Kenapa Marah NU dan Muhammadiyah Dibandingkan dengan FPI?

Kenapa Marah NU dan Muhammadiyah Dibandingkan dengan FPI?

Kenapa Marah NU dan Muhammadiyah Dibandingkan dengan FPI?

MOJOK.COFanshuri meradang mendengar Mas Is bilang kalau FPI lebih dekat dengan masyarakat ketimbang NU dan Muhammadiyah.

“Mas Is itu sudah keterlaluan, Gus,” kata Fanshuri ke Gus Mut.

“Keterlaluan kenapa memangnya?” tanya Gus Mut yang baru saja meletakkan pantat di kursi teras rumahnya.

“Ya masak NU sama Muhammadiyah dibanding-bandingin sama FPI katanya,” ujar Fanshuri sambil mengambil papan catur di bawah meja teras rumah Gus Mut.

Gus Mut terdiam sejenak, sambil ikut membantu Fanshuri menata papan catur. Sore itu, keduanya memang janjian main catur.

“Maksudnya?” kata Gus Mut sambil menata bidak-bidak catur.

“Ya dibandingkan gitu lah, Gus. Katanya FPI itu kuat karena NU dan Muhammadiyah sudah tidak lagi dekat dengan masyarakat, makanya makin banyak orang lebih simpati dengan FPI,” kata Fanshuri.

Gus Mut terkekeh mendengarnya.

“Kok Gus Mut malah ketawa sih, ini persoalan serius lho, Gus,” kata Fanshuri.

“Memangnya kenapa kamu jadi ngoyot begitu, Fan? Santai aja lagi, gitu aja kok repot,” kata Gus Mut.

“Ya bukan gimana-gimana, Gus, tapi itu kan sama sekali nggak apple to apple to, Gus. NU itu udah hampir satu abad, Muhammadiyah apalagi itu, sudah lebih dari seabad, keduanya itu kontribusinya bukan kaleng-kaleng. Nggak cuma untuk masyarakat tapi sampai ke urusan kebangsaan segala,” kata Fanshuri.

“Iya, iya, itu kamu betul. Tapi ya nggak perlu mencak-mencak begitu to,” kata Gus Mut.

“Wah nggak bisa, Gus. Mas Is itu sama saja tutup mata sama kontribusi NU dan Muhammadiyah, hanya karena berdasar pada kebaikan-kebaikan kecil FPI ke masyarakat di periode yang bisa dibilang baru beberapa puluh tahun. Nggak imbang banget cara mikirnya, ya pantas lah kalau saya tersinggung, Gus. Rasanya kayak terhina sekali ormas saya digituin,” kata Fanshuri.

“Fan, gini. Muhammadiyah itu baik, bikin sekolah, madrasah, kampusnya keren-keren, punya rumah sakit lagi, orang-orangnya banyak yang profesor. NU juga gitu, baik. Banyak kiai-kiai besar dan pondok pesantren lahir dari rahim Nahdlatul Ulama…”.

“Kayak bapaknya sampean misalnya, Gus…,” potong Fanshuri.

“Lah, iya… tapi…” lanjut Gus Mut lagi.

“Kok tapi?” tanya Fanshuri.

“FPI juga baik. Dalam beberapa aspek. Nggak mungkin FPI nggak ada kebaikannya sama sekali. Kalau FPI nggak ada kebaikannya sama sekali, ya mana mungkin mereka punya pengikut. Hanya saja, Mas Is memang kurang bijak, soalnya yang namanya kebaikan itu nggak perlu dibanding-bandingkan,” kata Gus Mut.

“Ma, maksudnya, Gus?” tanya Fanshuri.

“Ya nggak perlu. Kamu itu kayak membandingkan orang yang sedekah Rp10.000 dengan orang yang sedekah Rp1.000.000. Kira-kira baik mana menurutmu?” tanya Gus Mut.

“Ya bagus yang satu juta lah, Gus,” kata Fanshuri mantap.

“Ya belum tentu dong,” kata Gus Mut.

“Lah kok belum tentu?” tanya Fanshuri.

