Sejak menghapalnya agar bisa menjawab pertanyaan ujian semesteran di masa kuliah, saya tak pernah lagi memikirkan terlalu dalam “apa itu sastra”. Meskipun dari pertama menulis, yang saya upayakan adalah apa yang saya bayangkan sebagai sastra, saya tak benar-benar memikirkan betul pengertiannya. Lagi pula, tahu tentang, katakanlah, “dulce et utile” tak serta-merta bisa membuatmu jadi penyair kan? (Sebagaimana bisa menghapal Pancasila tak membuat Anda otomatis jadi seorang pancasilais.)
Saya selama ini berpikir saya tak ubahnya tukang kayu yang membuat kursi dan meja dan pintu dan jendela tanpa perlu mendefinisikan apa itu kursi dan meja, pintu dan jendela lebih dulu. Saya hanya tahu apa itu kursi, macam mana meja, dan apa bedanya pintu dan jendela, dan mencoba mengerjakannya. Jika ada yang butuh penjelasan, maka saya rasa pedagang mebellah yang seharusnya melakukannya, bukan saya.
Karena itu, ketika dalam beberapa kesempatan, saya didesak oleh orang-orang yang betul-betul putus asa ingin tahu mana yang sastra mana yang bukan, saya biasanya memberikan jawaban yang tak memuaskan. Tentu saja. Saya menjawab secara asal apa yang sedang terpikir: saya tak ingat betul bagaimana Wellek & Warren mendefinisikannya (dulu), apalagi saya tak merasa, jika pun saya masih menghapalnya, itu akan membuat orang lain bisa lebih mengerti; sudah begitu, saya biasanya tahu saya sedang bertemu orang yang seumur hidupnya minum air kemasan, maka apa manfaatnya menjelaskan perbedaan air tawar dan air payau. Saya menjawab tidak untuk membuatnya mengerti, tapi untuk membuat yang bertanya diam.
“Sastra adalah, ketika kamu membacanya, ia membuat dadamu bergetar,” kata saya suatu kali, dalam sebuah diskusi sastra yang sepi pengunjung di sebuah kota di Jawa Timur. Dan sebelum ada seseorang menyergah, saya buru-buru menambahkan: “Sebagaimana seorang hamba yang mendengar nama Tuhannya.” Lalu saya menguncinya dengan menyebut salah satu ayat Al-Qur’an. (Yang terakhir itu penting, terutama untuk konteks Jawa Timur.)
Saya tahu, meskipun terdengar merdu untuk dikutip, jawaban macam itu memiliki lobang besar, dan bisa mengundang pertanyaan lebih panjang dan lebih merepotkan jika didengar oleh mereka yang jeli. Tapi setidaknya hari itu saya berhasil. Dan dengan tingkat keberhasilan yang bermacam-macam, saya sering memakai jawaban-jawaban sejenis itu, atau kadang lebih ceroboh lagi. Tapi saya tetap tak menyukai, dan sering kali tak meyakini, jawaban yang lebih pakem, yang membuat seorang penanya diam sekaligus manggut-manggut mengerti. Dan oleh karena itu, saya terus saja tak pernah benar-benar memikirkan “apa itu sastra”.
Sampai kemudian, dalam sebuah seminar virtual belum lama ini, seseorang bertanya: “Katanya sastra itu yang gelap-gelap gitu ya? Semakin gelap, semakin sastra, apa betul begitu?”
Reaksi pertama saya adalah terkejut: rupanya ada orang yang berpendapat seperti itu di luar sana. Saya mesti memberi jawaban dan mencoba menjelaskan, dan syukurlah tak ada pertanyaan lebih lanjut; mungkin saya baru saja memberi jawaban yang memuaskan, tapi bisa jadi format diskusi virtual memang kurang mendukung untuk para penanya yang cerewet. Meski demikian, untuk saya sendiri, selama sepekan terakhir, saya belum bisa lepas memikirkan pertanyaan itu. Saya harus terpaksa akui, setelah sekian lama, sejak menjelang hari-hari ujian akhir semester Pengantar Ilmu Sastra yang diampu Drs. Soeratno, saya akhirnya kembali memikirkan “apa itu sastra”.
***
Apa itu sastra?
