Mentang-mentang Benar, Bukan Berarti Boleh Semena-mena Terhadap yang Salah

MOJOK.COMentang-mentang merasa benar dan lebih berkuasa, bukan berarti kita bisa semena-mena memperlakukan orang yang salah. Itu sama saja nahi mungkar bil mungkar.

Gus Mut terkejut mendengar suara kemarahan Mas Is dari dalam rumah. Sebelum terdengar kemarahan Mas Is, memang ada suara beling pecah dari arah dapur. Gus Mut cuma berani melengok sebentar di pintu ruang tamu. Suara bentak-bentakan Mas Is pun semakin terdengar.

Janjian main catur di rumah Mas Is jadi kurang enak bagi Gus Mut gara-gara peristiwa tersebut. Padahal Mas Is sebenarnya niatnya baik, ingin bikinkan kopi agar main catur sore itu bisa lebih syahdu. Hanya saja, gara-gara ada gelas pecah dan keadaan Mas Is yang marah-marah, keadaan jadi tidak syahdu lagi.

Tak berselang lama Mas Is keluar. Sambil membawa dua cangkir kopi. Kemarahannya mulai sedikit reda saat bertatap muka dengan Gus Mut. Merasa penasaran, Gus Mut memberanikan diri bertanya.

“Kenapa, Mas Is? Kok sampai teriak-teriak begitu sampeyan?” tanya Gus Mut.

“Oh, bukan apa-apa kok, Gus. Itu lho si Marni, adik saya, disuruh bikinkan kopi malah mecahin gelas,” kata Mas Is.

Gus Mut terdiam sejenak.

“Ini, Gus, kopinya. Silakan diminum,” kata Mas Is sambil membuka papan catur dan mulai menata bidak catur.

“Memangnya si Marni adikmu itu sengaja mecahin gelas? Kok kamu sampai segitu marahnya?” tanya Gus Mut.

Mas Is agak terkejut mendengar Gus Mut masih mau membahas hal itu.

“Ya, nggak sengaja sih pastinya. Tapi kan itu karena kurang hati-hati. Makanya saya kasih tahu, kalau apa-apa itu nggak sembarangan. Kalau disuruh kakaknya itu yang baik, jangan cuma asal. Jadi pecah kan cangkirnya. Lagian, kalau pecahan belingnya kena kaki orang gimana? Kan bahaya, Gus,” kata Mas Is.

Gus Mut tersenyum.

“Kasih tahunya sampeyan emang gitu ya, Mas Is? Sampai bentak-bentak gitu?” tanya Gus Mut.

“Ya, udah biasa, Gus. Adik saya sendiri kok. Nggak apa-apa, dia udah biasa,” kata Mas Is.

“Biasa? Maksud sampeyan, si Marni itu udah biasa kamu bentak-bentak, Mas Is?” tanya Gus Mut.

“Ya namanya kakak kan ngasih tahu yang bener, Gus. Saya itu cuma pingin adik saya habis ini jadi hati-hati, udah itu aja,” kata Mas Is yang mulai tak nyaman dengan arah pertanyaan Gus Mut.

Merasa tidak enak, Mas Is lagi-lagi mencoba mengklarifikasi.

“Lagian, saya yang benar dan adik saya juga yang salah kok. Wajar lah kalau saya bentak-bentak gitu,” guman Mas Is lirih, meski masih cukup jelas terdengar di telinga Gus Mut.

Gus Mut lagi-lagi tersenyum.

“Mas Is, jangan mentang-mentang kita benar, lalu jadi berbuat semena-mena sama yang salah. Bukan begitu cara mikirnya. Bisa bahaya itu,” kata Gus Mut.

“Ya kan kalau ngasih tahu yang benar itu namanya bukan semena-mena, Gus,” kata Mas Is.

“Bukan semena-mena kan bagi pihak yang benar, bagi pihak yang salah ya belum tentu,” kata Gus Mut.

“Ah, Gus Mut ini kok malah jadi ngomentari saya sama Marni sih. Kan kita mau main catur,” kata Mas Is mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Ya soalnya kalau cara pikir asal benar jadi boleh berbuat seenaknya sama yang salah, ya itu namanya nahi mungkar bil mungkar, Mas Is,” kata Gus Mut.