“Ya belum tentu. Lah kalau sedekah satu juta tapi ada maksud terselubung? Kan kita nggak tahu. Artinya secara dohir saja kita bisa menilainya, Fan. Menilai, bahwa keduanya adalah sama-sama kebaikan. Jadi ya nggak perlu dibanding-bandingkan. Orang sama-sama berbuat baik, yang tadinya itu bakal memberi efek kebaikan malah jadi rusuh karena kebaikan kayak gitu dibanding-bandingkan,” kata Gus Mut.

“Lah iya, makanya itu, Mas Is ngawurnya kebangetan, Gus,” kata Fanshuri.

“Tapi kamunya juga biasa aja. Justru apa yang dibilang Mas Is itu harus diterima biasa aja. Anggap saja itu kritik buat kita sendiri. Dibikin selo aja. Nggak terima boleh, nggak setuju boleh, tapi tetep santai tetep santun,” kata Gus Mut.

“Ah, Gus Mut ini memang suka menyepelekan sesuatu kok. FPI itu kan dikenal sebagai ormas yang galak, keras, suka persekusi orang. Jejak kekerasannya aja banyak sekali. Nggak pantes lah kalau disebut FPI lebih baik dari NU dan Muhammadiyah,” kata Fanshuri.

“Lah memang NU dan Muhammadiyah sendiri udah sesempurna itu? Nggak perlu berkembang lagi? Kita di sebagai warga NU saja deh, coba jujur sama dirimu sendiri, sudah sempurnakah kita sebagai warga NU maupun NU-nya? Kita masih perlu berkembang nggak kira-kira? Hanya karena merasa sudah sempurna?” Gus Mut balik bertanya.

“Ya kalau dibilang sempurna betul, ya belum sih, tapi, tapi kan…”

“Ya makanya itu, kalau ada orang kritik ya dengerin. Ada orang yang ngolok-ngolok ya udah biarin. Mungkin itu alarm buat saya, buat Bapak, agar terjunnya nggak cuma ke warga desa-desa aja, tapi juga harus menjelajah ke kota-kota. Nggak cuma ngurusin warga-warga kampung kayak kamu, kayak Bukhori, kayak Mas Is, tapi harus ke orang-orang urban. Orang-orang yang lebih modern. Orang-orang yang punya akses dan pengetahuan yang kalau ngomong didengerin lebih banyak orang,” kata Gus Mut.

“Lah kan udah banyak juga gus-gus atau kiai-kiai yang moncer di kota-kota, Gus? Kiai-kiai yang udah melek teknologi juga udah ada kok,” kata Fanshuri.

“Ya berarti kurang banyak. Udah gitu aja cara mikirnya to? Kan enak kalau mikirnya begitu. Anggap saja perbandingan kayak gitu diciptakan sebagai ‘panggilan’, bukan olok-olokan. Oh, ternyata saya kurang maksimal dakwahnya. Oh, ternyata saya ini kurang bisa diterima sama masyarakat yang model begini, masyarakat yang model begitu. Oh berarti saya harus mikir, gimana ya biar dakwah saya bisa diterima di sana, nggak cuma di sini-sini aja,” kata Gus Mut.

Fanshuri menyimak.

“Fan, kamu itu juga nggak perlu menjelaskan soal NU dan Muhammadiyah apalagi soal kebaikan-kebaikannya deh. Percuma,” tambah Gus Mut.

“Lah emang kenapa, Gus?” tanya Fanshuri.

“Karena orang yang sudah ikut NU atau Muhammadiyah nggak butuh itu, dan orang yang nggak suka NU dan Muhammadiyah nggak bakal percaya juga sama penjelasannmu,” kata Gus Mut sambil terkekeh.

Fanshuri terdiam sejenak. Senyum sedikit, marahnya pun redam, padam pelan-pelan.

“Nah, gitu dong. Orang ormas kalau senyam-senyum gitu kan lebih enak dilihatnya.”

Fanshuri tertawa mendengarnya.

BACA JUGA Kisah Gus Mut lainnya.

Exit mobile version