MOJOK.CO – Jangan-jangan, ketiadaan ruang seni sederhana sebagai ruang ekspresi remaja kampung Jogja ini yang turut melahirkan klitih?
Jogja merayakan tutup tahun 2021 dengan klitih yang makin semarak dan mencekam. Kasusnya muncul hampir tiap malam. Tentunya kamu tahu atau mudah mencari tahu apa itu klitih!
Masalah ini rumit sekali. Mencari solusi menghapus kejahatan jalanan anak muda ini ternyata tidak mudah. Aparat, ahli hukum, ahli agama, guru, media, budayawan, sampai trah bangsawan tak jua bisa memberikan penyelesaian.
Alih-alih berembug dan bersatu melawan klitih, mereka (dan kita) justru saling tuduh dan saling lempar kesalahan. Orang tua menyalahkan anak muda pelaku klitih. Anak muda menyalahkan orang tua yang abai kepada mereka. Sekolah menyalahkan murid yang nakal. Murid menyalahkan sekolah yang mahal dan tak terjangkau. Media menyalahkan aparat penegak hukum. Bangsawan menyalahkan media yang dianggap terlalu lebay memberitakan klitih.
Semua orang sibuk mencari kambing hitam, hingga lupa bercermin, jangan-jangan klitih ini salah kita juga.
Tulisan ini adalah perenungan pribadi. Semoga dapat mengajak kamu semua untuk tidak menyalahkan orang lain, dan “mencari ke dalam diri” apa yang sudah kita perbuat terhadap klitih. Saya akan mencoba masuk melalui dunia seni dan budaya, yang memang saya akrabi dalam pekerjaan dan pergaulan.
Dalam diskusi dengan beberapa kawan seniman dan budayawan, klitih sering terselip ke dalam obrolan kami. Apa yang bisa dilakukan oleh kami para pekerja seni, untuk menanggulangi klitih? Atau, apa kekurangan dan lack kami selama ini di masyarakat sehingga anak-anak muda Jogja usia potensial, para bibit kreatif, justru memilih klitih?
Jogja, sebagai kota seniman (sebelum menjadi kota klithih) pertumbuhan dan perkembangan seni budayanya disokong oleh 3K, yakni Keraton, Kampus, dan Kampung. Ketiga pondasi tersebut sekaligus menjadi ruang pesemaian atau inkubator bagi dunia kreatif di Jogja.
Keraton, biarlah tetap menjadi keraton. Saya tidak akan menyinggung bagaimana visi atau politik mereka dalam menghadapi klitih. Konteksnya adalah seni dan budaya. Yang dimaksud di sini adalah keraton biarlah tetap menjadi keraton sebagai benteng budaya yang “tertutup erat”, yang boleh dikatakan kolot dan konservatif dalam menyemai kebudayan.
Sikap konservatif tersebut diperlukan untuk mempertahankan tradisi atau budaya heritage. Jadi, masyarakat punya tujuan yang jelas bilamana ingin mengakses produk-produk budaya tradisional nan pakem menurut keraton. Saya sangat setuju agar, misalnya, tari bedaya, serimpi, tembang-tembang ageng, sastra-sastra kuna, dan ritual tertentu tetap berada dan lestari di dalam keraton. Karena di luar “benteng” itu, kita tidak bisa menjamin keberlangsungan seni-seni semacam itu. Biarlah yang adiluhung tetap menjadi milik kraton dan tetap “kaku” memeliharanya.
Lantas bagaimana dengan kesenian dan kebudaayaan populer maupun kontemporer? Di sinilah peran kampus dan kampung yang semestinya menyediakan ruang bagi bibit-bibit muda di Jogja untuk memeram potensinya supaya nggak terjebak dalam lingkaran klitih. Tentu kamu tahu hari ini kampus di Jogja mahalnya setengah mati!
Kampus pernah menjadi ruang pertukaran berbagai ide, seni, dan gagasan kreatif anak muda dari segala kalangan. Kita sering mendengar kisah lampau, zaman dahulu lulusan SMA dengan bekal uang pas-pasan bisa kuliah.
Kampus kemudian mencetak mereka menjadi orang kreatif atau seniman, dan akhirnya hidup makmur dari proses kreatifnya, meskipun pekerjaan itu sama sekalin tidak linier dengan jurusan kuliah mereka. Kamu harus tahu kalau Puthut EA bisa dijadikan contoh untuk kisah lampau ini!
Biaya kuliah yang mahal ini menutup pintu remaja-remaja abakura (ada bakat kurang ragat) di Jogja yang ingin punya peluang kerja lebih luas dengan kuliah. Saya, sebagai anak muda asli kampung urban Jogja, di lingkungan kaum miskin kota, dengan uang mepet, nekat kuliah, tahu betul bagaimana rasanya jadi abakura. Dengan kuliah, remaja kampung bisa punya cita-cita tinggi. Tidak hanya bercita-cita kerja di minimarket dengan gaji UMR.
