Di antara kualifikasi ideal manusia yang indah untuk dikatakan namun tidak sederhana untuk dilaksanakan adalah menjadi “bijaksana”. Bagi peminat kajian filsafat, pasti telah familiar dengan kata “bijaksana”.
Ini karena biasanya filsafat didefinisikan sebagai sebentuk cinta kepada “kebijaksanaan”, sebagai definisi harafiah kata filsafat sendiri yaitu philo-sophia (cinta-kebijaksanaan).
Kebijaksanaan sering digambarkan sebagai sebentuk respons perilaku terhadap sesuatu secara pas dan sesuai, baik dari sisi kuantitas, kualitas, relasi, situasi maupun kondisinya. Kebijaksanaan juga sering dinyatakan sebagai tahapan lebih lanjut dari kebenaran dan kebaikan.
Banyak kebenaran dan kebaikan kehilangan nilainya ketika jalan mewujudkannya melupakan sisi kebijaksanaan.
Membantu orang yang membutuhkan itu kebenaran, namun kalau diri sendiri juga sedang perlu dibantu, maka memaksa membantu orang lain itu tidak bijaksana. Nraktir teman itu mulia, tetapi nraktir sate kambing 10 porsi untuk teman yang tensi-nya sedang naik, itu tidak bijaksana.
Kearifan Jawa membedakan antara bener dan pener. Bener dapat diartikan sebagai yang seharusnya, yang dipegangi sebagai bernilai tepat dan ideal; sedangkan pener adalah kesesuaian kebenaran itu ketika bertemu dengan situasi sosial-budaya-psikologi-ekonomi tertentu.
Pener inilah yang dapat dikatakan mewakili ranah kebijaksanaan.
Puasa sebagai kewajiban agama dengan segudang manfaat-maslahat kemanusiaan adalah “bener”; namun bagi orang tertentu dengan penyakit tertentu yang membahayakan nyawanya kalau berpuasa, tidak puasa itu “pener”, dan memaksa diri berpuasa berarti “ora pener” (tidak benar).
Dalam contoh ini bukan berarti “kebenaran” puasa itu berubah menjadi salah, namun situasi tertentu membuat kebenaran puasa menjadi tidak relevan kalau dijalankan.
Hadirnya dimensi kebijaksanaan dalam kehidupan manusia hakikatnya merupakan sebentuk “rem” agar seseorang tidak kemrungsung, sekadar mengejar dan memperjuangkan kebenaran atau kebaikan yang diyakini, namun juga mempertimbangkan segala situasi, kondisi dan kemungkinan, sebelum kebenaran itu dihidupkan sesuai yang diinginkan.
Sayang kepada anak itu fitrah, berarti kebenaran, namun menuruti apa saja permintaan anak adalah ketidakbijaksanaan yang justru akan membuat kebenaran kasih-sayang itu berbuah kerusakan pada diri anak.
Rajin salat berjamaah ke masjid adalah kebenaran-kebaikan, namun memaksa ke masjid di masa wabah penyakit menular merajalela adalah ketidakbijaksanaan yang mungkin saja akan membuat kebenaran-kebaikan shalat berjamaah itu justru berbuah sakit dan kemalangan.
Lenyapnya kebijaksanaan dapat membuahkan runtuhnya nilai kebenaran dan kebaikan itu sendiri.
Secara fitri manusia memang memiliki kecenderungan untuk hidup dalam kebenaran dan kebaikan. Itulah mengapa secara alami seseorang akan membela diri atau cepat-cepat ingin mengubah diri saat sadar bahwa dirinya sedang menjalani sesuatu yang salah atau tidak baik.
Kecenderungan kepada kebenaran dan kebaikan ini ketika bergabung dengan watak-watak negatif manusia seperti ingin selalu unggul, tamak dan tidak hati-hati, seringkali justru melahirkan perilaku-perilaku tidak bijaksana, dan membawa kepada kesulitan-kesulitan hidup.
Ketika seseorang menemukan sesuatu sebagai kebenaran, biasanya ia akan begitu wow dengan capaiannya itu, kemudian berupaya menghidupkannya dengan bersemangat untuk mewarnai hidupnya, bahkan tak jarang kemudian menganggap bahwa kebenaran itulah solusi terhadap segala macam persoalan hidup yang dihadapinya.
