Syukurlah, Beauty Vloggers Bikin Definisi Cantik Kini Makin Demokratis

Zara, Posting Video Pribadi Emang Hak Kamu, tapi Hak Itu Nggak Bebas Konsekuensi perempuan edgy kalis mardiasih mojok.co

MOJOK.COBanyak beauty vloggers yang pede aja tampil apa adanya. Jerawatan, nggak tinggi, dan kulit berwarna. Waaah, keren!

Pengalaman ngobrol dengan agensi yang pegang salah satu brand bodycare ternama di Indonesia belakangan ini jadi sangat menyenangkan. Saat itu, kami membahas apakah persepsi publik soal standar kecantikan sekarang ada perubahan.

Beauty standards hari ini sudah semakin dinamis dan sudah bergerak ke arah lebih baik, tapi nggak boleh berhenti lebih baik lagi. Faktor utamanya adalah terbukanya sumber informasi dan pengetahuan.

Studi kuantitatif dalam proyek “Dove Impact of Beauty Stereotypes” tahun 2018-2019 kepada 9.027 perempuan usia 18-64 tahun di 11 negara menemukan bahwa 70 persen perempuan tidak merasa terwakili dalam media dan iklan.

Yes, benar, Dove yang dimaksud adalah merek Dove yang sampai hari ini masih giat berkampanye #LetsChangeBeauty lewat berbagai kanal mereka.

Dalam proyek lain, temuan Dove adalah 25 persen perempuan kini terpengaruh oleh standar kecantikan dari media sosial.

Dua puluh tahun lalu, saya dan kamu melihat standar kecantikan satu-satunya dari iklan televisi dan majalah kecantikan. Iklan dan majalah itu yang memberikan kita standar warna kulit, bentuk hidung, bentuk badan yang “ideal”.

Ideal adalah harus sesuai standar iklan sabun, kalau nggak begitu, kamu nggak cantik.

Setiap bulan, majalah perempuan dalam berbagai jenjang usia menampilkan sosok berbeda pada sampulnya. Baju apa yang ia kenakan, make up apa yang menempel di wajahnya, itulah yang akan segera menjadi tren.

Seringnya, perempuan-perempuan yang muncul sebagai perwajahan majalah itu adalah para perempuan size 0 atau size zero dengan tubuh tak masuk akal untuk orang biasa. Istilah size zero adalah istilah khas dunia model Catwalk.

Para model yang berjalan di atas karpet merah mesti bertubuh sangat kurus, lebih mini dari ukuran XS agar bisa mendemokan baju dari para desainer. Padahal, dengan tinggi badan yang mereka punya, ukuran size zero seringkali justru tidak ideal sebab mereka justru kekurangan berat badan.

Peristiwa yang terjadi di belakang layar tentu tak pernah diceritakan. Para model menjalani diet ekstrem, mengganjal perut dengan tisu juga menjalani berbagai operasi.

Sayangnya, sebuah studi di AS beberapa tahun lalu terlanjur menemukan para remaja perempuan usia 6-12 tahun yang mengalami eating disorder atau gangguan makan karena terobsesi dengan standar size zero itu!

Terbayang kan betapa menyedihkannya dalam usia 6-12 tahun yang semestinya adalah saat-saat berbahagia untuk bermain dan belajar sepuasnya, anak-anak ini telah memikirkan body image dengan penuh obsesi.

Zaman sekarang, beruntung bahwa sumber pengetahuan ada begitu banyak. Saya pun termasuk ORANG AWAM yang banyak belajar dari channel kecantikan dan beragam beauty vloggers.

Saya baru mulai disiplin ber-skincare ria tiga tahun terakhir karena menemukan alasan yang menurut saya masuk akal. Yakni, sebab saya ingin punya kulit nyaman dan kulit sehat sampai tua. Bertahun-tahun saya menolak standar kecantikan masyarakat, apalagi alasannya kalau bukan saya tahu saya tak akan mampu meraihnya.

