Perjuangan Angkatan 2019 Lebih Berat Dibanding Angkatan 1998

jokowi pandemi virus corona sri mulyani bpjs kesehatan agus mulyadi gibran rakabuming calon wali kota solo mojok.co dijatuhkan presiden jokowi puthut ea opini tulisan nonfiksi esai mojok.co analisis politik angkatan 2019

jokowi pandemi virus corona sri mulyani bpjs kesehatan agus mulyadi gibran rakabuming calon wali kota solo mojok.co dijatuhkan presiden jokowi puthut ea opini tulisan nonfiksi esai mojok.co analisis politik angkatan 2019

MOJOK.COSaya percaya, angkatan 2019 akan merebut kemenangan, dengan cara dan gaya mereka.

Sejarah adalah milik kaum muda. Di Indonesia, kaum muda biasanya direpresentasikan oleh mahasiswa. Saya tidak perlu membaluri tulisan ini tentang agen perubahan dan hal klise semacam itu.

Saya mau memulai dari sebuah analisis dasar, kenapa perjuangan mahasiswa angkatan 2019 lebih berat dibanding angkatan 1998.

Pada saat angkatan 1998 muncul, sejatinya sudah ada semacam “institusionalisasi oposisi”. Misalnya PDI Megawati saat itu dengan tragedi Kudatuli.

Lembaga-lembaga perlawanan mahasiswa juga mulai menemukan bentuknya. Lembaga swadaya masyarakat sedang naik tangga. Oposisi personal pun terasa, dari mulai Amien Rais, Gus Dur, Cak Nur, dll.

Bangunan rezim Soeharto juga sudah mulai retak. Militer terpecah. Tentu saja faktor yang tak kalah pentingnya waktu itu, krisis ekonomi sedang terjadi.

Tapi angkatan 2019 menghadapi era konsolidasi oligarki. Penyatuan elite politik-ekonomi sedang terjadi. Semacam berbagi jatah kemewahan.

Di sisi lain, tidak ada organisasi oposisi yang sejati. Prabowo-Sandi dalam konteks ini, bukan oposisi sejati. Mereka bagian dari oligarki yang bertarung untuk memastikan siapa yang memimpin secara formal negeri ini.

Sementara itu, struktur gerakan sektoral juga sedang lemah. Termasuk lembaga perlawanan mahasiswa sendiri. Mereka sangat terkooptasi. Istilahnya, mereka “dipelihara oleh abang-abangan alias senior sendiri”.

Di sisi lain, mahasiswa 2019 ada pada fase “depolitisasi” yang sesungguhnya. Uang kuliah mahal. Kampus disterilkan dari aktivitas malam. Memang hal ini pernah terjadi di era Soeharto dengan NKK/BKK. Tapi faktor kampus sebagai sektor industrial dengan segala hal yang mahal, tidak terjadi saat itu.

Dan hal lain adalah tidak ada proses krisis ekonomi, yang ada adalah sinyal menuju perlambatan ekonomi. Lembaga-lembaga lain seperti lembaga sektoral dan LSM juga sedang dalam kondisi yang lemah (itu pula yang menyebabkan petinggi-petinggi mereka mesti dekat dengan kekuasaan).

Dari situ jelas ada perbedaan tantangan besar antara angkatan 2019 dengan 1998. Dari situ pula kita tahu, mahasiswa angkatan 2019 punya tantangan yang lebih berat dan kompleks.

Sehingga ketika kita melihat dalam beberapa hari ini, gelombang aksi demostrasi merebak, bergelombang, membuat banyak pihak kaget. Bagaimana bisa, generasi yang sedang diproses dalam kampus dengan kecenderungan industrialis, mampu bergerak dengan terorganisir, solid, dan militan.

Mereka bukan hanya mampu membantah bahwa ada pihak yang mampu menyetir apalagi menunggangi gerakan mereka. Tapi juga punya struktur argumen yang kuat dan pemikiran yang fundamental.

Saya tidak akan ikut menakut-nakuti mereka dengan peringatan awas gerakan mereka akan disabotase elite politik. Tidak. Saya yakin mereka bisa menyingkirkan anasir itu dengan cerdik.

Saya juga tak perlu terlalu khawatir bagaimana proses yang akan mereka gunakan untuk mengawal seandaninya elite politik “berkompromi” untuk mengulur waktu. Saat gerakan mereka melemah, oligarki akan kembali menunjukkan sisi buas dan rakusnya. Saya percaya mereka bisa mengatasinya.

Saya juga makin yakin mereka bisa mengatasinya karena punya peranti dan kreativitas yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Saya percaya, mereka akan merebut kemenangan, dengan cara dan gaya mereka.

BACA JUGA Demonstrasi Itu Biasa Saja atau artikel rubrik KEPALA SUKU lainnya.

Exit mobile version