Kalau pertanyaan itu diajukan kepada Wyasa, yang diberikan adalah permusuhan antara dua keluarga yang bersaudara, perang berkepanjangan, pembantaian, dendam dan kutukan yang tak sudah-sudah; Walmiki memberi kita gambaran tentang seorang suami yang dengan susah payah membebaskan istrinya dari sekapan raja raksasa hanya untuk melemparkan sang istri ke api setelah ia meragukan kesetiaannya; dari Yunani, Sofokles menyajikan kepada kita kisah Oedipus, raja culun yang membunuh bapaknya dan mengawini ibunya dan akhirnya, karena rasa bersalah, menusuk matanya sendiri; orang Arab Abad Tengah mengetengahkan Syahrazad, putri seorang wazir yang setiap malam terancam dibunuh oleh raja yang mengawininya kecuali ia bisa terus-terusan bercerita; orang Skandinavia bernama Andersen mewariskan kepada anak-anak dunia cerita-cerita mengerikan tentang gadis-gadis cantik yang menderita, entah karena mengejar-ngejar pangeran yang dicintainya atau karena ibu tiri yang bukan main kejamnya; Grimm Bersaudara dari Jerman tak kalah bengisnya, mereka punya cerita tentang dua saudara yang dibuang bapaknya, gadis berambut panjang yang disekap ibunya, dan serigala yang menguntit seorang bocah perempuan berkerudung merah, dan masih banyak lagi lainnya; orang Sunda membayangkan, di balik terciptanya sebuah gunung, ada seorang pria sakti namun bodoh dan berangasan yang ingin mengawini ibunya yang pernah mengawini seekor anjing; orang Jawa punya cerita bahwa aksara mereka tercipta setelah dua orang saling bertarung, sama-sama sakti, dan akhirnya sama-sama mati; orang Madura menyukai cerita para bromocorah, yang salah satunya bernama Sakerah, yang dipenjara Kompeni, dikhianati istri dan keponakannya sendiri, dan pada akhirnya mati; seorang Eropa bernama palsu Multatuli dianggap berperan dalam kemerdekaan bangsa Indonesia lewat bukunya yang “mengisahkan penderitaan rakyat Lebak di masa Tanam Paksa”; dua cerita masa kolonial yang kemudian mendefinisikan India pasca-kemerdekaan, dan kemudian menjadi salah satu elemen penyangga paling utama sinemanya, adalah (1) Umrao Jaan Ada, kisah seorang gadis biasa yang diculik musuh bapaknya, dijual ke pelacuran, dididik sebagai penari istana, dan ketika Inggris datang yang tersisa hanya seorang perempuan setengah tua murung yang tak diterima keluarga dan lingkungannya, dan (2) Devdas, kisah seorang anak tuan tanah lulusan Eropa yang patah hati oleh teman masa kecilnya, mencoba mengobati luka hatinya di pelacuran, dan akhirnya mati karena minuman; kembali ke Indonesia, coba perhatikan daftar bacaan yang disusun Balai Pustaka agar anak-anak pribumi tak buru-buru menuntut kemerdekaan berikut: Azab dan Sengsara, Tak Putus Dirundung Malang, Sengsara Membawa Nikmat, Kasih Tak Sampai, Belenggu, Salah Asuhan (coba pilih salah satu, manakah kira-kira cerita yang penuh dengan suasana gembira); lalu coba ingat-ingat tentang Chairil, adakah gambaran lain tentangnya yang lebih kuat dibanding “binatang jalang”, “mampus kau dikoyak-koyak sepi”, “ini muka penuh luka”, dan “hidup hanya menunda kekalahan”? Rendra adalah penyair penuh cinta dan sangat pandai menggombal, tapi toh yang paling kita kenang adalah “delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan”; tokoh-tokoh perempuan di karya-karya Pram konon perkasa, tapi kesemuanya adalah orang-orang yang melewati hidup dalam kemelut, sebagaimana nyaris semua tokoh-tokoh Pram dari jenis kelamin apa pun; Tohari punya buku kumpulan cerpen berjudul Senyum Karyamin, dan meskipun saya belum membacanya saya hampir yakin bahwa itu bukan buku yang berisi cerita-cerita yang bisa menerbitkan senyum; mendengar tentang “sepotong senja” dan “jazz” dan “parfum” dan “menyanyi di kamar mandi” mungkin agak membuat kita santai, tapi Seno mencampurnya dengan insiden dan penembak misterius dan keroncong pembunuhan, dan suara “grrrhhh” yang mengerikan; dan Anda bahkan menemukan kisah-kisah yang muram dari buku-buku kumpulan cerita dengan judul manis dan enteng macam Belajar Mengarang dan Kado Istimewa, apalagi yang terdengar muram seperti Cantik Itu Luka.
