Ada banyak teman saya yang punya masalah merokok di rumah. Sebetulnya ini bukan hal yang istimewa banget di kehidupan ini. Bukan hanya merokok, mungkin ada juga orang yang tidak minum alkohol di rumah atau makan daging-dagingan di rumah. Tapi kasus paling besar yang saya temui di pergaulan saya adalah tidak boleh merokok di rumah, baik oleh istri/suami maupun terutama oleh anak.
Kalau larangan itu dari pihak istri/suami, biasanya nisbi mudah penyelesaiannya. Seiring dengan usia pernikahan, tentu itu mudah ditemukan. Beberapa hari lalu, saya sempat mencuitkan soal beberapa teman saya yang tidak boleh merokok di rumah oleh istri mereka. Sebut saja namanya, Patub. Dia gitaris grup band yang sangat terkenal. Di rumah, dia tidak boleh merokok sama istrinya. Tapi di luar rumah, diperbolehkan. Walhasil, setiap hari dia mencari cara dan alasan agar bisa keluar dari rumah. Sampai rumah, mandi, dan kemudian baru bercengkerama dengan keluarga.
Bayangkan seandainya Anda menjadi dia. Ketika terbangun tengah malam, mendapatkan inspirasi atau memikirkan sesuatu. Lalu membuat secangkir kopi atau segelas teh nasgitel. Kemudian Anda minum di ruang makan. Pastilah ingin merokok. Terpaksa Anda keluar dari rumah, menyusuri sepinya jalanan sambil merokok. Ya lumayanlah… Lumayan menderita.
Teman saya yang dosen UGM juga mengalami hal yang sama. Bedanya, dia masih boleh merokok di luar rumah. Artinya di halaman depan sudah boleh. Jadilah dia punya tempat kongkow di bawah pohon belimbing. Ndepipis sendirian setiap malam jika sedang merokok. Sejak itu, teman saya itu punya ide belajar ngobrol dengan pohon belimbing.
Tapi yang paling sulit dihadapi tentu saja bukan larangan merokok dari istri/suami melainkan dari anak. Semua pria atau wanita perokok banyak yang mengakui hal itu. Nah, bagaimana kiat menghadapinya? Saya punya seorang anak laki-laki, usianya hampir 10 tahun, anaknya kritis, sebut saja namanya Kali.
Belajar dari Masa Lalu
Anda yang sekarang berusia sekitar 40 sd 50 tahun, mungkin bisa merefleksikan apa yang terjadi di kehidupan kita dulu. Kampanye antirokok sangat masif di Indonesia, dimulai pada awal tahun 80an. Terutama tentu lewat media massa. Sehingga bagi Anda yang suka membaca sejak kecil, maka jujurlah, mungkin Anda juga dulu termasuk orang yang merokok seperti orangtua Anda.
Saya juga. Saya ingat persis, sejak kelas empat SD, saya sudah sering meminta Bapak saya yang kala itu merokok, untuk membaca berita-berita tentang bahaya merokok. Tapi ingat, kadang kala kesadaran atas bacaan belum tentu sepenuhnya bisa mencegah rasa ingin tahu seorang anak. Hayo, jujur saja, siapa yang di rumah melarang orangtuanya merokok tapi diam-diam mencobanya?
Saya juga melakukan hal yang sama. Di rumah, saya mencoba melarang Bapak untuk merokok, tapi di luar rumah, saya dan teman-teman sepermainan saya belajar merokok. Entah lewat rambut jagung yang digulung dengan kertas, atau lewat sebatang rokok yang diam-diam kita ambil dari milik orangtua kita.
Dengan cara seperti itu, kita sepenuhnya tahu bahwa tidak ada dorongan tunggal dalam diri anak. Di satu sisi mereka mendapatkan asupan informasi entah dari media, dari sekolah, dari guru ngajinya, atau dari sumber yang lain. Sementara di sisi yang lain, sebetulnya mereka ingin tahu, bahkan ingin mencoba. Karena kita sadar bahwa anak di bawah umur seyogianya tidak mencoba merokok, maka kita bisa memasuki rasa ingin tahu mereka.
Ruang itu yang terbuka saya obrolkan dengan Kali. Saya pertama bertanya kepadanya, dari mana dia tahu kalau merokok itu merokok itu tidak baik. Misalnya dia bilang dari seorang ustaz di sebuah saluran yang didapat dari Youtube. Saya tonton ceramah yang dimaksud. Isinya kurang-lebih begini: “Kalau bapak-bapak bilang merokok itu baik, coba sekarang bapak-bapak kasih rokok yang bapak-bapak punya kepada anak kalian! Suruh mereka merokok! Bapak-bapak mau? Kalau tidak mau, itu tandanya merokok itu tidak baik!”
Saya tidak akan mendebat soal rokok itu baik atau tidak. Kalau ditelaah mentah-mentah, pernyataaan itu seolah benar, tapi kalau disimak secara keilmuan, saya mendapati ‘kesesatan berpikir’ atau logical fallacy dalam pernyataan tersebut. Lalu saya ambil sebungkus rokok dan saya minta Kali membaca peringatannya. Di bungkus rokok tertera bahwa rokok tidak untuk dikonsumsi untuk anak di bawah usia 18 tahun. Kali yang kritis itu menjawab, kalau pada usia di bawah 18 tahun saja tidak boleh, berarti pada usia di atasnya tentu juga tidak boleh.
