Salah Sangka soal Isbal, Celana Cingkrang, dan Ironi Kesombongan

Salah Sangka soal Isbal, Celana Cingkrang, dan Ironi Kesombongan

Salah Sangka soal Isbal, Celana Cingkrang, dan Ironi Kesombongan

MOJOK.COIsbal berarti memanjangkan pakaian sampai ke mata kaki. Salah satu kampanye ini terstigma buruk bagi mereka yang pakai celana cingkrang.

“Gus Mut apa nggak khawatir dengan Pak Dadang samping rumah Mas Is itu?” tanya Fanshuri sambil menjalankan bidak caturnya.

“Khawatir kenapa?” tanya Gus Mut, masih menahan laju bidaknya.

“Dua hari kemarin ini ada yang aneh tahu, Gus,” kata Fanshuri.

“Aneh gimana?” kali ini Gus Mut menyeruput kopi.

“Saya perhatikan, Gus, Pak Dadang itu mulai berbeda cara pakaiannya,” kata Fanshuri.

Gus Mut masih bingung. “Ma, maksudnya?”

Tiba-tiba Fanshuri memajukan kepalanya ke Gus Mut, lalu berbisik lirih seolah-olah tembok teras rumah Gus Mut itu ada telinganya dan sedang menguping mereka berdua.

“Celananya cingkrang, Gus,” bisik Fanshuri.

Gus Mut mendadak diam, bukan terkejut soal informasi yang diberikan Fanshuri, tapi tidak mengerti dengan maksud rentetan kata-kata Fanshuri.

Fanshuri coba mengulangi sambil berdiri dan menunjuk mata kakinya sendiri.

“Celana cingkrang, Gus, kemakan kampanye bahaya isbal. Jadi aliran keras sekarang dia, Gus,” kata Fanshuri tampak hati-hati.

Tiba-tiba terdengar suara tawa keras sekali dari Gus Mut. Saking kerasnya tawa Gus Mut, Fanshuri celingak-celinguk memperhatikan sekitar, khawatir ada orang lain yang mendengar mereka berdua.

“Kok Gus Mut malah ketawa sih,” kata Fanshuri.

Gus Mut masih coba mengendalikan diri, sambil mencoba untuk tenang.

“Sori, Fan, sori. Kamu itu tahu dari mana Pak Dadang jadi aliran keras? Cuma karena pakai celana cingkrang itu?” tanya Gus Mut memastikan.

Fanshuri kaget.

“Lah, emang apalagi, Gus?” tanya Fanshuri.

Gus Mut kali ini geleng-geleng kepala sambil tetap menahan tawa.

“Ta, tapi, Gus,” Fanshuri melanjutkan, “kampanye bahaya isbal itu ada di mana-mana lho, dan itu jadi tanda makin mengkhawatirkan karena tetangga kita sendiri ada yang ikut terseret.”

Gus Mut kali ini tersenyum.

“Emang kampanye bahaya isbal gimana yang kamu dengar, Fan?” tanya Gus Mut.

Fanshuri lalu menunjukkan salah satu postingan di media sosial, di sana ada kampanye soal keharaman isbal dan ancaman masuk neraka bagi yang masih alpa melakukannya.

“Masak iya hanya karena menjulurkan pakaian sampai di bawah mata kaki, seorang muslim bisa diancam masuk neraka oleh sesamanya. Ini kan aliran keras dari kelompok celana cingkrang itu, Gus,” kata Fanshuri.

“Kamu tahu nggak riwayat isbal itu?” tanya Gus Mut.

“Ya tahu dong, kan Gus Mut dulu pernah cerita,” kata Fanshuri.

“Gimana emang?”

“Isbal itu kan artinya menjulurkan pakaian sampai ke bawah mata kaki. Ini terkait sama lambang kebiasaan orang-orang jahiliyah. Status kekayaan orang zaman itu dipandang dari pakaiannya yang berumbai-rumbai, panjang, sampai menyentuh tanah. Abu Jahal sering pakai pakaian kayak gitu, tapi orang-orang miskin Mekah pada nggak pakai pakaian itu, termasuk Nabi Muhammad dan beberapa sahabat,” jelas Fanshuri.

“Artinya?” tanya Gus Mut.

“Artinya, bahaya isbal itu muncul karena adanya kesombongan sebab memakai pakaian yang menyeret ke tanah-tanah gitu,” tambah Fanshuri.

“Iya, betul,” jawab Gus Mut.

“Nah, masalahnya ya, Gus, orang-orang celana cingkrang itu sekarang malah memakainya sebagai bentuk kesombongan yang lain. Merasa lebih kaffah, merasa lebih benar, bahkan sampai berani mengancam-ancam sesama saudara seimannya masuk neraka. Itu kan lucu, bahaya isbal itu kan bahaya dalam wujud kesombongannya, lah kok sekarang menghindari isbal malah jadi kesombongan yang baru,” kata Fanshuri.

