Kisah Calon Santri yang Diminta Mendoakan Keluarga Kiai

penganiayaan santri mojok.co

Ilustrasi penganiayaan santri. (Mojok.co)

MOJOK.COBaru calon santri, belum pernah belajar ngaji, tiba-tiba dihadapkan pada masalah pelik karena disuruh doain seluruh keluarga kiai.

Seseorang paruh baya terlihat celingak-celinguk di depan rumah Gus Mut. Dari tampilannya, orang itu kelihatan bukan orang berpunya. Tas ransel yang sudah lusuh robek di beberapa bagian, baju ala kadarnya yang kainnya sudah mulai mbladus, dan peci yang agak kelunturan.

Gus Mut yang sedang membaca kitab setelah mengajar para santri, memperhatikan bapak-bapak tersebut.

“Assalamu’alaikum, permisi. Nyari rumahnya siapa ya, Pak?” tanya Gus Mut sopan dari teras rumahnya.

“Wa’alaikumsalam. Ngapunten, saya lagi cari pengasuh pondok. Pak Kiai Ahsan kediamannya di daerah sini bukan ya?” kata bapak-bapak ini.

Gus Mut agak terkejut mendengar nama itu disebut. Meski begitu, Gus Mut pun bergegas membereskan kitab-kitabnya dan menghampiri.

“Iya, Pak. Ada keperluan apa ya?” tanya Gus Mut.

Si bapak-bapak ini semakin bingung ditanya keperluan. Melihat gelagat yang tidak normal itu, Gus Mut pun mempersilakan bapak-bapak itu duduk di teras rumahnya, “Mari, Pak, masuk dulu, nanti saya antar.”

Si tamu kemudian duduk. Masih celingak-celinguk bingung.

“Maaf, Pak, ada urusan apa ya dengan Pak Kiai Ahsan?” tanya Gus Mut santai.

Si tamu agak sungkan mendengar itu.

“Maaf, Kang. Saya itu sebenarnya pengen belajar ngaji. Kepengin mondok,” kata bapak-bapak itu.

Gus Mut sangat terkejut mendengarnya. Bukan karena dirinya dipanggil “Kang”, tapi Gus Mut baru kali ini menemui seorang bapak-bapak yang usianya lebih sepuh darinya, tapi masih semangat ingin mondok.

Ada rasa gentar dari Gus Mut mendengar keinginan belajar dari bapak-bapak di hadapannya itu.

“Alhamdulillah, Bapak hebat sekali usia segini masih kepengin belajar ngaji. Kalau boleh tahu, ini dengan Bapak siapa?” tanya Gus Mut.

“Sugi, Kang,” kata Pak Sugi sambil tersenyum.

“Bapak Sugi pasti udah lama banget kepengin belajar ngaji ya?” tanya Gus Mut.

“Kok sampean tahu, Kang?” tanya Pak Sugi.

Gus Mut tersenyum, masih tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada Pak Sugi.

“Pak Kiai Ahsan itu sudah meninggal lama sekali. Sudah empat tahun yang lalu. Tadi saya pikir, Pak Sugi mau ziarah ke makamnya, tapi mendengar Pak Sugi mau belajar ngaji ke Pak Kiai Ahsan tadi, saya menebak panjenengan pasti nggak sadar beliau sudah meninggal,” kata Gus Mut.

Ada rasa kecewa yang hebat dari wajah Pak Sugi begitu mendengar nama Pak Kiai Ahsan sudah meninggal dunia. Perasaan yang tak tertahankan itu bahkan sampai membuat matanya memerah menahan rasa sedih luar biasa.

“Maaf kalau gitu, Kang,” kata Pak Sugi tak bisa berkata apa-apa lagi.

“Memangnya kenapa baru datang sekarang Pak Sugi? Pak Sugi alumni pondok mana dulu?” tanya Gus Mut.

“Bukan santri juga, Kang. Nggak pernah mondok saya. Soalnya rumah saya pelosok sekali. Saya dulu itu cuma pernah denger ada kiai dari jauh yang ‘alim namanya Kiai Ahsan. Terus jadi kepengin belajar ke blio,” kata Pak Sugi.

“Wah, sayang sekali ya, Pak,” kata Gus Mut bingung juga kenapa Pak Sugi baru datang sekarang.

“Memangnya dulu pernah sowan ya, Pak?” tanya Gus Mut.

Pak Sugi cuma menggeleng.

“Terus?” tanya Gus Mut lagi.

“Saya ini dulu punya ibu, Kang. Ibu saya sakit lumpuh. Sehari-hari saya ngerawat ibu saya. Ya mandiin, ya nyuapin, ya nyebokin, pokoknya apapun. Cuma, gara-gara itu saya jadi nggak bisa ke mana-mana, Kang,” kata Pak Sugi.

Gus Mut terkejut mendengarnya.

“Saya itu cuma pernah dengar ceramahnya Pak Kiai Ahsan dari siaran radio. Waktu itu kalau ndak salah temanya soal doa ibu itu melebihi doa para ulama. Gara-gara itu saya jadi makin perhatian sama ibu saya, Kang. Tapi masalahnya…”

Pak Sugi menghentikan kalimatnya.

“Masalah? Masalah apa, Pak?” tanya Gus Mut.

“Masalahnya, gara-gara ibu saya juga saya jadi nggak bisa mondok,” kata Pak Sugi.

“Hah?” Gus Mut kaget.

“Dulu itu saya pernah izin ke ibu saya, Kang. Boleh tidak saya ini sowan ke Pak Kiai Ahsan. Udah lama banget itu. Tapi ibu saya nggak setuju. Katanya saya nggak boleh ke mana-mana, harus nemenin dia terus. Kalau untuk sowan saja ibu saya nggak mengizinkan, ya apalagi mondok,” kata Pak Sugi.