Ia melupakan batas, prasyarat, dan kondisi yang sesuai bagi kebenaran yang dimilikinya itu.
Ia lupa segala kebenaran-kebaikan yang bersentuhan dengan dunia manusia yang begitu kompleks dan dinamis selalu harus siap diberi label “syarat dan ketentuan berlaku”.
Akan selalu ada pengecualian-pengecualian dan situasi-situasi tertentu di mana kebenaran atau kebaikan tersebut tidak bisa serta-merta dijalankan. Di titik inilah kebenaran-kebaikan memerlukan hadirnya kebijaksanaan.
Allah Sang Maha Bijaksana telah dengan sangat indah mencontohkan bagaimana bersikap bijaksana. Salat itu wajib berdiri, namun bagi yang tidak kuasa berdiri, diperbolehkan duduk, berbaring, bahkan dengan isyarat saja.
Puasa itu wajib di bulan Ramadan, namun bagi orang-orang dengan kondisi tertentu, seperti sakit, hamil atau menyusui, bisa tidak puasa dan diganti hari lain atau diganti dengan fidyah. Zakat atau Haji hanya bagi yang mampu.
Bahkan dalam ushul Fiqih ada kaidah al-dharuratu tubihu al-mahdhurat “dalam situasi darurat, yang semula dilarang bisa diperbolehkan”. Artinya, semua ini hakikatnya adalah prinsip-prinsip kebijaksanaan.
Salah satu peribahasa Jawa yang menarik untuk dikaitkan dengan kebijaksanaan ini adalah “ngono yo ngono, ning ojo ngono”. Makna harafiah dari peribahasa ini adalah “Begitu ya begitu, tetapi jangan begitu”.
Peribahasa ini mengandung makna yang unik, namun luas dan mendalam. Di dalamnya ada pelajaran tentang batas, tentang ketidakberlebihan, penerimaan terhadap standar dan khususnya juga kebijaksanaan.
Peribahasa tersebut menyuruh kita untuk tidak “mentang-mentang”. Meskipun sedang menghidupkan atau menjalankan kebenaran dan kebaikan, jangan soksokan. Sebab, selalu ada batas dan ukuran untuk segala sesuatu.
Bahwa membaca buku itu baik, bukan berarti baik kalau sepanjang waktu kita habiskan untuk membaca buku saja. Membantu orang itu baik, tetapi nilai kebaikannya dapat dipertanyakan kalau bantuan itu dilakukan dengan mengorbankan diri sendiri sehingga akhirnya yang membantu berbalik menjadi yang perlu dibantu.
Sayang kepada seseorang itu baik, tetapi jangan dengan alasan menyayangi seseorang kemudian kita membenci atau tidak peduli kepada yang lainnya. Kebenaran dan kebaikan dapat kehilangan nilai benar dan baiknya ketika dijalankan secara tidak bijaksana, di luar porsi dan proporsinya.
Ngono yo ngono, ning ojo ngono.
Dalam konteks puasa, kebijaksanaan Ngono Yo Ngono ini dapat berbentuk banyak hal, misalnya jangan mentang mentang puasa, kemudian merasa paling saleh dan mulia, merendahkan yang lain yang tidak puasa.
Jangan mentang-mentang puasa, menahan diri di siang hari, kemudian merasa berhak mengumbar hasrat makan minum tak terkendali di malam hari. Jangan mentang-mentang puasa kemudian merasa layak untuk bermalasan dari subuh hingga magrib tiba.
Jangan mentang-mentang puasa kemudian merasa harus diistimewakan dengan segala fasilitas yang memanjakan, apapun bentuknya, baik di kantor maupun di rumah.
Ngono yo ngono, ning ojo ngono.
Sepanjang Ramadan, MOJOK menerbitkan KOLOM RAMADAN yang diisi bergiliran oleh Fahruddin Faiz, Muh. Zaid Su’di, dan Husein Ja’far Al-Hadar. Tayang setiap waktu sahur.