2024: Ketika Saya Bertemu Presiden Jokowi

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.COSehari setelah Pilpres 2024 dihelat, saya diberi kesempatan bertemu dengan Presiden Jokowi. Mojok dipilih sebagai media pertama yang melakukan wawancara khusus dengan Presiden Jokowi. Saya sendiri yang langsung mewawancarainya.

Di luar dugaan saya, wawancara dilakukan di Yogya, dan Presiden Jokowi memilih melakukan wawancara di sebuah angkringan kecil di salah satu sudut UGM pada waktu bakda Asar. Beliau baru saja dari Solo, ziarah ke makam Sang Ibu, lalu menuju Yogya, malam ini, berencana menghinap di Istana Presiden di Yogyakarta. Esok paginya, langsung kembali terbang ke Jakarta.

Hujan baru saja berhenti. Mobil saya diperiksa dua kali. Pertama di gerbang UGM, kedua oleh tim Paspampres. Angkringan kecil itu seakan sudah “dikondisikan” untuk dipakai wawancara. Mendung masih tebal. Hanya beberapa Paspampres yang terlihat. Saya diantar ajudan Presiden Jokowi memasuki tenda angkringan.

Di dalam tenda hanya ada kami bertiga, Presiden Jokowi, saya, dan penjual angkringan yang sumeh, yang dengan cekatan membuatkan saya segelas teh nasgitel. Di pojok angkringan, ada televisi portabel kecil yang dinyalakan, tapi tanpa suara. Dari layar mungil itu, talkshow menganalisis hasil hitung cepat yang berakhir semalam sedang berlangsung. Terkadang diselingi laporan langsung dari empat rumah pemenangan kandidat capres-cawapres yang berlaga.

Presiden Jokowi tidak berbeda dengan yang selama ini saya lihat lewat televisi. Dia mengenakan kemeja putih, hanya bedanya, kali ini dibalut oleh jaket berwarna biru muda yang sedikit basah terkena tempias hujan. Wajahnya tampak segar. Sepasang matanya yang dinaungi alis tebal sesekali memandang ke televisi berlayar mungil itu.

“Apakah Bapak sudah memprediksi bahwa pasangan Susana yang akan memenangi Pilpres kali ini, Pak?” tanya saya setelah berbasa-basi sebentar, seperti menanyakan kabar dan kesehatannya.

Beliau tertawa. Terkekeh. Suara tawa yang khas. Seperti ada “pause” setiap kali rentetan tawa itu berderai. “Yaaa, saya ini kan sudah biasa bertarung, Dik. Jadi ya terbangun semacam insting siapa yang bakal menang….”

Pilpres 2024 mencatat sejarah baru. Jika sesuai dengan hitung cepat, Indonesia akan memiliki presiden dan wakil presiden yang keduanya perempuan. Pasangan SUSANA, akronim dari Susi Pudjiastuti dan Najwa Shihab, menang telak. Tiga pasangan lain yang diusung oleh berbagai parpol di Indonesia, kandas.

Tawa Presiden Jokowi agak lama tak terdengar di televisi. Maklum, di kali kedua masa pemerintahannya, ada banyak waktu sulit yang dilalui bangsa indonesia. Hampir setahun setelah mencoba mengonsolidasikan kekuasaan pasca-Pilpres 2019, Presiden Jokowi mesti memimpin upaya menanggulangi wabah corona selama lebih dari dua tahun. Setelah wabah bisa diatasi, terjadi kemelut politik, yang kemudian berujung pada disahkannya undang-undang politik baru, di mana pasangan independen diperbolehkan lagi ikut serta dalam pemilu. Susi Pudjiastuti dan Najwa Shihab kemudian dicalonkan oleh hampir 1.000 organisasi masyarakat sipil untuk ikut berlaga dalam Pilpres 2024. Setahun, sisa dari masa jabatannya, dipakai oleh Presiden Jokowi untuk memastikan pemilu berlangsung dengan aman, jujur, dan adil.