Saya tidak perlu mendebatnya. Biasa saja. Kita mestinya senang dong dengan anak yang kritis. Saya lalu mencontohkan, “Bapak bisa menyetir mobil dan sepeda motor. Sebetulnya Kali kalau Bapak ajari sekarang ini atau tahun depan, tentu bisa. Tapi kenapa Bapak tidak mengajarinya? Karena Kali masih belum diperbolehkan secara hukum. Jadi ada sesuatu di hidup kita ini yang memang belum boleh dilakukan di umur tertentu. Jadi kalau Kali belum boleh merokok di usia sebelum 18 tahun, itu mirip dengan Kali belum boleh menyetir mobil atau sepeda motor di usia sebelum 17 tahun.”
Itu kan kalau menyetir mobil. Merokok kan soal seperti makanan atau minuman. Demikian bantah Kali. “Sama saja. Bapak penyuka makanan pedas. Sementara Kali belum bisa makan makanan pedas. Bolehkah Bapak memaksa Kali untuk makan makanan pedas?”
Bocah itu menggelengkan kepala.
“Apakah makanan pedas itu buruk atau karena Kali belum doyan?”
“Kali belum doyan.”
“Ya, mirip seperti itu.”
“Jadi Kali boleh merokok seandainya Kali sudah bisa merokok?” Tanyanya mencecar.
“Boleh. Tapi kena aturan harus di atas usia 18 tahun, sebagaimana yang tertera dalam bungkus rokok.” Lalu saya beritahu kepadanya, tulisan itu jelas terpampang di bungkus rokok. Kalau tertulis di sana, sudah jelas ada peringatannya.
Bocah itu mengangguk-anggukkan kepala. Hanya saja kita mesti jujur pada diri sendiri, mungkin kelak anak-anak kita akan belajar merokok sebelum usia 18 tahun. Yang tidak fair adalah dulu kita melakukan hal itu, tapi jika anak kita kelak melakukannya lalu bikin kita marah. Namanya juga remaja, pasti butuh coba-coba. Dan yang namanya coba-coba tidak lalu menjadi sebuah keputusan hidup. Saat saya anak-anak menuju remaja awal, saya punya semacam geng kecil. Isinya 8 sampai 10 anak. Kami diam-diam sering urunan membeli rokok, lalu merokok di sawah atau di pos ronda. Semua belajar merokok. Ketika dewasa, hanya tiga orang saja yang benar-benar merokok. Saya, salah satu di antara ketiga orang tersebut. Hidup itu tidak hitam-putih, melainkan berwarna dan dinamis.
Belajar berempati
Obrolan di atas, tentu belum cukup. Karena informasi dan labelisasi ‘perokok itu buruk’ dikampanyekan di mana-mana. Maka saya harus punya kiat lain. Utamanya yang menyoal rokok itu haram, misalnya.
Kita harus membiasakan diri setiap anak menerima informasi yang cukup. Jika ada seorang ustaz bilang merokok itu haram, kita juga beri dia informasi ada ustaz yang memperbolehkan alias hukumnya mubah atau boleh. Di dalam khazanah keislaman, banyak ulama yang berbeda pendapat dalam banyak hal. Cara kita mendidik anak bukan dengan ikut mengamini salah satunya, tapi memberitahu, ada lho ulama lain yang berbeda pendapat. Kalau ada dalam situasi seperti itu, hal pertama yang harus diakui adalah ada perbedaan pendapat. Kedua, silakan memilih pendapat yang Anda anggap benar dengan mengkajinya. Ketiga, tidak perlu menyalah-nyalahkan pihak lain.
Ulama yang melarang merokok pasti ulama-ulama hebat. Namun jangan salah, ulama-ulama yang memperbolehkan merokok juga ulama-ulama yang hebat. Kita ini baru dalam taraf belajar. Kita tidak boleh menyalah-nyalahkan ulama yang satu lalu membenarkan ulama yang lain. Ilmu kita masih cetek. Itu pesan saya kepada Kali.
Hal yang lain adalah saya mengajak dia berpikir sekaligus berempati. Kali kebetulan pernah saya ajak ke Munduk, di Bali Utara. Salah satu penghasil cengkeh terbesar dan kualitas terbaik. Cengkeh adalah bahan baku rokok yang sangat penting, lebih dari 96% cengkeh diserap oleh industri kretek kita. “Coba Kali, kalau mendadak rokok itu dilarang dan dianggap jahat, bagaimana nasib anak-anak yang bapaknya menanam cengkeh? Mereka butuh uang agar bisa menyekolahkan anak mereka sebagaimana Bapak juga butuh uang untuk menyekolahkan Kali. Coba kalau suatu saat menulis buku dianggap jelek dan tidak boleh lagi dilakukan, terus dari mana bapak mendapatkan uang untuk menyekolahkan Kali?”
