MOJOK.CO – Sampai tulisan ini dibuat, klitih di Yogyakarta dan sekitarnya belum punya solusi. Beranikah kita menggolongkannya sebagai aksi terorisme?
Perbuatan klitih di Yogyakarta dan kota sekitarnya tidak bisa ditolelir. Menurut saya, perbuatan tersebut masuk ke kategori extraordinary crime atau kejahatan luar biasa.
Klitih, sejatinya, tidak lazim dilakukan manusia, apalagi termonitor pelakunya tergolong masih muda. Klitih telah meninggalkan jejak yang sangat buruk. Mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah. Akibatnya, rasa takut, resah, was-was, dan selalu merasa terancam muncul. Padahal, semua orang punya the right to life.
Seperti yang kita sama-sama pahami, istilah klitih telah mengalami pergeseran makna. Awalnya dikenal sebagai kegiatan santai, jalan-jalan happy, sekarang menjadi perbincangan sebagai tindakan kejahatan yang disengaja, dibarengi perasaan “riang gembira” dan “tidak merasa berdosa”. Pendek kata, gembira atas penderitaan orang lain. Faktanya demikian.
Rasa aman dan kenyamanan orang yang berada di Yogyakarta terganggu. Nama Yogyakarta sendiri tercoreng secara sempurna.
Klitih menyasar secara acak. Beberapa tertangkap, lebih banyak yang lolos dan tidak ada tanggung jawab terhadap korban. Saya sendiri menjadi saksi dari penderitaan korban.
Pengalaman merawat korban klitih
Namanya Aldi, bukan nama sebenarnya. Dia adalah santri dari Pesantren Ali Maksum Krapyak, Panggungharjo, Yogyakarta. Setengah tahun yang lalu, tiba-tiba, dari lehernya mengalir darah segar yang mengotori kemejanya. Awalnya Aldi tidak sadar. Dia baru tahu setelah penjaga warung burjo melihat dan memberitahunya.
Singkatnya begini. Aldi orangnya pendiam, suka belajar di malam hari, tepatnya tengah malam. Selain itu, dia rajin sekali salat malam. Di malam nahas itu, dia mengaku lapar.
Sehabis salat, dia bergegas keluar pondok menuju warung burjo. Jarum pendek di jam dinding menunjuk angka dua, sedangkan jarum panjang ada di angka 14. Jam segitu, selain angkringan, yang masih bisa buka memang warung burjo.
Jarak tempat tinggal Aldi (di pondok) ke Burjo, kurang lebih 250 meter. Dari pondok, menuju arah barat, keluar gang menuju selatan jalan utama arah bangunan bersejarah yang terkenal dengan nama Kandang Menjangan.
Di pondok dan bangunan Kandang Menjangan ada tugu kecil sebagai batas teritori Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Tak jauh dari tugu itulah keberadaan warung Burjo yang buka 24 jam, tepatnya di barat jalan. Memang tempatnya agak kecil, jika tak fokus mencari, kamu akan kesulitan menemukannya.
Aldi terlihat dari utara sendirian malam itu. Dia berjalan di tepi jalan bagian timur. Terlihat jelas dari utara ada empat orang naik dua motor berboncengan. Karena di sepanjang jalan utama, jadi penerangannya lumayan bagus.
Terlihat jelas pula, saat hendak sampai di posisi Aldi berjalan, satu motor yang di depan jalannya agak mepet ke Aldi. Setelah melewati Aldi, terdengar tawa keras dari tiga orang yang beda.
Sesampainya di warung burjo, kita salaman dan saling sapa. Aldi adalah adik dari teman akrab saya saat masih sama-sama mondok di Pesantren al Munawwir Krapyak, Bantul, Yogyakarta.
Posisi Aldi ada di belakang saya sata hendak masuk warung burjo. Kami sama-sama baru sampai. Lantaran pintu warung burjo itu kecil, jadi ada antrian kecil bagi pelanggan yang ingin mencari tempat duduk. Setelah saya duduk, baru Aldi masuk.
Saat itulah, penjaga burjo memberi tahu kalau ada darah mengalir ke baju Aldi. Aldi terlihat bingung sesaat. Setelah melihat darahnya, dia meraba dari mana asal darah itu.
Ternyata darah itu keluar dari leher bagian belakang agak kanan. Darah keluar karena kulit terbelah dengan panjang sekitar tujuh sampai 10 sentimeter.
Saya bergegas melihat lukanya. Untung tidak dalam, tapi lumayan mengucurkan darah agak deras. Untuk sementara, luka tersebut saya balut dengan tisu sembari nunggu Betadin datang. Salah satu pelanggan burjo inisiatif membelikan Betadin di sebuah warung kecil yang dijaga ibu-ibu.
