Siapa yang berhak mengelola sumbangan?
Sebagai warga negara, kita kerap dibuat celaka, dibuat menderita, dan dibohongi. Sebelumnya kita semua masih ingat organisasi filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang pernah jadi perbincangan publik karena besarnya gaji pejabat, biaya operasional, hingga dugaan penyalahgunaan dana kemanusiaan.
Gaji seorang pimpinan di ACT bisa mencapai puluhan juta hingga di bawah 100 juta. Asumsinya aduhai betul, untuk presiden yang mengelola 1.200 karyawan, angka tersebut dianggap wajar. Bahkan pada satu titik, petinggi ACT bisa mendapatkan gaji sebesar Rp250 juta untuk posisi presiden. Meski kemudian medio Desember 2021, ACT memutuskan mengurangi gaji akibat kondisi keuangan yang tidak stabil. Mereka hidup dari sumbangan warga!
Asalnya dari mana? Konon sih dalam lembaga zakat, secara syariat dibolehkan 1/8 atau 12,5 persen dari total donasi yang terkumpul secara umum. Sayangnya ACT sempat melewati batas dari aturan syariat sebesar ⅛ atau 12,5%, kemudian mereka berdalih bukanlah lembaga zakat melainkan filantropi umum di mana tidak hanya zakat yang dikelola lembaga tersebut.
Tapi bayangkan begini. Siapa yang boleh dan berhak mengelola dana sumbangan dan apakah dana sumbangan tersebut harus dikelola sesuai keinginan penyumbang? Maksud saya, saat kamu memberi uang kepada pengemis, dengan harapan dia akan menggunakannya untuk makan, lantas si pengemis tadi menggunakan uangmu untuk membeli es kopi susu. Apakah kemudian sedekahmu terhalang pahala atau fungsinya?
Perkara sentimen personal akan sosok Livy Renata
Dalam konteks Livy Renata, ya jelas dia nggak butuh duit kita. Jika mau membeli Mercedes-Benz S-Class dari duit pribadi bukan masalah untuknya. Tapi di sisi lain, seseorang yang terpojok, tersudut, barangkali harus menipu dan mencuri untuk bisa bertahan dari kejaran utang dan kebutuhan harian. Mana yang lebih genting dibantu?
Ya, sebenarnya nggak masalah juga, uang itu ya hak kalian. Mau dipake buat Trakteer artis kaya raya, nyumbang korban pinjol lewat Kitabisa, atau menghidupi direktur organisasi amal hidup mewah. Cuma kita meluruskan niat, menyumbang untuk amal terhadap orang lain terlepas kebutuhan mereka, atau ingin mengatur hidup orang lain melalui sumbangan kita.
Kadang sumbang-menyumbang itu perkara sentimen personal. Cantik atau jelek, miskin atau kaya, bukan berdasarkan prioritas kebutuhan. Dulu pernah ada seorang mahasiswa Ivy League asal Indonesia yang minta sumbangan untuk kuliah. Jelas dia butuh dibantu, tapi apakah tidak ada orang lain yang lebih membutuhkan?
Beberapa dari kita bisa jadi keblangsak, merasa dekat, dan relate dengan orang kaya raya. Makanya banyak dari kita akan menyumbang dengan mudah kepada mereka yang sebenarnya mampu.
Namun, banyak juga dari kita yang bakhil dan pelit perihal menyumbang orang miskin. Jadi, ini semua soal obsesi dan imajinasi merasakan kekayaan artis sehingga jadi buta, atau hanya ingin pamer? Atau ada sebuah persaingan akan sebuah brand yang tidak kita sadari?
Penulis: Arman Dhani
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Memanfaatkan Empati Publik, Menjadi Pengemis (Kapitalis) Gaya Baru dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.