Gus Mut terdiam sejenak, menerawang.

“Tapi sekarang keadaan ibu udah baikan kan, Pak?” tanya Gus Mut hati-hati.

Pak Sugi menghela nafas.

“Ibu sudah meninggal, Kang. Baru 44 hari kemarin,” kata Pak Sugi.

“Innalilahi,” kata Gus Mut.

“Tapi hikmahnya, saya jadi bisa ke sini. Saya jadi bisa belajar ngaji,” kata Pak Sugi agak semringah, “tapi sayangnya… Pak Kiai Ahsan ternyata juga udah meninggal.”

Gus Mut kehilangan kata-kata. Tak ada kalimat penghibur yang bisa keluar dari mulutnya, tapi dari matanya, Gus Mut merasa menemukan sesuatu.

“Kalau begitu, ini pondok punya siapa, Kang?” tanya Pak Sugi tiba-tiba, “Boleh saya mondok di sini saja?”

Tak berselang lama, Gus Mut pun menghampiri Pak Sugi, lalu menyalami tangannya.

Tak sekadar menyalami, tangan Pak Sugi pun dikecup-kecup oleh Gus Mut. Ada perasaan hormat tak terkira dari Gus Mut bisa mencium tangan seorang anak yang masih ada bekas bakti tiada batas ke ibunya.

Pak Sugi terkejut. Tapi reaksinya menarik tangan kalah cepat. Bagaimanapun Pak Sugi sudah paruh baya, tenaganya kalah dengan tenaga Gus Mut.

“Lho, lho, ada apa ini, Kang?” tanya Pak Sugi panik sambil bingung menyembunyikan tangannya.

“Ternyata panjenengan tho, Pak. Alhamdulillah, ternyata saya yang menemukan panjenengan,” kata Gus Mut bungah luar biasa.

“Ada apa ini, Kang? Sampean siapa tho, Kang?” tanya Pak Sugi.

“Saya keponakannya Pak Kiai Ahsan, Pak Sugi. Panjenengan itu sudah masuk dalam mimpinya Pak Kiai Ahsan beberapa bulan sebelum almarhum meninggal dunia, dan itu sempat diceritakan ke saya,” kata Gus Mut.

Gus Mut kemudian duduk lagi di kursinya.

“Ceritanya lima tahunan yang lalu itu, Kiai Ahsan cerita, katanya bakal ada santri luar biasa saleh yang bakal datang ke pondok ini. Kiai Ahsan cerita kesalehannya bahkan melebihi kesalehan Kiai Ahsan sendiri. Bahkan katanya, ‘kalau aku ketemu sama orangnya, aku kepengin pondok dan keluarga besarku ini didoakan sama beliau,’” cerita Gus Mut.

Pak Sugi terbengong-bengong tak mengerti. Gus Mut meneruskan ceritanya.

“Saya yang waktu itu mendengar cerita Kiai Ahsan tentu nggak percaya. Mana ada orang yang bisa lebih saleh dari Kiai Ahsan? Tapi saya baru saja sadar ini tadi. Kiai Ahsan itu ditinggal mati oleh ibunya sejak kecil, beliau nggak pernah dapat kesempatan berbakti sama ibunya. Sedangkan panjenengan Pak Sugi, panjenengan datang dengan cerita yang menguatkan mimpi Kiai Ahsan semasa hidupnya. Sampean punya tingkat kesalehan yang tak dimiliki Kiai Ahsan, yakni bakti ke ibu sampai batas yang luar biasa,” kata Gus Mut.

Pak Sugi masih bingung, masih tak mengerti.

“Saya, sebagai keponakan Kiai Ahsan, dengan ikhlas akan mengajari panjenengan ngaji. Semaksimal yang saya bisa, Pak. Insya Allah, Pak Sugi,” kata Gus Mut masih dalam aura bahagia luar biasa.

Pak Sugi terdiam mematung. Pikirannya masih melayang ke mana-mana. Meski tak pernah menjadi santri, dirinya tahu bahwa kalau yang di hadapannya adalah keponakan dari Kiai Ahsan, itu artinya tangannya baru saja dikecup oleh seorang Gus.

Menyadari itu, Pak Sugi malah bersimpuh di hadapan Gus Mut.

“Astaghfirullah, Gus. Maaf, Gus. Maaf. Saya nggak tahu panjenengan Gus pondok ini. Maafkan saya,” kata Pak Sugi mencoba merebut tangan Gus Mut untuk dikecup. Tapi sayang, reaksi Gus Mut kali ini lebih cepat sehingga pemandangan balas menghormati itu tak terjadi.

Gus Mut lalu membantu Pak Sugi berdiri.

“Pak, boleh saya minta doa untuk saya dan keluarga besar saya? Sekaligus untuk para santri saya?” pinta Gus Mut.

“Ta-tapi, Kang, eh, Gus. Saya nggak bisa doa sama sekali,” kata Pak Sugi.

“Doa bahasa Indonesia tidak apa-apa, Pak,” kata Gus Mut meyakinkan.

Pak Sugi bingung, tapi mau apa dikata, yang meminta kini adalah guru ngajinya. Eh, calon guru ngajinya.

“Apa setelah saya berdoa, saya diterima jadi santri sini, Gus?” tanya Pak Sugi polos.

Gus Mut cuma tersenyum, lantas menengadahkan tangan.

 

*) Diadaptasi dari riwayat Uwais Al-Qorni.

BACA JUGA Apakah Surga Hanya untuk Orang Islam Saja? atau kisah-kisah Gus Mut lainnya.

Exit mobile version