berbeda dengan kebanyakan pemain bon-bonan yang pernah kami datangkan, permainan dan kemampuan Mu’in dikenal di kawasan. Dan ketika ia muncul dan bermain di lapangan kami yang kecil, membela desa kami, seluruh perhatian tersedot untuknya.

Ia jelas seorang fantastista, meski saat itu kami belum mengenal istilah yang dipopulerkan oleh siaran dan berita tentang Liga Italia itu. Ia jelas bisa mencetak gol, tapi kemampuan terbaiknya adalah membagi bola ketika tim dalam posisi menyerang. Dengan kemampuan olah bola di atas rata-rata pemain kelas desa, ia juga bisa menjadi bek yang baik. Dan tentu saja, seperti semua pemain hebat di masa itu, ia punya sedikit arogansi. Ia akan terlihat sangat imperatif di lapangan, sering menunjuk, kerap meminta, banyak berteriak.

Saya tak ingat pertandingan apa melawan tim desa mana, dan apakah kami menang atau kalah, saat Mu’in untuk pertama kami membela tim kami. Tapi saya ingat betul bagaimana orang-orang membicarakannya setelah itu, mencoba mendekatinya dan mengajaknya bicara dan berharap mengambil sedikit rasa bangga darinya, dan anak-anak mengintipnya ketika ia dijamu makan malam oleh seorang warga desa yang bertindak sebagai semacam bos bagi tim. Ia jelas diperlakukan jauh lebih istimewa dari kebanyakan pemain bon-bonan yang pernah membela tim desa kami. Mungkin karena itu, Mu’in terus kami pakai.

Jelas karena kemampuannya, tapi bukan semata itu. Anak-anak meniru caranya membawa bola, meniru caranya meminta umpan dan menegur kawan, menirukan berteriak “Eik!” setiap menghindari tekelan lawan, meniru menggoyangkan rambut di pundak meskipun mereka gundul. Namun, tak ada yang lebih ribut dibanding para ibu. Ucapan khas para calon mertua, “Ah, andaikan saja Mu’in mau jadi menantuku,” mudah didengar di antara rasan-rasan dan gunjingan. Dan bapak-bapak, terutama para penggemar sepak bola, rupanya mendukung angan-angan itu.

Dan memang itulah yang terjadi. Pada pertandingannya membela tim kami yang kesekian, rumah yang menjamu makan malam Mu’in berpindah. Bukan rumah orang kaya yang menyukai sepak bola, tapi sepasang orang tua yang mencari menantu. Dan, akhirnya, di rumah itulah Mu’in mendapatkan istri. Mu’in pun menjadi warga desa kami, anggota tetap tim kami; ia tak lagi pemain bon-bonan seperti sebelumnya. Mu’in kemudian menjadi bagian dari sejarah sepak bola desa kami.

Karena kebetulan ia menikahi gadis yang tak lain merupakan sepupu ibu saya, yang rumahnya persis di belakang rumah saya, maka dari Mu’in yang itu, ia kemudian menjadi Paman Mu’in. Tapi, yang tak berubah, bagi saya, sebagaimana bagi kebanyakan anak-anak sebaya saya, ia tetaplah Ricky Yacob kami.

***

Kita adalah bangsa dengan ingatan pendek dan rapuh. Yang lebih buruk, kita tak suka mencatat. Namun, yang lebih buruk lagi, kita tak terlalu peduli dengan hal buruk itu. Itulah kenapa ada media yang dengan keentengan tingkat tinggi, dengan pilihan kata dan susunan kalimat dingin seperti es batu, menulis: “Mantan pemain sepak bola Ricky Yakobi Meninggal Dunia.” Bukan sekadar mengecewakan, itu memuakkan.

Mungkin akan sedikit berlebihan mengalunginya gelar pahlawan nasional, tapi jika saja para pemain dan penggemar sepak bola punya hak yang sama dengan tentara untuk memasukkan nama kalangannya di deretan pahlawan nasional, maka Ricky Yakob jelas akan menjadi salah satunya. Tak terbantahkan.

Meski sepak bola kita tak punya capaian yang tinggi-tinggi amat, Ricky adalah bagian inti dari puncak tertinggi itu. Pada Asian Games 1986, golnya di perempat final memaksa Uni Emirat Arab ke adu penalti, dan timnas sepak bola Indonesia mencapai semifinal Asian Games pertama dan satunya hingga kini. Dan saat kita mendapatkan medali emas SEA Games 1986, medali yang kini tampak begitu sulit kita raih kembali, ia adalah kapten timnya. Ia adalah legenda. Tak kurang, tak lebih.

Dan sebagaimana semua legenda, pada suatu masa, ia adalah sebuah nama yang kepadanya hal-hal ditautkan, yang dengannya standar ditetapkan. Pada suatu masa, ketika di bidang politik orang punya julukan pujian macam “seperti Sukarno” atau “seperti Natsir” atau “seperti Soeharto”, sementara pada soal kepandaaian orang akan mengatakan “seperti Habibie”, maka di sepak bola anak-anak akan bilang “Seperti Ricky”. Dan pada suatu masa, itu lebih dari cukup.

BACA JUGA Tidur dan Menulis dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN

Exit mobile version