Ketika Mati Syahid Dibilang Ekstremis, Mengapa NKRI Harga Mati Dibilang Nasionalis?

MOJOK.CO – Bukankah seharusnya penilaian terhadap dua slogan; mati syahid dan NKRI harga mati nggak terlalu bertolak belakang? Uniknya, keduanya malah terlihat jauh berbeda.

Ketika hidup mulia atau mati syahid dibilang ekstremis, mengapa NKRI harga mati justru dibilang nasionalis?

Saya pribadi melihatnya cukup aneh padahal dari kedua slogan tersebut memiliki persamaan yang mendasar: sama-sama sangat mencintai sesuatu dan sama-sama mau mati karenanya. Bukankah seharusnya penilaian terhadap dua slogan itu sejenis, nggak terlalu bertolak belakang? Uniknya, ini malah terlihat jauh berbeda.

Ketika slogan tersebut diteriak-teriakan; yang pertama akan dikesankan mengerikan bahkan merusak, yang kedua dikesankan heroik; yang pertama dijadikan alergi, yang kedua dijadikan wajib; dan penilaian tersebut sudah menjadi stigma yang paten pada sudut pandang masyarakat.

Pada ranah masyarakat sendiri, banyak yang menjebakkan diri pada “penilaian akhir” semacam itu semata. Bahkan label ekstrem dan nasionalis tersebut menjadi bahan propaganda di media massa kepada orang lain secara lebih masif. Pada perkembangannya label ekstrem dan nasionalis ini merembet ke semua sektor bermasyarakat: sosial, agama, budaya, ekonomi, dan politik.

Barangkali sudah menjadi nasib saya (dan mungkin kamu yang membaca tulisan ini), khususnya, harus terlahir di wilayah negara yang lebih dulu lahir daripada saya. Jadi secara sistem administrasi akhirnya saya menjadi warga negara dari negara bernama Indonesia ini.

Apalagi tumbuh berkembang di wilayah negara tersebut, sehingga aktivitas dari kecil sampai usia sekarang dipenuhi oleh cerita tentang negara ini.

Saya disuguhi beragam cerita sejarah dari pra sampai pasca kemerdekaan negara, tokoh-tokoh “kultus” dari zaman kerajaan (kerajaan loh ya belum negara), sampai tokoh-tokoh zaman kemerdekaan, simbol-simbol negara, letak geografis, suku-suku di wilayahnya, agama di dalamnya, lagu-lagu, maupun peraturan negaranya. Semua diberikan kepada saya.

Untuk apa kesemuanya itu? Ya untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap ke semuanya itu yang nanti bisa dibilang nasionalis. Yah, harap dimaklumi kalau alasannya ternyata normatif seperti itu.

Tapi kita semua tahu, cinta itu bukan pemaksaan, cinta harus saling berbalas, dan syukurnya balasan itu ternyata hadir serta tumbuh pada diri orang-orang yang—salah satunya orang yang getol teriak—teriak harga mati-harga mati di jalanan, dan kalau perlu sengaja membuat konferensi pers untuk mendeklarasikan jiwa nasionalismenya, mengancam-ancam pihak yang dianggap tidak nasionalis, pokoknya pihak yang dituduh tidak punya rasa tersebut.

Hal yang menarik buat saya adalah apakah harus sebegitunya? Masalahnya adalah cinta harga mati terhadap negara (nasionalisme) itu dilandaskan atas dasar apa? Adakah dengan menjawab karena nasionalisme saja sudah cukup, secukup itukah?

Kalau memang sudah cukup menjawab dengan hal semacam itu, berarti istilah cinta tanpa alasan itu nyata, meski buat saya hal itu masih teramat naif. Dan sebagaimana halnya drama, cinta tanpa alasan yang sudah-sudah itu konyol. Apalagi rasa untuk perihal yang sangat kompleks: negara.

Kalaupun menjawab dengan; “banyak sekali alasan saya mencintai negara ini, semua yang ada didalamnya saya cintai, sejarahnya, orang-nya, budaya-nya, suku-nya, tradisi-nya,” oke deh saya akan salut dengan orang yang menjawab seperti ini karena orang tersebut bisa mencintai negara—bukan orang. Terdengar lebih kaffah. Hal yang kemudian membuat saya jadi lebih percaya bahwa kaffah ternyata bukan perkara yang utopis. Dia bukan cuma sekadar gagasan di awang-awang saja.

Kepada negara, sekalipun melibatkan emosi paling dalam tetap saja itu bukan soal keyakinan. Negara dan isi-isinya tetap saja sebatas perkara kebendaan indrawi yang sama sekali tidak setara apabila dibandingkan keyakinan agama.

Apalagi kalau kita sadar bahwa negara adalah produk dari proses politik yang di dalamnya berputar-putar kepentingan subjektif kelompok tertentu. Sulit menemukan titik inti di mana perasaan cinta itu harus ditautkan.

Akhirnya biar ringkas, banyak orang hanya bolak-balik bicara ideologi-ideologi, yang sebenarnya hanya rumusan nilai hasil olah pikir seseorang. Tanpa berupaya menjelaskan hal demikian menjadi sesuatu yang bisa disentuh, diraba, dan diterawang.

Barangkali kita semua pernah mendengar idiom jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan kepada negara. Hm, terlihat heroik memang, apalagi kalau yang bicara suaranya menggelegar.

Ada dorongan kepada siapa pun untuk memberi (minimalnya) atau berkorban (maksimalnya) atas nama negara. Di sinilah tidak adanya pencerahan kepada siapapun itu, berkorban atas nama negara? Pada poin mana di dalam negara tersebut pengorbanan itu ditautkan? Pada masyarakatnya? Pemerintahannya? Ideologinya? Peraturannya? Sukunya? Atau warisan nenek moyangnya?

Atas nama negara saja tidak memberi jawaban terhadap pengorbanan tersebut kecuali (mungkin) gelar pahlawan, itu juga kalau disetujui oleh penyelenggara negara.

Bernegara pada dasarnya hanyalah konsep berkehidupan sosial pada wilayah tertentu yang lebih modern dari bentuk sebelumnya.

Dari kesukuan menjadi kerajaan, dari kerajaan menjadi negara. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh dinamika masyarakat yang senantiasa berkembang dalam melihat keadaan sosial bermasyarakatnya.

Saya tidak banyak tahu sebab-musabab kelahiran semua negara di dunia ini, tapi hampir banyak negara lahir untuk melepaskan diri dari situasi penjajahan ketimbang sebaliknya.

Pasca-merdeka, lahir nama negara baru, diaturlah orang-orang di wilayah itu dengan sistem baru. Lalu didogmakan kepada orang-orang itu sebuah rasa cinta kepada nama negara baru sampai orang-orang itu berteriak harga mati-harga mati dan siap mati atas nama negara tersebut.

Lalu semua orang pun bilang: itulah nasionalisme, bukan ekstremisme. Padahal pada tingkat tertentu, keduanya terlihat sama saja.

Exit mobile version