Bakat menjadi musisi, sastrawan, pelukis, atau jadi anak event, adalah profesi yang proses pembelajarannya dan vibes kreatifnya diperoleh anak-anak muda yang terakses bangku kuliah. Tidak harus dari kampus jurusan seni. Dari jurusan mana saja bisa meraih cita-cita itu.
Hari ini, kampus hanya milik segelintir anak muda. Anak orang kaya mungkin kelak akan tetap jadi kaya karena bisa kuliah serta mendapat peluang hidup lebih terbuka. Yang miskin? Tetap tidak kebagian bangku kuliah dan terjebak dalam budaya klitih. Walaupun bisa saja disodorkan program-program beasiswa demi menanggulangi ketimpangan kekayaan untuk masuk kuliah. Namun, kamu juga tahu, program beasiswa itu seperti lotre!
Faktor ekonomi yang menghantui cita-cita remaja Jogja untuk tidak kuliah, lama kelamaan menjadi faktor kultural yang menjadi alasan untuk tidak kuliah. Pendidikan tinggi akhirnya menjadi eksklusif. Ruang tersebut secara “tradisi” menjauh dari kaum miskin kota Jogja.
Kuliah (atau menguliahkan anaknya) sudah bukan menjadi cita-cita bagi sebagian warga di Jogja. Meskipun secara ekonomi, jika benar-benar dipaksakan, mungkin saja mereka mampu membiayai kuliah. Toh, di rumah, mereka juga punya NMax atau motor trail, yang cicilannya mungkin setara SPP kuliah.
Namun, itulah yang dimaksud faktor kultural penyebab warga Jogja tidak mau mengakses kampus. Sebab, di kampung-kampung urban Jogja, sudah makin sedikit tradisi ada anak muda jadi anak kuliahan. Kamu bisa cari tahu sendiri seberapa kecil persentase mahasiswa asli Jogja dibandingkan mahasiswa pendatang! Di kampung saya, di pinggir Sungai Code, dari kawan saya satu kesebelasan sepak bola anak-anak dahulu, hanya tiga orang yang masuk kuliah. Tapi sudahlah, ketimpangan pendidikan tinggi ini tidak akan mampu kita pikirkan, biar dipikirkan mas mentri saja.
Selaras dengan kampus, kampung juga kehilangan fungsinya sebagai ruang persemaian seni dan kreatifitas anak muda Jogja. Telah banyak program pemerintah dilaksanakan untuk memfungsikan ruang seni ini. Namun, masyarakat kampung perlu dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya dukungan akan wawasan-wawasan intelektual kesenian dan kebudayaaan yang tidak bisa terakses kampung. Kampus harus hadir si situ.
Pada kehidupan anak muda zaman lampau di Jogja sebelum musim klitih, kampus dan kampung pernah sangat sinergis menyediakan laboratorium seni dan budaya masyarakat Jogja. Remaja-remaja kuliahan mampu dan mau berbaur dengan kampung. Transfer pengetahuan terjadi dalam ruang seni kampus-kampung yang berlangsung secara organik.
Remaja kampung yang memang tidak bisa mengakses pendidikan tinggi, bisa mendapatkan wawasan intelektual-akademis informal yang dibawa oleh kawan mahasiswanya. Mereka berbaur, bergaul, dengan terbuka karena notebene anak kuliahan juga anak kampung.
Contoh, pergaulan kampung di Sayidan pada awal tahun 2000-an. Dari sana kita ketahui budaya musik populer diperbincangkan dan menjadi vibes pergaulan anak muda Jogja pada tahun itu.
Komunitas itu berisi berbagai jenis manusia. Mahasiswa, anak punk kampus, anak punk jalanan, berandalan, korban broken home, semua berkumpul menjadi satu dalam ruang seni sederhana yang tersedia. Transfer wawasan intelektual-akademis jelas terjadi.
Produk seni yang lahir dan tumbuh salah satunya adalah Shaggy Dog, yang mewakili pergerakan anak muda tanpa adanya sekat mahasiswa atau remaja kampung di Jogja. Ruang seni, khususnya dalam musik, antara kampus dan kampung yang sejaman dengan Sayidan juga muncul di Malioboro, Studio Alamanda, Lexrost, komunitas Kamties (Endang Soekamti), Punk Wirobrajan, serta event-event yang membaurkan remaja kampus dan kampung.