“Oke, terus?” kata Gus Mut.

“Terus, kenapa tadi Gus Mut ketawa kalau saya khawatir sama mereka yang kampanye bahaya isbal dan orang-orang celana cingkrang?” tanya Fanshuri.

Gus Mut tersenyum.

“Oh, itu. Aku itu ketawa karena kamu menganggap mereka yang bercelana cingkrang pasti aliran keras. Itu aku udah nggak bisa nahan ketawa lagi, Fan. Maaf ya,” kata Gus Mut yang sekarang gantian cengengesan.

“Lah emang bukan? Kan salah satu ciri-ciri mereka yang radikal atau aliran keras itu celana cingkrang,” kata Fanshuri.

“Kamu tahu nggak kenapa Pak Dadang pakai celana cingkrang akhir-akhir ini?”

“Emang kenapa, Gus?” taya Fanshuri.

“Itu karena disuruh Bapak,” kata Gus Mut merujuk ke Kiai Kholil, bapaknya Gus Mut sekaligus tokoh agama setempat.

“Hah? Masak Kiai Kholil kampanye bahaya isbal sih, Gus?” Fanshuri bukannya makin tenang, tapi makin khawatir lagi karena baru tahu bapaknya Gus Mut malah biang kerok dari kampanye budaya celana cingkrang di kampungnya sendiri.

“Ja, jadi Kiai Kholil? Bapak panjenengan, Gus?” Fanshuri kaget luar biasa.

Kali ini Gus Mut mau tertawa lagi, tapi sudah bisa ditahan.

“Kamu jangan salah sangka dulu. Pak Dadang itu kan lagi dapat kerjaan ngurus kandang sapi di belakang sungai sana dua mingguan ini. Nah, karena bergumul sama hewan ternak, Pak Dadang itu jadi suka ribet sendiri, ya maklum kan Pak Dadang ini suka sarungan dari dulu.”

Fanshuri menyimak dengan serius.

“Lalu ketimbang ribet, sama Bapak dikasih tahu mending pakai celana aja yang agak pendekan, tapi ya kalau bisa ya yang di bawah lutut ya. Akhirnya Pak Dadang pakai itu celana tiga per empat. Cuma karena mungkin Pak Dadang itu orangnya—maaf—agak pendek, celana yang dia pakai jadi kayak gitu,” kata Gus Mut.

Fanshuri melongo.

“Dan ndilalah, celana yang garis bawahnya di bawah lutut itu, kamu menafsirkannya celana di atas mata kaki. Terus gara-gara kamu punya stigma soal radikal-radikal itu sama celana cingkrang jadinya tafsirmu ke mana-mana, Faaan,” kata Gus Mut sambil berusaha menahan tawa.

Mendengar itu Fanshuri cengengesan.

“Howalah, begitu to,” kata Fanshuri.

“Artinya, pakaian yang sama pun itu wujud tafsirnya bisa berbeda, Fan. Jangankan soal isbal yang bisa dimaknai kesombongan, atau menghindari isbal yang bisa juga terjerumus ke kesombongan, soal celana tiga per empat sama celana cingkrang aja bisa beda tafsir. Itu semua tergantung kamu ngukurnya dari atas mata kaki atau dari bawah lutut,” kata Gus Mut masih sambil terkekeh.

Fanshuri cuma garuk-garuk kepala mendengarnya.

“Beda tafsir itu tidak apa-apa, yang penting jangan menuduh macam-macam tanpa bukti, Fan,” kata Gus Mut.

“Kayak kelompok celana cingkrang yang di luar sana ya, Gus?” kata Fanshuri.

“Hah? Lho, bukan, justru yang aku khawatirkan itu kelakuan kayak kamu yang barusan itu. Menepuk air, terpecik muka sendiri. Nuduh yang celana cingkrang itu radikal, kamu sendiri nggak sadar sedang radikal juga karena nempelin stigma sembarangan,” kata Gus Mut.

“Lah kok jadi saya, Gus?” Fanshuri heran.

“Kamu ‘nyerang’ orang-orang kampanye soal bahaya isbal itu juga mesti hati-hati, Fan,” kata Gus Mut.

“Kok hati-hati?” kata Fanshuri.

“Ya hati-hati, soalnya mungkin aja justru kamu yang sedang bersikap sombong dengan meremehkan ketaatan orang-orang kayak gitu. Jangan sampai sikapmu tadi itu malah jadi ironi kesombongan. Kamu tuduh mereka sombong, tanpa sadar kamunya sendiri yang sombong,” kata Gus Mut.

Fanshuri cuma tersenyum getir, sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.

BACA JUGA Ribetnya Jadi Perempuan Bercadar atau kisah-kisah Gus Mut lainnya. 

Exit mobile version