Jin Itu Tidak Ada karena Nggak Rasional

Jin Itu Tidak Ada karena Nggak Rasional

Jin Itu Tidak Ada karena Nggak Rasional

MOJOK.COUdin merasa aneh ketika masih ada yang percaya jin atau hal gaib padahal kepercayaan itu nggak rasional dan nggak terukur secara sains.

“Aku kok yakin, Mut. Pocong, genderuwo, atau jin-jin itu nggak ada,” kata Udin, teman lama Gus Mut. Seorang sarjana lulusan matematika yang kebetulan ada kunjungan kerja di dekat rumah Gus Mut jadi menyempatkan sejenak mampir.

Gus Mut tersenyum sambil menyodorkan teh hangat dan cemilan.

Melihat Gus Mut tersenyum, Udin penasaran kenapa Gus Mut tidak membantah sama sekali.

“Gimana, Mut?” pancing Udin.

“Ya nggak apa-apa,” kata Gus Mut.

Udin malah jadi semakin geregetan Gus Mut menjawab begitu.

“Nggak apa-apa gimana maksudmu, Mut?” tanya Udin lagi.

“Ya nggak apa-apa kalau sampean nggak menganggap jin itu ada. Nggak ada ruginya buat aku kok. Udah, yang penting teh sampean diminum dulu keburu dingin,” kata Gus Mut sambil menyeruput tehnya.

“Kamu nggak penasaran kenapa aku bisa punya kesimpulan kayak gitu?” tanya Udin.

Gus Mut kali ini terkekeh.

“Sepertinya, yang penasaran di sini malah kamu deh, Din,” kata Gus Mut.

Udin sudah tidak bisa lagi menahan geli, dia ikut tertawa.

“Iya, sebenarnya aku ingin tahu dari perspektif guru ngaji kayak kamu, Mut. Biar takhayul semacam itu bisa pelan-pelan aku hilangkan dari kultur masyarakat kita,” kata Udin.

“Oalah, begitu,” kata Gus Mut.

….

Udin menunggu Gus Mut menjelaskan sesuatu, tapi Gus Mut bergeming. Kali ini Gus Mut malah membuka toples cemilan, seolah tak terganggu sama sekali dengan pernyataan Udin, lalu menyodorkan ke Udin.

“Kamu nggak merasa perlu menjelaskan sesuatu ke orang eksak kayak aku, Mut?” tanya Udin sambil mengambil cemilan dari toples yang disodorkan Gus Mut

“Menjelaskan apa? Kan kamu udah meyakini kalau jin nggak ada. Ya terus, untuk apa aku mengganggu keyakinanmu?” kata Gus Mut santai.

Udin terdiam sejenak.

“Ini bukan soal keyakinan, Mut. Ini soal mana yang rasional dan mana tidak rasional. Ini juga untuk mencerdaskan kembali masyarakat kita agar tak percaya takhayul. Terutama soal jin-jin itu,” kata Udin.

“Masyarakat kita udah cerdas kok, Din. Santai aja,” kata Gus Mut.

“Cerdas gimana, sama perkara takhayul jin begitu aja masih banyak yang percaya, padahal jelas-jelas ilmu pengetahuan tidak mengenal hal-hal kayak gitu,” kata Udin.

“Sebentar, ilmu pengetahuan yang mana dulu nih?” tanya Gus Mut tiba-tiba.

“Ya ilmu pengetahuan, ilmu sains. Yang dipelajari dengan pendekatan yang bisa dipertanggungjawabkan dengan ilmiah. Kan kamu tahu, Mut, dalam khasanah keilmuan mana pun, perkara gaib kayak jin itu nggak punya tempat,” kata Udin.

“Ya belum tentu, kan masih ada pengetahuan-pengetahuan lain di luar itu,” kata Gus Mut.

“Lah, pengetahuan apalagi selain sains, Mut? Kamu ini nggak sekolah di bidang sains sih, makanya nggak paham beginian,” kata Udin.

Gus Mut tersenyum, teman sekelasnya saat sekolah ini memang masih tak berubah, selalu menjunjung tinggi klaim sains yang dipelajarinya sejak sekolah. Wajar kalau akhirnya Udin jadi salah satu teman Gus Mut paling pintar kalau perkara-perkara beginian.

Gus Mut masih terdiam, agak kurang antusias mendebat kawan lamanya itu.

“Ya udah deh, coba jelaskan ke aku, gimana orang secerdas kamu masih bisa percaya dengan perkara-perkara gaib? Masih percaya adanya jin misalnya,” kata Udin.

“Karena aku membedakan antara pengetahuan dengan ilmu, Din,” kata Gus Mut.

“Oke. Maksudnya gimana tuh?” tanya Udin.