“Dia bakal masuk ke kabinet enggak, Pak?” Saya bertanya sambil memberi kode ke arah layar mungil itu. Di sana, Dian Sastro, salah satu juru bicara pasangan SUSANA sedang diwawancarai oleh wartawan di rumah pemenangan pasangan tersebut. Sayang, saya tidak mungkin meminta agar volume televisi dilantangkan.

“Ya, kalau saya yang jadi presiden, akan saya masukkan ke kabinet.”

“Jadi menteri apa cocoknya?”

Presiden Jokowi menyeruput teh angetnya, dia tampak berpikir sejenak. “Bisa di sekretaris kabinet, lembaga semacam KSP sekarang ini, atau bisa di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.”

“Bapak sudah menonton AADC 3?”

“Beluuum… belum sempat saya.”

“Mirip ceritanya dengan apa yang terjadi, Pak.”

“O ya?” Wajah Pak Jokowi melihat ke arah saya.

“Ya,” jawab saya mantap. “Di AADC 3, Si Cinta kan akhirnya aktif di lembaga semacam LSM gitu, yang bergerak mengadvokasi soal lingkungan hidup. Terutama soal laut Indonesia dan nasib para nelayan. Mungkin karena itu dia mau jadi jubir pasangan SUSANA. Tapi itu dugaan saya lho, Pak….”

“Ya, hidup itu memang misterius, Dik….” Pak Jokowi mengambil tempe bakar yang barusan disajikan oleh penjual angkringan. Dia memilih yang paling gosong. “Aroma arang itu enak, Dik….” Beliau kembali terkekeh, seakan tahu apa yang saya pikirkan.

“Hidup Anda ya penuh misteri ya, Pak?” kejar saya pelan. Tidak mau terlihat “intimidatif”.

“Saya rasa kok hidup semua orang. Termasuk mungkin hidup Anda. Saya ini kan membayangkan jadi wali kota, tak pernah. Apalagi membayangkan jadi gubernur. Lha kok malah jadi presiden….”

“Dua kali, malah,” sahut saya sambil tertawa.

“Iya, dua kali. Makanya seperti tadi yang saya bilang, secara insting saya merasa memang pasangan SUSANA ini yang bakal menang.”

“Dalam hati Bapak sebetulnya mendukung pasangan ini, ya?” Kembali saya berusaha mencecar. Halus.

“Wah, pertanyaan jebakan ini.” Pak Jokowi tertawa lagi sambil mengambil tisu. Lalu menyeruput lagi teh hangatnya. Hujan turun lagi. Agak deras. Ajudan Pak Jokowi hendak mendatangi kami, mungkin mau memastikan Pak Presiden kena tempias air hujan atau tidak. Tapi dengan sigap, Presiden Jokowi memberi kode agar Sang Ajudan tidak mendekat. Dia baik-baik saja.

“Sampai mana tadi?”

“Diam-diam, Pak Jokowi mendukung pasangan SUSANA?”

“Mmm…. Ya, kalau presiden tidak boleh mendukung baik langsung maupun diam-diam. Saya ya harus jadi wasit yang adil.”

“Tapi kan Anda masih kader partai, Pak.”

“Ya saya memang kader partai. Sampai sekarang. Pensiun nanti pun saya masih akan aktif di partai. Kalau dalam hati sih ya saya inginnya calon dari PDIP yang menang. Tapi kan sebagai presiden saya mesti taat aturan.”

“Kecewa enggak, calon-calon dari partai kalah, Pak?”

“Sedikit kecewa. Karena itu artinya, partai politik tidak bisa menyerap aspirasi dan kehendak masyarakat. Ada ketidakpercayaan yang tinggi terhadap partai politik. Semoga dengan kejadian ini, partai politik berbenah. Bagaimanapun kan partai politik itu alat politik demokrasi. Itu suka tidak suka.”

“Apakah ada kemungkinan kalau pasangan Bu Susi dan Mbak Najwa nanti memimpin, bakal mengalami banyak penjegalan di parlemen?”

