Membaca Upaya Pencalonan Tuan Guru Bajang pada Pilpres 2019

KEPALA SUKU-MOJOK

KEPALA SUKU-MOJOK

Menarik membaca upaya dan peluang Muhammad Zainul Majdi atau lebih dikenal sebagai Tuan Guru Bajang (TGB) dalam pacuan Pilpres 2019. Dia datang ke medan pacu dengan empat kekuatan: bukan orang Jawa, masih muda, punya prestasi dua kali menjadi gubernur, dan punya latar-belakang sebagai figur ulama yang kuat.

Mari kita mulai dari hal pertama, dia bukan dari kalangan Jawa. Semua orang sepakat bahwa Indonesia ini bukan hanya Jawa. Dan semua orang pasti sepakat bahwa Presiden boleh dari suku dan agama apapun. Tapi kita seakan mengamini saja bahwa potensi terbesar menjadi presiden di republik ini seakan harus orang Jawa, dan seakan harus orang Islam.

Hal yang sama muncul pada potensi calon aduan dalam Pilpres tahun 2019. Mari kita lihat daftar berikut ini: Jokowi, Prabowo, Gatot Nurmantyo, Cak Imin, Anies Baswedan, AHY, Sri Mulyani, Romahurmuziy, dll.

Tentu saja ini situasi yang tidak terlalu sehat. Terlebih kalau baru hanya calon panjang saja, nama-nama dari luar Jawa tidak kuat. Maka bagaimanapun menarik untuk terus menautkan hajatan politik besar ini dengan nama-nama dari luar Jawa seperti Mahfud MD (Madura), Zulkifli Hasan (Lampung), dan tentu saja TGB. Sehingga politik bukan semata kesepakatan di atas kertas bernama peraturan, tapi juga pada praktek nyata.

Dalam soal calon, entah itu Capres maupun Cawapres dalam daftar panjang yang ada, kita patut gembira karena ada beberapa nama yang masih muda seperti Anies Baswedan, AHY, dan tentu saja TGB. Usia TGB tahun ini, baru 45 tahun. Usia yang sangat pas untuk memimpin. Tidak terlalu muda, tapi juga belum bisa disebut tua.

TGB juga memiliki pengalaman memimpin nisbi baik serta berprestasi. Dia memimpin sebagai Gubernur NTB hampir dua periode. Artinya, dari sisi pengalaman administratif pemerintahan, bekalnya cukup besar. Dan semenjak Jokowi menjadi Presiden, tren pemimpin dengan latar belakang dari pemimpin daerah cukup menarik karena dianggap punya dasar memimpin teritori dan tidak asing dengan aturan administratif, plus punya pengalaman dalam bidang manajerial pemerintahan.

Dan yang terakhir, ini sangat menarik juga: TGB datang dari latar belakang ulama. TGB merupakan cucu dari ulama terpandang yakni TGH M. Zainul Abdul Madjid atau lebih dikenal sebagai Tuan Guru Pancor, yang dikenal sebagai pendiri organisasi Islam terbesar di NTB: Nahdlatul Wathon (NW).

Bukan hanya dari sisi keturunan, dari sisi pendidikan pun kapasitas TGB tidak perlu dipertanyakan lagi. Dia menyelesaikan S2 dan S3 di universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Dengan latar belakang seperti itulah, Indonesia pantas merasa gembira karena politik selalu bisa bersanding dengan ulama. Artinya semua golongan dalam memproduksi pemimpin, terus bermunculan. Baik dari sisi birokrat, aktivis-politikus, saudagar, termasuk ulama.

Tentu saja, pencalonan TGB mulus. Misalnya kalau dari sisi representasi kelembagaan Islam, ada nama lain yang lebih kuat: Cak Imin dan Romahurmuziy. Mereka berdua jelas memimpin sebuah partai politik dengan basis pemilih Islam. Dari sisi magnet intelektual, tentu Anies Baswedan dianggap punya daya tarik lebih, selain itu juga Anies pernah dalam sorotan lampu politik terbaik pada laga Pilkada DKI. Kalau dari sisi usia muda, tentu saja AHY lebih gampang disorot. Selain memang lebih muda AHY 5 tahun, putra sulung SBY ini juga mewarisi trah keluarga Partai Demokrat.

Tentu saja sekian hal di atas, hanyalah tantangan politik yang bisa menjadi peluang bagu TGB untuk terus melaju dalam kandidasi Pilpres, entah sebagai Capres maupun Cawapres. Sungguh sangat mungkin, dengan sekian potensi, juga upaya kuat yang selama ini ditempuh (salah satunya dengan membangun pasukan dunia maya yang kuat), plus keberuntungan, jalan politik TGB bisa bersinar dan lapang. Tak ada yang tak mungkin dalam politik.

Exit mobile version