Puncak Keimanan Adalah Keindahan bukan Cuma soal Kebenaran

Ekspresi keimanan seseorang kalau hanya berkutat pada hasrat untuk menyebarkan kebenaran akan cenderung keras dan kaku seperti kanebo.

Puncak Keimanan Adalah Keindahan bukan Cuma soal Kebenaran

Ilustrasi Puncak Keimanan Adalah Keindahan bukan Cuma soal Kebenaran (mojok.co/ega fansuri)

MOJOK.COMenularkan keimanan atau mendakwahkan agama punya dua cara. Memakai narasi kebenaran atau dengan cara menunjukkan keindahan.

“Akhirnya, Gus. Orang yang merusak sesajen dan viral kemarin ketangkep polisi. Katanya mau diproses hukum, mau dipenjara kayaknya,” kata Fanshuri ke Gus Mut.

“Waduh, kok akhirnya ditangkap ya?” kata Gus Mut terkejut.

“Kok ‘waduh’, Gus? Bukannya harusnya Gus Mut seneng ya?” kata Fanshuri.

“Kenapa harus seneng?” Gus Mut bertanya.

“Ya kan orang ini sudah berlaku semena-mena terhadap keyakinan orang lain. Dan berisiko memancing kerusuhan besar. Apa artinya ini Gus Mut malah mendukung keimanan orang ini ya?” kata Fanshuri.

Gus Mut terkekeh.

“Iya saya mendukung keimanan orang itu,” kata Gus Mut.

“Allah ya karim, serius, Gus? Gus Mut mendukung ekspresi keimanan model begini? Yang melecehkan keyakinan orang lain begini?” Fanshuri terkejut.

“Wah, kalau soal itu aku tidak mendukung,” kata Gus Mut.

Fanshuri bingung.

“Gus Mut ini gimana sih, kok jadi mencla-mencle?”

Gus Mut kembali terkekeh.

“Tolong dibedakan, Fan,” kata Gus Mut.

“Dibedakan gimana maksudnya, Gus?”

“Dibedakan antara keimanan dengan ekspresi keimanan. Kalau soal keimanan personal saya mendukung bagaimana orang ini berhati-hati soal potensi kemusyrikan, tapi soal ekspresi keimanan saya tidak setuju dengan caranya,” kata Gus Mut.

Fanshuri baru paham. “Oalah, begitu.”

“Lah kalau begitu, harusnya Gus Mut setuju dong kalau orang kayak gini harus dihukum dan dipenjara?” tanya Fanshuri.

“Kalau setuju dihukum iya, tapi kalau dipenjara tidak, Fan,” kata Gus Mut.

“Ah, Gus Mut ini mbulet lagi deh. Kan sama aja maksudnya itu, Gus,” kata Fanshuri sambil nguyel-nguyel kepalanya sendiri.

“Dihukum itu kan tidak harus dipenjara, Fan. Ada banyak cara dan penjara itu hanya satu di antara banyak pilihan. Kamu waktu kecil ketahuan curi mangga misalnya, apa iya kamu langsung dihukum potong tangan? Kan nggak? Bisa aja kamu dihukum dengan cara disuruh membersihkan halaman rumah yang punya pohon misalnya,” kata Gus Mut.

“Ya jangan bandingin curi manga sama melecehkan keyakinan orang lain dong, Gus,” kata Fanshuri.

“Maksudku begini, Fan. Tindakan orang ini tidak hanya soal urusannya dengan keyakinan atau tradisi dari orang yang kasih sesajen di tempat itu, tapi juga perasaan banyak orang. Tawaran hukuman penjara itu tidak menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah baru,” kata Gus Mut.

“Masalah baru gimana?” kata Fanshuri.

“Ya si orang ini bukannya sadar dia sedang melakukan kesalahan, tapi justru merasa tambah yakin bahwa ekspresi keimanan yang dilakukannya itu benar,” kata Gus Mut.

“Memang tawaran Gus Mut soal hukuman bagi orang begini apa?” tanya Fanshuri.

Gus Mut tersenyum.

“Ya aku pikir orang itu cukup dipertemukan dengan orang kasih sesajen. Disuruh bergaul dengan masyarakat seperti itu saja. Itu cukup kok,” kata Gus Mut.

“Ya nggak mungkin maulah dia, Gus. Orang dia menganggap itu tindakan musyrik kok,” kata Fanshuri.

“Ya konsep hukuman kan memang begitu, Fan. Selalu ada paksaan. Kalau sukarela mah bukan hukuman namanya, tapi donasi. Lagian, memang orang itu juga mau kalau disuruh masuk penjara? Kan ya sama-sama nggak mau sebenarnya,” kata Gus Mut.

“Oke deh, kita berandai-andai misalnya hukumannya adalah mempertemukan kedua belah pihak ini. Memang apa yang bisa didapat?” kata Fanshuri.

“Ya kedamaian,” kata Gus Mut.

“Kok kedamaian?” tanya Fanshuri.

