Hal Pertama yang Ingin Dilakukan setelah Indonesia Bebas Corona

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.COSejak beberapa hari lalu, banyak berseliweran pertanyaan di media sosial tentang apa yang ingin dilakukan orang jika pandemi corona ini berakhir di Indonesia.

Jawabannya bermacam-macam. Ada yang ingin memeluk teman-temannya, ada yang ingin kumpul makan-makan, ada yang ingin bersujud di kaki ibunya, ada yang ingin pergi ke mal, dan banyak lagi yang lain. Pertanyaan seperti ini selalu mengundang banyak respons. Menunjukkan bahwa banyak orang sudah bosan di rumah sekaligus berharap corona segera enyah.

Saya termasuk orang yang tidak berani menjawab pertanyaan ini, walaupun merasakan hal serupa yang dirasakan oleh banyak orang. Pertama, saya tidak terlalu mau memberi iming-iming yang berlebihan pada diri sendiri. Hal itu bisa membuat saya dalam kondisi makin tidak sabar agar masalah ini cepat berlalu. Padahal dari sekian artikel yang saya baca untuk kondisi di Indonesia, nyaris tidak ada yang bisa memberi jaminan pasti. Ada yang bilang 6 bulan lagi, ada yang bilang satu tahun lagi. Mau 6 bulan atau satu tahun, itu waktu yang nisbi lama untuk psikis yang sudah tidak cukup sehat ini.

Kedua, berlalunya pandemi bukan berarti masalah kita tuntas. Ada banyak hal secara sosial dan ekonomi yang segera harus diperbaiki dan dipulihkan. Sebagai orang yang memimpin sebuah lembaga dan punya beberapa bisnis kecil-kecilan, tentu saya lebih realistis dalam memandang hal ini. Dampak pandemi corona ini terjadi di hampir seluruh dunia. Semua negara mencoba menangani persoalan ini. Itu artinya, implikasi ekonomi yang terjadi tentu berskala dunia. Dengan begitu, secara logika, penanganan pemulihannya tidak mudah. Pasti butuh waktu. Bagi usaha kecil, tentu makin butuh waktu lagi.

Ketiga, sekalipun ini masih dalam tahap berita, belum informasi yang akurat, konon sudah muncul lagi pandemi corona gelombang kedua. Saya jujur saja tidak mau memikirkan hal ini walaupun media yang mengabarkan sangat bisa dipertanggungjawabkan. Masalahnya adalah kalau hal ini saya pikir, daya tahan psikis saya tak mampu menyangganya. Saya pada akhirnya akan melakukan sebagaimana strategi sebagian besar orang: dihadapi satu per satu. Corona dihadapi. Selesai. Dampak sosial dan ekonomi dihadapi lagi. Selesai. Jika muncul gelombang corona kedua, ya dihadapi lagi. Mau bagaimana lagi? Kalau corona bisa dihindari, kita sejak dua bulan lalu pasti mencoba menghindarinya, bukan?

Jadi saya tidak sanggup menjawab pertanyaan sederhana yang viral itu, walau mungkin bisa membuat kita sejenak melepas lelah dari keadaan melawan corona yang rasanya nggak segera selasai.

Pagi ini saya mencoba untuk berani memikirkan pertanyaan itu. Apa yang kira-kira akan saya lakukan jika pandemi corona ini berakhir? Dan ternyata, saya butuh waktu panjang untuk menjawabnya. Pertanda, pertanyaan yang sepintas tampak sederhana ini, ternyata jawabannya tidak mudah bagi saya.

Jujur saja, saya rindu pantai. Saya bisa saja memilih pergi ke Bali, yang tentu saja masih sepi karena pasti sektor pariwisata bakal lambat pulihnya. Orang liburan butuh uang. Atau saya ke Pulau Haruku, menginap di Rumah Kewang milik Om Elly, yang letaknya persis di bibir pantai. Makan ikan sepuasnya. Memancing. Dan di sela-sela itu menulis sambil tetap mengerjakan pekerjaan kantor. Tapi kalau ke Bali, pasti anak-istri maunya ikut. Mereka bisa ngambek kalau tidak saya ajak. Padahal saya ingin sendirian. Tidak diganggu siapa pun. Sementara saya tahu, anak saya yang sebentar lagi ulang tahun ke-8, pasti memilih sekolah, bukan karena dia suka sekolah melainkan karena rindu teman-teman dan guru-gurunya.

Kalau saya pergi ke Haruku, pasti lama. Saya tidak bisa sebentar di sana. Sementara saya tahu persis, teman-teman di kantor sedang dalam proses transisi yang membutuhkan kehadiran saya. Dan bisnis kecil saya pun tidak mungkin ditinggalkan dalam situasi seperti itu, karena begitu corona pergi, pastilah teman-teman ingin segera bangkit lagi menggerakkan bisnis sekuat tenaga agar karyawan tetap gajian.

Ternyata tidak mudah bahkan untuk sekadar menjawab pertanyaan sederhana itu, karena imbas pandemi corona ini terlalu kompleks. Saya berhak melakukan apa yang saya sukai, tapi di sisi lain, saya seorang pemimpin, baik pemimpin lembaga maupun pemimpin rumah tangga. Seorang pemimpin tidak mungkin merasa nyaman bersenang-senang dalam situasi di mana orang-orang di sekitarnya tidak sedang bisa melakukan hal itu.

Akhirnya toh setelah saya berusaha menjawab pertanyaan itu, tetap saja gagal memberikan jawaban seusai dengan keinginan saya. Kalau saya teruskan mencoba menjawabnya, ternyata saya makin capek.

Makin capek lagi, ketika ingat kalau pandemi corona ini tak pernah benar-benar saya ketahui, akan berakhir seperti apa dan dengan cara bagaimana.

BACA JUGA Ketika Corona Memberi Jeda dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version