(Dan saya bahkan melewatkan nama-nama macam Flaubert, Wilde, Dostoyevsky, Tolstoy, Borges, Woolf, Steinbeck, Wiesel, Salinger, Morrison, Achebe, Marquez, Rushdie, dan… masih banyak lagi… yang kesemuanya jelas tak bercerita tentang “yang terang-terang”.)
***
Jadi, apakah sastra memang “yang gelap-gelap gitu”?
“Tidak, tidak begitu, tunggu dulu,” jawab saya buru-buru, saat itu. Lalu saya berbuih-buih menyebut beberapa nama seperti Voltaire, Chekov, Narayan, Banerji, cerpen-cerpen Kuntowijoyo dan Putu Wijaya yang lucu, novel Dari Hari ke Hari-nya Mahbub Djunaidi yang nakal, beberapa cerpen Kayam yang romantis, dan lain-lain.
Ya, sejujurnya saya kesulitan menyebut nama dan judul lebih banyak, dan betapa saya tak benar-benar meyakini daftar itu. Oke, Voltaire dan Chekov memang lucu, tapi bukankah itu karena cerita-cerita mereka sekaligus juga getir dan gelap? Narayan dan kisah Swaminya dan kota Malgudinya mungkin benar lucu, tapi Banerji, yakin? Lalu saya mencoba menghitung lebih banyak mana saya dibuat menangis oleh cerita Apu dan Durga itu dibanding dengan saat saya tertawa.
Beruntung, saya sedang berada di sebuah forum yang menamai acaranya “Sastra sebagai Refleksi Kehidupan”. Saya tak terlalu yakin dengan judul itu, sebagaimana juga tak benar-benar meyakininya—setidaknya pada nada bijak dan sok agung yang dikandung kata “refleksi”, tapi setidaknya itu memberi saya pintu keluar. “Ya, seperti tema kita pagi ini, anggap saja saja sastra memang benar merefleksikan kehidupan, sebagaimana semua jenis seni lainnya,” kata saya. “Dan bagaimana bisa kita memperoleh refleksi kehidupan yang cerah ceria sementara kehidupan tak pernah baik-baik saja?”
Sampai di sini, tampaknya saya akan bisa sampai ke jawaban yang membungkam: “Dalam konteks sastra Indonesia, bagaimana kalian akan menemukan sastra yang cerah ceria dari sebuah bangsa yang 350 tahun dijajah, yang merdeka dengan cara berdarah-darah, yang terus saling membunuh bahkan ketika telah merdeka, yang pernah diperintah selama 32 tahun oleh rejim politik yang dibangun di atas kuburan jutaan orang komunis, dan ribuan preman yang dihukum mati tanpa diadili, yang diakhiri dengan penghilangan orang dan penembakan demonstran, dan setelah dua puluh tahun kita masih belum sepenuhnya sembuh darinya,” dan seterusnya, dan seterusnya.
“Apakah itu jawaban yang memuaskan, teman-teman?” tanya saya, dengan sedikit kurang yakin. Penanya menyahut “ya” dan mengucapkan terima kasih. Saya sendiri tak sepuas itu, tapi setidaknya itu sedikit menenangkan.
Sebab, bisa jadi, saya baru saja menyelamatkan seseorang dari menganggap KKN Desa Penari sebagai sastra.
Tapi tunggu dulu. “Bagaimana kalau, ya? Bagaimana kalau ia merefleksikan kehidupan, sebagaimana umumnya karya sastra? Dan siapa kamu dan apa hakmu mencegah orang menganggap ini karya sastra dan ini bukan, atau sebaliknya, yang menganggap bahwa semua yang ditulis itu karya sastra? Bagaimana kalau itu betul-betul menggetarkan hati orang yang membacanya?” tanya seseorang di kepala saya, bertubi-tubi.
BACA JUGA Putu dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.