“Pengetahuan itu hal-hal yang kita ketahui dari pengalaman langsung. Kayak pengetahuan nyetir, yang bisa dipelajari karena dilatih secara langsung, bukan cuma karena baca-baca buku teori,” kata Gus Mut.

“Oke. Terus kalau ilmu?” kata Udin.

“Kalau ilmu itu hal-hal yang bisa kita pelajari tanpa harus mengalami langsung. Ya kayak kamu belajar fisika, memperkirakan secara akurat berapa suhu di permukaan Matahari meski nggak harus terbang ke sana dan mendarat di sana lalu mengukur pakai termometer,” kata Gus Mut.

“Ya, itu masuk akal. Empirisme dan rasionalisme itu namanya,” kata Udin.

“Aku mah nggak tahu istilah-istilah teorinya, Din,” kata Gus Mut.

Udin tersenyum, “Jadi kamu menganggap kalau ada pengetahuan yang bisa dialami langsung, dan ilmu yang bisa dipelajari tanpa perlu mengetahui langsung kan?”

“Ya,” kata Gus Mut.

“Sekarang jelaskan padaku, apa yang membuat orang masih percaya hal-hal gaib?” tanya Udin.

“Ya karena perkara gaib kayak jin begitu kan ada di tataran empirisme—kalau pakai istilahmu ya, bukan di posisi rasionalisme. Berdasarkan pengalaman individu masing-masing, jadi pengalaman orang akan hal gaib itu bisa beda-beda. Beda sama hal rasional yang harus ada standar yang disepakati bersama,” kata Gus Mut.

“Nah,” kata Udin langsung menunjuk Gus Mut.

Gus Mut bingung.

“Di situlah letak lubangnya, Mut. Di situ. Gimana pengalaman individu itu tidak bisa mewakili kebenaran. Karena sifatnya personal jadi nggak bisa dipertanggungjawabkan kebenaran soal jin itu. Beda sama sains yang ada standar,” kata Udin.

“Oh,” kata Gus Mut.

“Jadi paham kan, Mut, maksudku? Karena kalau ada orang ngaku ketemu jin itu selalu menjadi kesaksian personal, makanya ia nggak bisa dipertanggungjawabkan, karena nggak bisa dipertanggungjawabkan pakai standar sains makanya bisa dibilang itu khayalan atau takhayul,” kata Udin.

Gus Mut bergeming sejenak.

“Emang siapa yang bikin standar ini sains, dan yang itu tidak sains?” tanya Gus Mut.

“Ya kalau terukur, Mut,” kata Udin.

“Oalah,” kata Gus Mut, “jadi kamu itu orangnya sains banget ya, Din? Apa-apa harus terukur dan bisa dijelaskan secara rasional gitu.”

“Ya iya dong. Semua hal itu harus dipatok lewat sains, ilmu pengetahuan. Jadi alasanku memilih sesuatu itu sudah dipastikan atas dasar pertimbangan logika,” kata Udin.

Gus Mut terdiam sejenak.

“Kalau gitu kamu memutuskan untuk menikahi perempuan yang sekarang jadi istrimu itu sains juga dong, Din, alasannya?” tanya Gus Mut tiba-tiba.

Udin agak terkejut. “Sebentar. Gimana, gimana?”

“Ya karena kalau kamu ngaku sains banget, ya kamu pasti bisa menjelaskan ke semua orang alasan kenapa kamu menikahi istrimu. Dan ketika itu jadi alasan rasional, semua laki-laki di dunia pasti harus menikahi istrimu dong, karena standar sainsnya ada. Tapi, nyatanya cuma kamu yang akhirnya menikahi istrimu dan istrimu memilih kamu, dan alasan di baliknya pun pasti sangat personal kan? Bukan sesuatu yang terukur sehingga bisa dipertanggungjawabkan pakai ilmu pasti?” tanya Gus Mut.

“Ya iyalah, ini kan yang namanya cinta. Harus personal dong, Mut. Kamu gimana sih?” kata Udin.

“Berarti alasanmu menikahi istrimu itu takhayul juga dong? Khayalan doang? Sama kayak orang yang punya pengalaman personal bersentuhan dengan hal gaib kayak ketemu jin tadi,” kata Gus Mut.

Udin sedikit terkejut.

“Oh, bukan. Jadi begini… maksudnya… itu,” Udin gelagepan.

Gus Mut tersenyum.

“Din, bukan karena sesuatu belum bisa dicapai oleh sains lantas otomatis hal itu nggak ada dong,” kata Gus Mut sambil menyeruput tehnya yang sudah mulai agak dingin, “kan ada empirisme, yang bikin teh ini tetap terasa nikmat tanpa perlu kamu kasih tahu penjelasan sainsnya.”

BACA JUGA Apakah Surga Hanya untuk Orang Islam Saja? dan kisah-kisah GUS MUT lainnya.

Exit mobile version