Tapi, beauty vloggers di YouTube memberi saya pemahaman yang masuk akal. Beauty vloggers bikin definisi kecantikan jadi demokratis. Banyak dari mereka yang beneran expert soal skincare jadi bicara secara sains, ngereview produk secara jujur sesuai kebutuhan tubuh kita.

Banyak beauty vloggers yang pede aja tampil apa adanya sebagai manusia jerawatan, bertubuh curvy, dagu lipat, nggak tinggi, rambut nggak lurus, dan kulit berwarna. That’s so good!

Zaman dulu lagi, iklan-iklan bodycare dan skincare tuh nyebelin banget asli. Saya ingat satu iklan produk face treatment, yang pakai cerita cowok yang mau ngedate. Cowok ini punya pilihan dua cewek, yang satu putih, yang satu gelap.

Long story short, tentu saja cewek yang gelap yang nggak dipilih. Ia lalu terpuruk banget dan melihat si cowok dan si cewek putih melenggang gitu aja.

Ada lagi iklan body lotion yang paling memorable yang muncul pertengahan 1990-an sampai 2000-an. Begini kira-kira subteks-nya.

“Santi dan Sinta adalah saudara kembar. Tapi kulit Sinta tak seputih Santi.”

Trus si Mbak Sinta pake tuh body lotion. Jadi putih dalam hitungan enam minggu. Trus mas pacarnya Mbak Santi bingung milih yang mana.

Efek dari iklan itu adalah setiap hari saya nabung buat beli lotion yang sasetan. Tetep aja nggak jadi cakep putih kayak Mbak Sinta Santi.

Tipe-tipe iklan yang mendefinisikan kecantikan perempuan sebagai upaya biar dipilih laki-laki tuh banyak amat zaman dulu. Pada era sebelumnya, iklan rasis yang jelas-jelas memperbandingkan ras kulit berwarna sebagai sesuatu yang memalukan, bahkan dianggap normal.

Iklan produk kecantikan zaman sekarang, sudah jauh lebih baik, terutama dengan mulai bermunculannya beauty vloggers. Perempuan digambarkan sebagai modern, punya pilihan, gembira dengan dirinya sendiri. Tak lagi ada narasi kencan agar dipilih laki-laki, melainkan seorang perempuan mengenakan business attire atau perempuan petualang traveler yang mencintai dunianya sendiri.

Nyenengin deh. Kampanye keragaman kecantikan juga makin banyak. Nggak cuma bicara body image yang beragam, tapi juga mulai merangkul kawan-kawan disabilitas. Ada kampanye My Body is Mine untuk menolak body shaming. Ada kampanye Self Love dan lain-lain.

Tapi, tantangan hari ini juga tak kalah banyak. Produk-produk ngawur yang tidak bersertifikasi secara membabi buta ikut berpromosi di Instagram, terkadang juga diendorse oleh influencer nggak bertanggung jawab.

Ada banyak kejadian remaja yang insecure sama tubuhnya, pake produk ngawur itu malah kulitnya jadi melepuh seperti terbakar dan sejenisnya. Sangat berbahaya.

Hari ini, kita perlu banget lebih banyak influencer waras yang ngajarin remaja supaya mindful dan critical dalam memilih produk yang punya impact buat tubuhnya. Perlu influencer yang ngajarin remaja agar bisa mengajukan pertanyaan dengan benar terkait tubuhnya.

Seperti, “Kenapa tubuhku seperti ini? Apa yang diperlukan tubuhku jika dalam kondisi seperti ini?”

Sebab, kita sadar bahwa setiap tubuh berarti, namun sekaligus beragam. Bahwa bentuk setiap tubuh memang sangat berbeda, dipengaruhi oleh banyak komponen secara biologis dalam dirinya.

Semoga makin banyak perempuan di jajaran para leader produk kecantikan sehingga makin ngerti kebutuhan perempuan yang sebenar-benarnya. Semoga kita sebagai perempuan juga nggak shaming others, makin nggak kaget sama keberagaman, dan tetep cakepppp luar dalam. Insya Allah.


Kamu bisa baca kolom Kelas-Kalis lainnya di sini. Rutin diisi oleh Kalis Mardiasih, tayang saban hari Minggu.

Exit mobile version