“Iya, orang ini jadi mengenal seseorang yang punya pendekatan berbeda soal cara berdialog dengan Tuhan. Kadang-kadang orang jadi fanatik cuma pada satu cara ekspresi keimanan itu karena yang dia lawan tidak dia kenal sepenuhnya, tidak dia kenal secara dekat, secara personal,” kata Gus Mut.

“Ya kan terhadap yang kita lawan itu memang sebaiknya tidak kita kenal secara personal dong, Gus,” kata Fanshuri.

“Memang kenapa begitu, Fan?” tanya Gus Mut.

“Soalnya kalau kita kenal dekat secara personal sama pihak yang kita lawan, kita jadi segan, kita jadi berhati-hati, takut menyinggung perasaannya dan lain sebagainya. Nggak jadi musuhan dong akhirnya,” kata Fanshuri.

Gus Mut tersenyum.

“Nah, tepat di situlah ekspresi keimanan yang benar. Kamu menasihati orang dengan cara persis seperti itu karena ujung-ujungnya untuk berdamai, bukan untuk menang-menangan, apalagi dalam ekspresi permusuhan atau perlawan. Kamu masih memakai perasaan segan, ada kehati-hatian, dan ada upaya jangan sampai menyinggung perasaan orang itu karena kamu kenal,” kata Gus Mut.

Fanshuri terkejut.

“Ekspresi keimanan yang begitu itulah yang dilakukan Nabi Muhammad ketika menyebarkan agama Islam pertama kali. Nabi berhati-hati dan memakai cara-cara yang baik karena yang dia dakwahi adalah keluarga-keluarganya, sahabat-sahabatnya, bukan orang-orang yang nun jauh di sana,” kata Gus Mut.

“Artinya?” tanya Fanshuri.

“Artinya ya mulailah dengan orang terdekatmu dulu kalau mau meluruskan sesuatu yang kamu anggap salah. Kalau dengan orang dekatmu saja kamu merasa tidak berhasil, ya berarti ada dua kemungkinan. Pertama, caramu meluruskan memang selama ini salah. Atau kedua, keyakinanmu sendiri memang ada yang salah,” kata Gus Mut.

Fanshuri tertawa mendengar penjelasan Gus Mut.

“Lho aku serius lho. Coba deh lihat beda Islam menyebar di Andalusia dengan Islam menyebar di Nusantara,” kata Gus Mut.

“Apa bedanya memang, Gus?” tanya Fanshuri.

“Di Andalusia, Islam datang melalui peperangan dahsyat. Oke, Islam memang masuk ke Eropa, tapi nafasnya tidak panjang. Peninggalannya memang banyak, tapi penganutnya beralih balik lagi ke agama lamanya begitu Kerajaan Islam di Andalusia runtuh. Ya karena pendekatannya lewat jalur kekerasan. Di Nusantara sebaliknya, Islam datang lewat perdagangan, lewat pernikahan, lewat kebudayaan. Pada akhirnya nafasnya jadi panjang dan kebanyakan orang nggak mau juga balik ke agama lamanya. Bahkan sampai Nusantara akhirnya beralih nama jadi Indonesia tetap begitu saja. Awet sampai sekarang,” kata Gus Mut.

Fanshuri manggut-manggut.

“Puncak dari keimanan itu bukan hanya soal kebenaran, Fan,” kata Gus Mut.

“Lho bukannya keimanan itu adalah soal yang haq dan bathil ya, Gus?” tanya Fanshuri.

“Iya, tapi bukan di situ puncaknya. Secara hakikat keimanan itu adalah soal keindahan. Hal-hal yang haq itu selalu mewakili keindahan dan yang bathil itu selalu mewakili keburukan. Kamu salat secara khusyuk misalnya, itu lebih ke urusan keindahan. Salatmu bisa saja sah secara fikih, tapi tidak indah karena pikiranmu ke mana-mana. Atau ketika sedekah dengan ikhlas, itu juga mewakili unsur keindahan karena ada unsur ikhlasnya.”

Fanshuri termenung sejenak.

“Berarti, meskipun kita merasa keimanan kita sudah yang paling benar, kalau ekspresi kita tidak mewakili keindahan, bisa jadi cara kita yang keliru, Gus?” tanya Fanshuri.

Gus Mut tersenyum.

“Tentu saja. Soalnya menularkan keimanan itu sifatnya menyentuh apa yang ada di dalam hati, bukan apa yang ada di dalam kepala. Dan cara paling baik untuk menyentuh hati, tentu bukan hanya sekadar menunjukkan kebenaran, tapi juga menunjukkan keindahan.”

Gantian Fanshuri yang kini tersenyum. Tersenyum dengan ekspresi keindahan.

BACA JUGA Kalimat Tauhid Burung Beo dan Iman yang Tersembunyi atau kisah-kisah Gus Mut lainnya. 

Penulis: Ahmad Khadafi

Editor: Ahmad Khadafi

Exit mobile version