Anak-anak muda kampung mendapatkan ruang aktualiasi diri bagi darah muda mereka. Meskipun hanya sekadar menjadi groupies band-band populer pada masanya itu. Namun, hal tersebut sangatlah cukup mengisi kekosongan remaja kampung non mahasiswa untuk menampilkan dirinya. Dengan bangga dan percaya diri, mereka berdandan dengan cara yang sama, bertutur dengan topik yang sama, bergurau dengan lawakan yang sama, corat-coret tembok dengan gambar yang sama.
Ada kesetaraan yang terbangun di sana. Kenakalan dan darah muda yang mendidih mendapatkan ruang yang keren untuk tampil sebagai anak muda, bukan pelaku kejahatan seperti klitih. Wawasan intelektual yang ditularkan oleh mahasiswa dalam pergaulan tersebut mampu meredam sikap-sikap anak muda yang liar. Kenakalan cenderung menjadi kreativitas. Tampil nyeni adalah sebuah ukuran ke-keren-an pada masa itu.
Namun apa yang terjadi dalam ruang-ruang tersebut ketika regenerasi subjek yang ada di dalamnya tersendat. Ruang tersebut hilang. Tokoh-tokoh di dalam ruang-ruang tersebut akhirnya menemukan komodifikasi produk kreatifnya.
Secara naluriah, kesenian mereka bergerak maju dan berkembang ke arah yang eksklusif. Tidak lagi bisa hadir sebagai ikon atau pionir ruang-ruang tersebut. Sederhananya, pergaulannya sudah maju dan elite. Tidak lagi srawung ke kampung.
Masyarakat kampung pendukung ruang tersebut juga tidak beregenerasi dengan baik. Mereka menjadi tua dan mapan secara kejiwaan. Sementara generasi baru yang muncul berikutnya lantas kehilangan ruang tersebut. Bersamaan dengan kampus yang makin mahal dan eksklusif.
Mahasiswa menjadi lebih tidak heterogen karena cenderung berasal dari kelas yang sama. Ruang-ruang seni yang awalnya sederhana telah menemukan komodifikasi dan turut pula menjadi eksklusif. Misalnya dalam musik, ruang seni (lantas populer disebut indie) hari ini berisi anak-anak kampus yang mampu mengonsumsi “kopi dan senja”, serta piringan hitam. Anak-anak muda kampung non kuliah dengan minat dan bakat musik, tidak bisa mengakses lingkaran pergaulan itu lalu tertarik ke dalam pengaruh klitih.
Seni corat-coret tembok juga lalu menjadi eksklusif dengan kehadiran kurator-kurator galeri elite yang menuntut narasi intelektual dalam karyanya. Remaja kampung yang tidak kuliah mana paham dengan isu-isu artsy yang seksi kalau tidak diajari.
Bakat-bakat seni rupa remaja abakura tidak lagi menemukan persemaian di galeri-galeri elite dan wangi yang tidak bisa mereka masuki. Event dan festival seni yang megah juga semakin menuju ke arah seni modern kontemporer yang hanya menyisakan sedikit ruang bagi kaum-kaum non intelektual. Walaupun dalam event dan festival itu terdapat program-program, yang kadang mesti susah payah diagendakan dan dipaksakan, untuk menampung aspirasi karya dari golongan “liyan” (orang-orang yang tidak sepergaulan dan sepemikiran dengan seniman modern). Rakyat jelata warga kampung dan rakyat jelita warga seni intelek modern makin berjarak.
Pada akhirnya, generasi baru remaja kampung memisahkan diri. Mungkin, ruang ekspresi di Jogja yang tersedia bagi mereka hanya tersisa di jalanan. Tempat mengaktualisasi diri dan menampilkan gejolak mudanya.
Perenungannya sampai di sini, jangan-jangan ketiadaan ruang seni sederhana sebagai ruang ekspresi remaja kampung Jogja ini yang turut melahirkan klitih?
Mungkin ini salah saya juga sebagai pelaku seni yang juga penyelenggara ruang seni yang abai dengan mereka. Tentu saja ini hanya sekelibat pendapat dari aspek ruang seni budaya di Jogja. Mungkin penyebab klitih tidak melulu dari hal itu, dan lebih kompleks dari sekadar esai ini. Kamu pembaca, mungkin juga lantas introspeksi atas maraknya klitih ini, jangan-jangan kita (dan kehidupan kita masing-masing) lalai memberikan ruang kepada remaja Jogja?
Seperti mungkin para sastrawan dan media massa juga lalai memberikan ruang bagi penulis-penulis muda (non mahasiswa) di Jogja. Siapa tahu dengan dilatih nulis, mereka jadi sibuk nglembur ngetik di rumah, hingga lupa pada motor dan klewang-nya untuk klitih.
BACA JUGA Klitih di Jogja Makin Bajingan, Awas Amukan Warga dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Paksi Raras Alit
Editor: Yamadipati Seno