“Maksudnya, Gus?”

“Hm, maksudnya mencegah perbuatan buruk dengan cara yang buruk. Bukannya menghilangkan keburukan, eh malah menambah keburukan. Itu kan jadi tidak menyelesaikan masalah,” kata Gus Mut.

“Tapi kan kadang-kadang memang ada orang yang perlu dikerasi, Gus. Nggak semua harus pakai cara yang lembut juga kali,” kata Mas Is.

“Pertanyaannya. Cara lembut itu sudah pernah dilakukan atau belum?” tanya Gus Mut melirik ke mata Mas Is.

Mas Is cengengesan.

“Ya belum sih. Hehe,” kata Mas Is sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Lagian, kalau yang pecahin cangkir tadi perempuan cantik dan kamu sedang berusaha mendapatkan perhatian dan cintanya, kira-kira kamu bisa marah kayak tadi nggak?” tanya Gus Mut.

Mas Is berpikir sejenak.

“Ya kalau yang pecahin itu cewek cantik, beda ceritanya dong, Gus,” kata Mas Is.

“Makanya itu, kadang-kadang kita suka merasa benar lalu menggunakan cara yang keras itu pilih-pilih orang, Mas Is. Bukan pada perkara benar atau salahnya, melainkan ya kita pingin aja. Nah, yang kayak begitu sudah bukan niatan untuk membenarkan lagi, tapi hawa nafsu aja isinya. Marah-marah sampai kebakaran deh jadinya karena kebetulan orang yang bikin salah orang tak terlalu kita sukai,” kata Gus Mut.

Mas Is terdiam.

“Dulu ada riwayat, Mas Is. Sahabat Ali bin Abi Thalib dalam perang pernah berhadapan dengan salah satu kafir Quraisy. Kebetulan Ali bin Abi Thalib sedang unggul situasinya, lawannya ini sudah tersungkur dan tinggal ditebas. Begitu pedang Ali bin Abi Thalib mau menebas tiba-tiba lawannya ini meludahi Ali bin Abi Thalib untuk menghina sebelum mati. Dalam keadaan dihina seperti itu, Ali bin Abi Thalib menghentikan tebasan pedangnya, lalu malah kabur menghindar. Meninggalkan lawannya begitu saja,” kata Gus Mut.

Mas Is menyimak cerita Gus Mut.

“Lah kok malah kabur, Gus? Memangnya kenapa? Apa air ludahnya sakti?” tanya Mas Is.

Gus Mut hampir tertawa mendengarnya.

“Gini, Mas Is. Ali bin Abi Thalib menghindar karena takut….”

“Nah, kan bener. Air ludah lawannya sakti,” kata Mas Is memotong.

“Bukan takut ludahnya, Mas Is. Ali bin Abi Thalib takut karena untuk sejenak terbesit sedikit rasa dendam dan amarah di hatinya terhadap lawannya itu. Takut kalau dia melakukan itu bukan karena sedang membela nabi dan agama Islam, melainkan karena hawa nafsu,” kata Gus Mut.

Mas Is terdiam, merenung sejenak.

“Kadang-kadang, selain kita suka bertindak semena-mena karena lebih benar, kita juga sering menghukum orang bersalah bukan karena ingin menegakkan kebenaran, tapi karena dorongan nafsu saja. Ingin melampiaskan saja,” kata Gus Mut.

Mas Is masih mematung. Tak bicara apa-apa.

“Oh, gitu ya, Gus,” kata Mas Is lirih.

“Ya sudah, ayo sekarang kita main catur aja,” kata Gus Mut, gantian menata bidak catur.

Sebelum permainan dimulai Mas Is nyeletuk, “Tapi kalau nanti saya yang menang, Gus Mut jangan merasa saya bertindak semena-mena karena dorongan nafsu ya, Gus?”

“Wah, kurang ajar kamu, ngeremehin,” kata Gus Mut tertawa.


*) Diolah dari pengajian Gus Baha’

BACA JUGA Menutup Aurat itu Wajib, tapi Jangan Jadi Syarat Islamnya Seseorang atau tulisan rubrik KHOTBAH lainnya.

Exit mobile version