Itu belum cukup. Saya ajak dia membaca soal perkebunan tembakau di banyak tempat. Di Indonesia, ada lebih darii 600.000 petani tembakau. “Mereka menanam tembakau. Uangnya dipakai untuk membiayai anak mereka sekolah, membangun masjid, pergi haji, membangun rumah. Coba bayangkan jika rokok tidak boleh diproduksi lagi. Coba bayangkan jika Kali hidup sebagai anak petani tembakau. Kita tidak boleh sewenang-wenang kepada orang lain, bukan? Bapak tidak mau, Kali jadi tukang cap orang baik dan orang buruk hanya karena orang itu merokok atau tidak, atau dari mereka menanam apa. Menanam cengkeh dan tembakau itu diperbolehkan di negeri ini. Itu mata pencarian banyak orang. Bagi mereka itu sumber rezeki. Kali bisa sekolah dan membeli mainan karena Bapak punya uang dari hasil menulis. Anak-anak petani tembakau dan cengkeh juga berhak sekolah dan membeli mainan, bukan?”
Kali mengerti. Semenjak itu, dia tidak pernah lagi bertanya-tanya soal merokok itu buruk atau haram. Bahkan kadang-kadang, saat saya sedang menulis, bocah itu membawakan bungkus rokok untuk saya, tanpa saya minta.
Membuka ruang kesepakatan
Kita juga harus membiasakan diri untuk membuka ruang kesepakatan. Misalnya, istri saya tidak keberatan saya merokok. Tapi saya harus tahu diri bahwa di banyak orang, asap rokok itu mengganggu. Maka tinggal disepakati saja, di ruang mana saya boleh merokok.
Kebetulan di rumah mungil keluarga kami ada dapur yang sekaligus ruang makan separuh terbuka. Di situ saya boleh merokok. Dengan syarat, saat makan bersama tidak boleh merokok. Setelah selesai makan, baru boleh merokok. Atau saya boleh merokok di ruang kerja saya, di sebuah ruang kecil di lantai atas.
Kalau sudah membangun kesepakatan, orang harus diajari untuk taat pada kesepakatan. Itu artinya, saya tidak boleh melanggar, di sisi yang lain, istri dan anak saya juga tidak boleh melanggar kesepakatan juga. Menusia beradab adalah manusia yang bisa membangun kesepakatan bersama.
Ini kelihatannya sepele, tapi sangat fundamental. Sebab kita tahu, kampanye apa pun, selalu memakai strategi oponen dan proponen di sekitar. Saya kebetulan orang yang sangat lama berkecimpung dalam dunia advokasi, jadi saya sangat kenal betul dengan strategi macam devide et impera ini.
Cara ini misalnya, dipakai oleh kebijakan apa pun. Misalnya soal tambang. Kalau terjadi penolakan atas tambang, maka salah satu strategi pengusaha tambang adalah menciptakan sekelompok kecil orang yang setuju. Kemudian mereka diadu. Lalu pihak pengusaha tambang atau aparat seolah masuk untuk ‘menengahi’. Padahal masalah itu muncul karena adanya tambang. Sebelumnya ya tidak ada perpecahan itu. Nah, kita kadang sering ikut tergelincir dalam hal semacam itu. Ada yang pro dan kontra. Padahal pro dan kontra itu muncul belakangan setelah ada masalah.
Dalam hal kampanye antirokok, hal yang sama terjadi. Makanya dulu ada istilah ‘perokok pasif’ yang katanya jauh lebih tidak sehat dibanding perokok itu sendiri. Tujuannya untuk menciptakan proponen dan oponen di lingkar terdekat. Lalu memakai dalih ‘hasil penelitian’. Sialnya, setelah benar-benar diteliti, ternyata hal itu tidak terbukti. Lebih sial lagi, kampanye macam itu masih saja dipakai. Kenapa begitu? Karena fakta atas kebenaran tidak lagi penting, yang penting kalah dan menang, apa pun caranya. Mau datanya tidak valid lagi pun masih terus dipakai.
Namun, kita juga harus menyadari bahwa masih banyak perokok yang berbuat tidak baik. Merokok di tempat yang tidak diperbolehkan. Membuang puntung rokok sembarangan (walaupun hal seperti ini sama dilakukan oleh orang-orang yang membuang sampah sembarangan, tapi perokok selalu lebih diawasi dibanding yang lain). Atau yang lebih menyebalkan lagi, orang merokok di kendaraan, lalu membuang abu dan puntung rokoknya sembarangan, yang menyebabkan bahaya bagi orang lain.
Perokok seperti itu perlu ditegur. Bahkan sebaiknya ditegur oleh para perokok itu sendiri, karena itu akan merugikan para perokok yang lain, yang kemudian tertempel stigma bahwa perokok itu kelakuannya tidak baik, hanya karena beberapa gelintir orang yang berperilaku gegabah. Makanya, kampanye ‘perokok santun’ itu perlu terus digalakkan dan disebarluaskan. Seseorang tidak menjadi jahat hanya karena merokok. Tapi perilaku merokok yang sembarangan harus mendapatkan teguran. Kalau perlu hukuman. Sebagaimana orang yang membuang sampah sembarangan.