Perlukah Menjadi Nomor Satu?

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.CO – Di dunia media, sebagaimana pada dunia lain, terjadi semacam kompetisi. Semua perlu memacu diri untuk menjadi nomor satu. Tapi sebetulnya, apakah perlu menjadi nomor satu? Pentingkah itu?

Dalam taraf tertentu, saya tidak menolak bahwa kompetisi itu perlu. Terutama untuk memacu produktivitas dan kreativitas. Tapi pada taraf tertentu pula, hal itu bisa batal. Sebab produktivitas dan kreativitas bisa dipacu dari sekian sudut yang lain. Misalnya saja dari sudut ingin melakukan yang terbaik, perlu mengerjakan tantangan yang lebih dinamis, menginginkan capaian yang lebih tinggi. Kompetisi bukan satu-satunya cara untuk membuat kita lebih baik.

Dunia spiritual yang mestinya membuat orang lebih matang dan lapang memandang kehidupan pun tidak kalah seru dijadikan alat pacu semacam perlombaan. Masuknya orang ke surga, misalnya, seolah bisa dicapai dengan menggagalkan orang lain memasukinya. Jadi ada semacam sindrom jika kita masuk surga, dengan begitu pasti mengeliminasi orang lain, dan orang itu masuk ke jurang neraka. Kok sepertinya surga milik Tuhan itu punya limitasi yang kaku. Semacam saringan atau ayakan. Seolah Tuhan tidak bisa memasukkan semua hambanya ke dalam surga.

Saya tidak tahu, kenapa sejak kecil tak pernah tertarik dengan kompetisi. Saya memang pernah juara dalam beberapa hal. Pernah meraih penghargaan yang tercipta karena kejuaraan. Tapi rasanya, saya belum pernah merasa bangga karena hal seperti itu. Ketika awal menjadi penulis, yang saat itu tentu ketat persaingannya, saya suka jika karya saya dimuat oleh media massa. Suka karena karya saya dibaca. Suka karena saya semacam punya bekal keyakinan bisa hidup dari dunia menulis. Tapi tidak ada perasaan bahwa saya bangga karena orang lain di saat yang bersamaan mesti menerima kenyataan kalau karya mereka “kalah” dalam kompetisi di meja redaktur melawan karya saya.

Kompetisi “kuno” itu sekarang makin tidak relevan lagi. Semua orang sekarang ini dengan mudah akan bilang perlunya kolaborasi, bukan kompetisi. Di berbagai bidang, kita sering mendengar frasa “iklim yang sehat” atau “ekosistem yang mendukung”. Pilihan kata “iklim” dan “ekosistem” menunjukkan betapa kompetisi itu kasta paling rendah sebagai modus eksistensi lembaga atau manusia. Dunia buku tidak dibangun oleh penerbit sebesar grup Gramedia atau Mizan. Dunia itu juga dibangun secara dinamis oleh penerbitan-penerbitan skala menengah, kecil, bahkan indie.

Demikian juga dengan media digital. Dunia ini semarak karena ada banyak media yang ikut membangunnya. Memberikan kontribusi sesuai dengan kapasitas masing-masing. Kita bisa belajar dan saling memengaruhi satu sama lain, baik dari kisah gagal maupun kisah sukses. Di titik ini bahkan, kegagalan saja tidak perlu dianggap aib. Ia menjadi modalitas pembelajaran bersama.

Hal yang justru perlu diperhatikan, menurut saya, ada pada posisi dan penempatan diri. Diferensiasi, dalam pengertian yang paling sederhana, sebetulnya kejelian kita dalam menentukan di mana letak kita yang paling tepat dalam sebuah ekosistem. Letak kita yang presisi dan kokoh di satu titik, bisa ikut memberikan kontribusi pada ekosistem itu. Saya bahkan menganggap, demokrasi sebagai pilihan sistem politik, substansinya bukan pada kompetisi melainkan pada aspirasi dan partisipasi. Kita kehilangan roh demokrasi jika dua hal itu tidak bisa kita penuhi. Kita tak sanggup menyuarakan aspirasi dan gagal dalam berpartisipasi.

Pandemi corona yang sedang terus mengancam umat manusia makin meneguhkan hal ini. Memang selalu ada pihak yang mencoba mengambil untung dalam setiap bencana. Tapi hampir semua gelombang publik, mencoba untuk ikut berpartisipasi menyelesaikan dan mengatasi persoalan pandemi itu. Kalau tidak, rasanya kemanusiaan kita tanggal. Bahkan ketika kita memberikan kritik pun, muasalnya jelas, bukan karena kebenciaan atau ketidaksukaan. Tapi karena kita punya gagasan, punya aspirasi, untuk ikut memperbaiki keadaan.

Hari ini, wajah Mojok mendapatkan penyegaran. Itu tidak ada hubungan dengan sedang berkompetisi. Ini upaya organik untuk terus memperbaiki diri, mencoba memberikan yang terbaik buat pembaca, dan secara internal melakukan setapak langkah maju. Sebab kejumudan adalah musuh besar kreativitas. Produktivitas tak bisa dilalui dengan berjalan di tempat. Kita semua butuh bergerak. Progresi. Mencoba memasuki ruang-ruang baru, dan melebarkan imajinasi.

Jika ini adalah sebuah perjalanan panjang, kami tidak pernah hadir untuk menjadi ancaman. Kami ingin menjadi kawan yang hangat, sehingga perjalanan ini terasa begitu menyenangkan.

BACA JUGA Lockdown Mandiri ala Kampung di Yogya dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version