Banyak pertanyaan muncul. Aldi kena apa? Kenapa bisa? Dan banyak lagi pertanyaan dan spekulasi yang dibuat orang-orang yang kebetulan ada di sana.
Aldi sendiri masih bingung dan tidak bisa menjawab. Namun, dia berujar kalau dari kamar pondok, kondisiya baik-baik saja. Dia juga tidak merasa menabrak atau kena benda keras. Dia merasa agak pening setelah melihat darah mengalir. Saat itu, belum ada kesadaran kalau Aldi jadi korban klitih.
Setelah yang beli obat datang, saya mencoba ikut membantu membersihkan lukanya. Saya beru beberapa tetes Betadin lalu ditutup dengan Handyplast. Aldi menahan rasa sakit dengan rintihan kecil. Setelah itu bajunya mulai dibersihkan sebisa mungkin. Saat membersihkan baju, ada sedikit petunjuk. Ada beberapa untaian rambut nyangkut di baju yang terkena darah.
Aldi memegang dan memandangi rambut tersebut. Kemudian mulai agak ada kecurigaan. Kebetulan saya berdiri di samping kanannya, membantu melihat rambut itu.
Dan benar, setelah dilihat dengan cermat, rambut Aldi yang agak gondrong sedikit bagian pojok kanan ada bekas teriris. Baru Aldi sadar dengan kejadian sebelum dia sampai di warung burjo. Dia baru sadar, ketika berjalan, seperti ada benda berkilau seperti pisau kecil yang digenggam orang yang dibonceng motor tadi, belakangnya ada motor lagi, juga berboncengan.
Cerita Aldi ini cocok dengan apa yang saya lihat dari arah selatan saat berjalan menuju burjo. Ada dua motor berboncengan dan setelah melewati Aldi, terdengar mereka tertawa.
Dari obrolan itulah, muncul celetukan “klitih itu” dari orang yang kami tidak kenal. Sembari dia menceritakan ulah klitih di beberapa tempat lainnya, beberapa di antara kami di warung burjo mengaku tidak tahu perkembangan info tentang klitih tersebut.
Mengumpulkan informasi terkait klitih di Yogyakarta
Baru beberapa hari kemudian, makin banyak info terkait klitih yang saya dapat. Tak hanya korban luka, ada korban meninggal juga.
Dari cerita di atas dan beberapa informasi perkembangan klitih yang saya dapat, salah satu kata yang sering disebut antara lain, “biadab”, “keji”, dan “jauh dari akhlak”. Bertolak belakang dengan adat budaya masyarakat Indonesia, yaitu tolong-menolong, menghargai, dan mengsihi. Saking biadabnya, mereka justru gembira. Merasa puas dan sukses jika sudah mencelakai orang lain.
Dari informasi yang saya kumpulkan, klitih adalah geng anak muda yang mana sudah sama-sama kita ketahui. Ada juga yang mengatakan geng motor dan geng sekolah tertentu.
Secara berjamaah, mereka keluyuran di malam hari mencari tempat sepi. Tapi itu dulu. Akhir-akhir ini, mereka berani beraksi di tempat yang ramai juga.
Sebetulnya, ketika beraksi, yang menjadi eksekutor hanya satu atau dua orang. Tidak semuanya. Lainnya hanya menemani, menyaksikan, dan menjadi saksi eksekutor.
Jika eksekutor berhasil melukai orang lain, dianggap telah lulus ujian masuk anggota geng, ungkap salah satu anggota geng yang tertangkap. Informasi ini saya dapat dari seseorang bernama Catur, anggota TNI yang bertugas di Korem Jetis, Yogyakarta.
Ada juga eksekutor bukan anggota baru melainkan senior. Tujuannya untuk edukasi juniornya atau untuk menjabat pimpinan teritori wilayah tertentu, jelas Budi (nama samaran), anggota Polsek Depok, Sleman. Ini menjadi antitesis kalau aksi yang dilakukan klitih tanpa tujuan tertentu, ancaman bersifat spontanitas tanpa perencanaan, dan seakan tanpa pesan.
Klitih layak dikategorikan sebagai aksi terorisme
Kalau ditelisik lebih, aksi klitih itu terencana betul. Mereka punya pimpinan walaupun tidak formal. Mereka punya tujuan, walaupun ala kadarnya saja. Pada kasus klitih di atas, terlihat di awal mereka sudah mempersiapkan diri dengan membawa senjata tajam, beroperasi di tempat sepi, dan berkelompok.