“Sangat mungkin. Tapi kalau itu yang terjadi, berarti partai politik tidak belajar dari kekalahan ini.”

“Apakah perlu bagi Bu Susi dan Mbak Nana mengakomodasi kekuatan partai untuk masuk ke dalam kabinet supaya meminimalisir penjegalan dari parlemen, Pak?”

“Waduuuh, pertanyaannya kok makin meruncing. Sudah kayak Aiman saja, Dik Puthut ini…,” Pak Jokowi kembali tergelak.

“Ya kan Bapak punya pengalaman jadi Presiden dua kali…,” saya mencoba mengelak dengan tangkas. “Perlu off the record, Pak?”

“Enggak, ngapain kok off the record segala. Ya kalau Bu Susi dan Mbak Nana mengambil jalan seperti itu berarti tidak sejalan dengan ruh dukungan masyarakat yang memilih mereka, kan…. Saya yakin Bu Susi dan Mbak Nana akan memberi banyak kejutan dalam memilih komposisi kabinet nanti. Saya kan cukup kenal dengan Bu Susi.”

Saya mengangguk. “Ya kan menteri Bapak, dulu….” Suara saya itu mestinya ada di dalam hati, tapi keterucut keluar dari mulut saya.

Pak Jokowi kembali melihat ke arah saya. Petir menyambar. Tidak terlalu keras sebetulnya, tapi karena situasinya agak ganjil, membuat saya njumbul. Pak Jokowi tertawa. “Kepala Suku Mojok kok kagetan ini gimana….” Beliau tertawa.

Saya cepat menguasai situasi. Ini saat yang tepat bagi saya untuk mengajukan pertanyaan yang agak sensitif. “Pak, kenapa di kabinet kedua Anda, Bu Susi tidak masuk? Apakah ada tekanan dari partai politik atau para pebisnis?”

Saya mengira Pak Jokowi akan kaget dengan pertanyaan saya, tapi ternyata tidak. “Ya, jadi Presiden dengan dukungan partai politik kan tidak mudah, Dik….”

“Tapi kan sejak dulu Anda dikenal sebagai orang yang tidak takut membuat keputusan.”

“Intinya, tidak mudah. Rumit. Orang seperti saya sebagai presiden terpilih saat itu, harus pintar berselancar. Situasi sekarang kan berbeda jauh dengan waktu itu.”

Tentu saja berbeda, Pak, batin saya. Kali ini kalimat itu tidak keterucut keluar dari mulut saya.

Seolah tahu dengan apa yang saya pikirkan, Pak Jokowi meneruskan rentetan kalimatnya. “Saya percaya setiap presiden memiliki tugas yang berbeda di setiap zamannya. Dari mulai Pak Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Bu Mega, Pak SBY, sampai saya. Termasuk nanti Bu Susi….”

“Kalau misal, Bu Susi meminta Gibran duduk sebagai salah satu menteri di kabinetnya, apa pendapat njenengan, Pak?”

“Wah, pertanyaannya kok berat gitu….”

“Kan itu bukan hal yang mustahil. Mengingat Gibran dianggap bisa memimpin Solo dalam waktu lebih dari dua tahun, dan mungkin Bu Susi punya pertimbangan lain….”

“Itu hak Bu Susi sepenuhnya. Gibran juga punya untuk memutuskan. Itu pun jika dia ditawari. Dia sudah besar, sudah punya anak, sudah jadi wali kota. Dia bukan anak kecil lagi.”

“Pernah enggak punya keinginan Gibran suatu saat menjadi presiden, Pak?”

Pak Jokowi kembali tertawa lebar. Belum pernah saya melihat Pak Jokowi tertawa selebar dan mengeluarkan suara sekeras ini. Setelah lerai suara tawanya, beliau berkata, “Anda saya kasih tahu ya, terserah mau percaya atau tidak. Saya ini bahkan kaget ketika dia mau maju sebagai calon wali kota.”

“Tapi begitu dia mau maju dan terpilih, sebagai seorang bapak, kan wajar jika punya keinginan Gibran bisa jadi presiden?”

