Hanya Kiamat yang Mampu Menghapus Eksistensi Mahasiswa Geografi

Mahasiswa Geografi akan menjadi Sang Avatar, yang menguasai elemen air, tanah, udara, dan api.

Hanya Kiamat yang Mampu Menghapus Eksistensi Mahasiswa Geografi MOJOK.CO

Hanya Kiamat yang Mampu Menghapus Eksistensi Mahasiswa Geografi MOJOK.CO

MOJOK.COMahasiswa yang sedang mendalami ilmu geografi harus bersyukur. Mereka sedang dan akan selalu dibutuhkan selama dunia belum kiamat.

Tempo hari dunia maya diramaikan oleh perdebatan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) versus Greenpeace Indonesia terkait pidato Presiden Joko Widodo pada konferensi internasional perubahan iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia. Perdebatan yang sebetulnya bisa didamaikan mahasiwa Geografi. Kaum terpelajar yang bakal selalu dibutuhkan kecuali kiamat terjadi.

Dalam pidatonya, Pak Jokowi menyampaikan bahwa deforestasi di Indonesia pada tahun 2019-2020 (115,5 ribu ha) adalah yang terendah dalam 20 tahun terakhir. Greenpeace “menyanggah” pernyataan tersebut dan menyampaikan bahwa deforestasi di Indonesia justru meningkat dari sebelumnya, yaitu 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019).

Jadi, pernyataan mana yang benar?

Kalau Anda lihat dan amati datanya KLHK tentang tingkat deforestasi di Indonesia tahun 1990-2020, apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi maupun Greenpeace itu dua-duanya benar. Tidak ada yang salah, coba saja ambil kalkulator dan jumlahkan. Tapi kok warganet pada geger? Wah lha YNTKTS.

Padahal pertanyaan yang lebih penting dan seharusnya muncul alih-alih berdebat tentang pernyataan siapa yang benar adalah bagaimana cara memperoleh data tersebut dan bagaimana tingkat akurasinya?

Kalau mau contoh pertanyaan yang lebih detail, dapat dimulai dengan: data geospasial yang digunakan apa saja, tahun perekaman kapan, dan ia mempunyai resolusi spasial berapa? Citra satelitnya sudah terkoreksi atau belum? Teknik interpretasi data geospasialnya bagaimana? Atau bisa juga tanya tentang cara pemilihan sampel dan metode validasi di lapangan seperti apa? Itu baru namanya memulai diskusi, tidak hanya sekadar memancing kiamat kecil berupa keributan.

Memang sih, pertanyaan tersebut tidak bakalan muncul dari sembarang orang. Hanya kaum yang mempelajari ilmu geografi dan ilmu kebumian secara kafah yang akan menanyakan pertanyaan mendetail terkait data geospasial. Pertanyaan-pertanyaan tadi juga tidak akan keluar dari golongan yang berpendapat bahwa belajar geografi itu nggak penting karena sudah ada Google Maps.

Lho, sebentar. Jadi geografi itu nggak sekadar menghafalkan nama ibu kota negara, bencana alam yang kerap dianggap kiamat kecil, dan warna bendera? Terus kok ada data geospasial segala? Itu makanan apa?

Wah ini. Pelanggaran dan perlu diberi kartu kuning.

Gini, geografi itu mempunyai objek kajian yang lebih luas. Ia tidak hanya mempelajari aspek fisik wilayah, lingkungan, maupun keruangan saja, tapi juga mengkaji tentang interaksi manusia dengan lingkungannya. Tidak hanya di Bumi saja, tapi juga di planet lain, seperti Mars dan Venus misalnya.

Mahasiswa yang mendalami ilmu geografi sejak awal sudah dibentuk untuk menjadi manusia yang ora kagetan lan ora gumunan serta selalu diajarkan untuk berpikir mendalam ketika melihat atau menghadapi situasi maupun fenomena tertentu yang terjadi di sekitarnya. Mereka juga sangat paham akan prinsip uniformitarianisme: the present is the key to the past (and the key to the future).

Makanya, mereka adalah orang yang tidak mudah tergoda saat membeli tanah atau rumah. Banyak pertimbangan yang mereka gunakan selain faktor uang, seperti kenampakan fisik lahan, sejarah dan potensi bencana, kandungan airtanah, toponimi, atau jarak dari sungai. Golongan terpelajar yang akan selalu dibutuhkan kecuali terjadi kiamat di Bumi ini.

Mereka adalah golongan yang tidak mudah terkena hoaks di grup WhatsApp keluarga tentang prediksi gempa bumi, gunung meletus, atau tsunami. Mereka sudah sangat tahu bahwa hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi dengan tepat dan akurat tentang kapan dan di mana peristiwa alam tersebut akan terjadi.

Mereka juga tahu kalau sebenarnya nggak ada masalah pergi ke pantai selatan Jawa memakai baju hijau selama tidak berada di dekat lokasi arus retas (rip current). Mereka pula yang ketika ditanyai alamat oleh orang akan menjawab dengan membagikan data dan informasi geospasial berupa koordinat XYZ dan tidak hanya sekadar memberikan ancer-ancer: setelah pasar ada pertigaan lalu ke timur mentok, rumah pagar hijau… kesuweeeeen….

Mahasiswa geografi memang sudah sangat akrab dengan yang namanya data geospasial alias data yang berisi lokasi geografis, dimensi atau ukuran, dan/atau karakteristik objek alam maupun buatan manusia yang ada di Bumi dan alam semesta ini. Jape methe lah kalau kata orang Jogja.

Data, termasuk data geospasial, tanpa kita sadari sudah menjadi kekuatan baru, baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Definisi negara yang kuat dan maju saat ini tidak lagi hanya didasarkan pada siapa yang mempunyai anggaran militer paling banyak, misalnya. Tetapi negara yang kuat adalah ia yang menguasai data, informasi, dan teknologi geospasial atau aspek keruangan.

Informasi geospasial saat ini telah menjadi ladang bisnis yang besar, seperti kehadiran Google Maps dan Google Earth, serta telah memicu tumbuhnya banyak bisnis baru yang berbasis peta dan daring, seperti Gojek, Grab, Shopee Food.

Presiden Jokowi juga pernah menyampaikan dalam pidatonya di puncak peringatan Hari Informasi Geospasial ke-52 tentang pentingnya pengetahuan Sistem Informasi Geografis, Geospatial Artificial Intelligence, dan Geo-Big Data kaitannya dengan pemetaan sumber daya alam dan kondisi lingkungan yang dimiliki oleh Indonesia. Salah satu contohnya tentu saja terkait pemetaan dan analisis tingkat deforestasi di Indonesia.

Presiden juga mendorong dan menekankan pentingnya kedaulatan data dan informasi geospasial yang lengkap, berkualitas, dan akurat untuk membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih akurat, mudah, cepat, dan efisien melalui gerakan satu peta, satu data, satu Nusantara. Tentu saja untuk mencapai semua itu dibutuhkan sumber daya manusia yang andal dan kompeten dalam bidang ilmu geografi.

Makanya, bersyukurlah kalian wahai para mahasiswa yang sedang, akan, dan sudah menekuni ilmu geografi secara kafah, karena kalian akan menjadi Sang Avatar yang menguasai empat elemen: air, tanah, udara, dan api. Percayalah, selama belum terjadi kiamat di Bumi, dunia masih membutuhkan geograf.

Maka hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Wallahu’alam.

BACA JUGA Pentingnya Ilmu Geografi untuk Tentukan Lokasi Rumah Saat Akan Membelinya dan tulisan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version