Dalam kaca mata etimologi teror, klitih sama seperti aksi teroris. Mereka menciptakan rasa takut, membangkitkan kecemasan bagi orang lain, dan selalu kejam oleh seorang atau golongan terhadap orang lain. To fill with dread or terror, terrify. Mereka mengisi aksi dengan rasa takut, teror, rasa ngeri, dan menciptakan rasa takut.
Merujuk rumusan terorisme sesuai Convention of The Organization of The Islamic Conference on Combating International Terrorism (1999) bahwa teroris itu suatu tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan, terlepas dari motif atau niat untuk menjalankan rencana jahat, baik personal atau kolektif dengan tujuan mencelakakan orang lain, mengancam kehidupan, kehormatan, kebebasan, dan keamanan.
Oleh sebab itu, menurut saya, aksi klitih bisa digolongkan dalam kategori pelanggaran berat (extraordinary crime). Alasannya, klitih sudah termasuk kejahatan yang bertentangan dan bertujuan mencederai rasa kemanusiaan secara mendalam, dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan.
Bayangkan, orang tidak tahu apa-apa dilukai, orang ingin kebebasan dan aman dirampas, sehingga takut, was-was keluar malam, apalagi melintas di jalan yang sepi. Nyawa taruhannya.
Biasanya, aksi teror atau teroris ada misi yang dibawa untuk kepentingan sendiri dan kelompok. Klitih juga terlihat demikian.
Misinya tidak hanya memberi rasa takut, merasa hebat, dan kuat. Lain itu, jika ditarik pada persoalan keadilan lebih dalam lagi, aksi klitih seperti menggugat rasa ketidakadilan yang diterima.
Beberapa pelaku klitih memang berasal dari keluarga berada dan mendapat kasih sayang yang penuh dari orang tua. Namun, karena anggota geng klitih disinyalir dari banyak kalangan, tentunya varian masalah juga berbeda-beda dan kompleks.
Banyak juga dari pelaku sudah merasakan ketidakadilan hidup tanpa kasih sayang karena berasal dari broken home. Ada juga yang rindu akan kasih sayang karena ditinggal orang tua meninggal. Beberapa merasakan ketidakadilan karena mendapatkan pekerjaan dengan upah dan jaminan layak. Ditemukan juga ketidakadilan di sekolah dan ketidakadilan lain.
Yang terpenting, teror klitih membawa pesan akan lemahnya keamanan di Yogyakarta. Baik dari sisi jaminan sosial sampai keamanan lingkungan.
Memang, ada beberapa perbedaan antara teror klitih dengan teroris. Pertama, geng klitih diisi generasi muda dengan latar masalah beda. Sementara itu, teroris berisi kelompok usia mapan berpikir. Kedua, muatan klitih baru bersifat life style, sedangkan teroris bermuatan kepentingan politik besar.
Ketiga, klitih minim dana dan dukungan, sedangkan teroris sokongan dananya lebih besar. Keempat, arah ketetapan output klitih sulit dibaca, cenderung dibaca sebagai aksi spekulasi, sedangkan teroris yang ada selama ini mudah dipetakan.
Walaupun demikian, aksi klitih bukan teror biasa. Untuk penanganannya, harus menggunakan pendekatan luar biasa (extraordinary measure).
Izinkan saya menjelaskan:
- Klitih adalah satu kejahatan yang menciptakan bahaya terhadap hak hidup manusia (the right to life).
- Targetnya acak atau indiscriminate, cenderung korbannya orang-orang tak bersalah.
- Sudah menggunakan senjata, walaupun kapasitasnya masih senjata tajam (sajam). Namun, ada potensi menggunakan senjata lebih modern jika punya akses dan kesempatan.
- Potensi sebagai embrio geng-geng atau kelompok lain, baik di Yogyakarta sendiri maupun berpotensi melebar ke daerah lain.
- Mengancam keamanan dan stabilitas wilayah. Jika dibiarkan, berpotensi punya jejaring yang kuat dan besar.
Sekilas, terlalu berlebihan memasukkan klitih sebagai extraordinary crime. Tetapi perlu diingat, anggota klitih adalah anak muda penerus bangsa. Jika tidak ditanggapi serius, generasi anak bangsa akan terjangkiti virus kejahatan kemanusiaan.
Toh buktinya hingga saat ini, klitih belum teratasi secara maksimal dan masih menjadi ancaman masyarakat, khususnya penduduk asli Yogyakarta dan masyarakat pendatang. Jadi, penanganan teror klitih tidak lagi hanya urusan aparatur pemeritah, tetapi urusan seluruh elemen masyarakat. Harus sinergi, cepat, dan tepat.
BACA JUGA Klitih Subur karena Ketiadaan Ruang Seni untuk Remaja Kampung Jogja dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Badruddin
Editor: Yamadipati Seno