Dua Jenis Mudik dan Perlukah Mudik Dilarang?

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.COHal pertama yang mesti kita pahami adalah dalam konteks sekarang ini, ada dua jenis mudik. Mudik kultural dan mudik ekonomi.

Salah satu isu yang mengemuka dari dampak pandemi corona kemarin adalah pernyataan Presiden Jokowi soal mudik. Memang ada pernyataan dari Jubir Presiden Fadjroel Rachman yang direvisi Mensesneg Pratikno. Tapi pada dasarnya, secara substansif sama. Pemerintah tidak melarang mudik, namun masyarakat diimbau agar tidak mudik. Jika mudik, wajib dilakukan karantina di kampung selama 14 hari.

Kalau kita telusuri dari sisi keruntutan kebijakan, imbauan itu sebetulnya tidak bertentangan dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai strategi besar pemerintah dalam menangani pandemi corona. Tidak ada larangan warga untuk bergerak, termasuk dalam mudik. Yang ada adalah imbauan untuk tetap bekerja, belajar, dan beribadah di rumah serta menjaga jarak fisik jika mesti keluar dari rumah.

Hal pertama yang mesti kita pahami adalah dalam konteks sekarang ini, ada dua jenis mudik. Mudik pertama, kita sebut saja mudik kultural. Apa itu? Mudik yang dilakukan menjelang Lebaran sebagai bagian dari tradisi masyarakat kita selama puluhan tahun. Mudik kedua, kita sebut saja mudik ekonomi. Mudik yang sudah berhari-hari ini terus terjadi, yang disebabkan oleh faktor ekonomi karena pandemi. Saat bisnis ambruk, hilang pekerjaan, dan sekian hal lain lagi. Dengan mudik, diharap beban hidup di kota bisa dikurangi dengan cara hidup di desa.

Dengan dua definisi itu kita tahu bahwa motif kedua mudik itu berbeda. Walaupun ada kemungkinan terjadi irisan di antaranya yakni mudik kultural jadi satu dengan mudik ekonomi. Yaitu ketika orang pulang kampung saat mau Lebaran sekaligus di saat itu memutuskan untuk tetap tinggal di kampung dalam waktu lama karena ekonominya memburuk.

Hemat saya, sebetulnya khusus untuk mudik kultural, karena masih agak lama terjadi, pemerintah menurut saya bisa saja tegas: tidak perlu mudik. Secara jumlah, kemungkinan mudik ini besar sekali dibanding mudik ekonomi. Tentu saja bahasanya, sebagai implikasi dari strategi PSBB, bahasanya tidak bisa berupa larangan. Namun, pemerintah bisa membangun mekanisme dan prosedur yang membuat mudik kultural tidak terjadi secara besar-besara. Ditekan sampai batas minimal yang masih mungkin. Bagaimana caranya? Tentu pemerintah lebih tahu. Karena ia yang punya perangkat dan instrumen kekuasaan.

Menurut saya, yang agak sulit adalah menghambat mudik ekonomi, yang sudah mulai terjadi beberapa hari belakangan ini. Sebab kebijakan negara dalam berbagai bentuk yang sudah dicanangkan oleh pemerintah tidak bisa langsung diaplikasikan untuk menyelamatkan perekonomian mereka. Bisnis mereka sudah terlebih dulu rontok jauh hari. Dan mungkin jenis mudik ekonomi ini akan terus terjadi beberapa minggu ke depan. Saya ambil contoh, ada ribuan pedagang kaki lima yang bisnis mereka mandek. Untuk tetap tinggal di kota besar, sudah tidak memungkinkan. Untuk membuat bisnis itu berjalan, tentu persoalannya kompleks. Tidak tiba-tiba kebijakan pemerintah membuat solusi lalu pedagang kaki lima itu langsung bisa berdenyut lagi. Sulit rasanya membayangkan tiba-tiba masyarakat kita akan berduyun-duyun membeli sate, soto, atau pecel lele sehingga perekonomian para pedagang kaki lima langsung bisa menuju ke arah pemulihan.

Mudik mereka pun sebetulnya juga meninggalkan persoalan besar. Setidaknya dari berbagai berita, sudah terjadi puluhan ribu (mungkin angkanya sekarang ini bisa saja sudah ratusan ribu orang) yang mudik karena faktor ekonomi, dan mungkin akan terus terjadi. Dan mereka menuju ke berbagai daerah di Pulau Jawa dan Madura. Memang sudah ada antisipasi pemerintah daerah dengan prosedur yang ada. Tapi jika dilihat dari data dan kesiapan setiap daerah, yang lolos dari penapisan itu pasti jauh lebih besar lagi. Selain tenaga dan teknisnya tidak mudah, jumlah pemudik ekonomi ini banyak dan menggunakan beragam moda transportasi.

Persoalan lain adalah, daya dukung kesehatan di daerah, tidak sama dengan di kota-kota besar. Jika di kota-kota besar saja masih banyak persoalan medis dalam penanganan corona, apalagi di daerah. Dan setiap daerah memiliki karakter yang berbeda pula dalam menghadapi kenyataan soal pandemi ini. Ada banyak berita soal penolakan pemakaman jenazah yang terindikasi karena corona yang ditolak dimakamkan di daerah tersebut. Itu baru satu soal. Tersisa banyak soal lain, misal tentang bagaimana daya dukung daerah secara ekonomi untuk bisa menjamin mereka tetap bisa hidup layak.

Itu artinya, kita semua mesti waspada terhadap dampak sosial. Kepanikan warga, belum padunya sistem informasi dan prosedur, serta perubahan kultur di setiap daerah, menjadi sekian banyak variabel yang mesti diperhatikan. Tentu itu tidak mudah. Pemerintah daerah dalam hal ini bupati sampai kepala desa, benar-benar akan menjadi ujung tombak menangani persoalan sosial semacam ini.

Tidak ada yang mudah memang dalam situasi sekarang ini. Kompleks. Apalagi menurut BNPB, bulan ini belum mencapai bulan puncak pandemi. Kita berkejaran dengan waktu. Dan kita butuh para bupati dan kepala desa yang sigap dan cepat dalam merespons persolalan itu. Mestinya, sorotan dan energi pemerintah pusat juga mulai diarahkan ke sana. Jika tidak, masalah bisa makin runyam.

BACA JUGA Orang-orang Mulai Kehilangan Pekerjaan dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version