“Saya tidak mikir sampai sejauh itu. Karena ada satu lagi yang saya pelajari dari politik di Indonesia….”

“Apa itu, Pak?”

“Siapa yang punya keinginan menjadi presiden, biasanya malah tidak jadi. Itu sudah garis langit.”

“Tapi pemimpin kan bisa dipersiapkan, Pak?”

“Memangnya apa yang dipersiapkan oleh Bu Susi? Dia sudah asyik kembali menjadi pebisnis dan menikmati bermain bersama cucu-cucunya. Memang apa yang dipersiapkan Mbak Nana, kan dia begitu asyik menikmati profesinya sebagai wartawan. Tiba-tiba ada kemelut politik. Tiba-tiba boleh ada calon independen. Tiba-tiba masyarakat menginginkan mereka berdua maju. Memang apa yang saya persiapkan dulu, lha ya nggak ada persiapan apa-apa. Saya kira Gus Dur, Pak Harto, Pak Habibie, Bu Mega, Pak Karno bahkan, tidak punya persiapan menjadi presiden. Mendadak saja pintu ke sana terbuka. Ada momentum yang menghendaki itu terjadi….”

Sebelum saya mengajukan pertanyaan lagi, Presiden Jokowi berkata, “Sudah, ganti tema, ya….”

Saya mengangguk cepat sambil tersenyum. “Apa rencana Pak Jokowi selepas tidak menjadi presiden lagi?”

Saya merasa jawabannya bakal klise, semacam menikmati waktu bersama keluarga dan terutama cucu-cucunya. Ternyata saya keliru….

“Saya akan mengajar di S-2 atau S-3 UGM. Tentang kepemimpinan. Selama saya menjadi wali kota, gubernur, dan presiden, kan ada banyak pengalaman saya. Saya juga akan membantu partai di bidang pendidikan dan pengaderan. Semua partai saya kira harus mulai konsentrasi dan serius dalam membuat sistem pendidikan dan pengaderan. Lalu saya akan mengaji di Gus Baha’, sebulan sekali….”

“Kajian Gus Baha’ yang di Yogya, Pak?”

“Iya, yang di mana lagi? Saya tidak mau diistimewakan. Saya ya akan mengaji berbaur dengan para santrinya yang lain. Saya suka sama materi-materi pengajiannya. Harus lebih banyak waktu untuk mengaji. Mumpung otak masih sanggup berpikir.”

“Ada kemungkinan menjadi ketum PDIP, Pak?”

“Kalaupun ada, saya kira tidak akan memilih jabatan itu. Sudah cukup saya menghabiskan waktu di politik. Kalaupun masih terlibat, saya tetap memilih bidang pendidikan dan pengkaderan. Itu pun saya lakukan karena saya merasa punya cukup banyak pengalaman.”

“Ada kepikiran untuk bikin buku, Pak?”

“Sudah banyak buku tentang saya. Setidaknya sampai sekarang belum kepikiran….”

Dari jauh Sang Ajudan hendak mendatangi kami. Tapi lagi-lagi Presiden Jokowi memberi kode. “Sebentar lagi Magrib, Dik. Saya mesti ke Istana Negara. Ada beberapa rapat yang mesti saya pimpin sehabis Magrib.”

Saya melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri saya. “Satu pertanyaan lagi, Pak….”

“Yaaa…. Apaaa…,” jawab Presiden sambil mengulum senyum.

“Kenapa Bapak dulu memilih menteri seperti Pak Terawan dan Pak Yasonna Laoly.”

“Walah, sudah, sudah. Ada-ada saja….”

“Saya penasaran, Pak.”

“Kalau semua rasa penasaran Anda saya jawab, seminggu pun tidak cukup.” Beliau tergelak sambil bangkit, dan mengulungkan tangan mengajak salaman, setelah sebelumnya merapikan rambutnya.

Saya bangkit. Menyambut uluran tangannya. “Sebentar, sebelum pulang, kita selfie dulu ya….”

Wih, diajak selfie Presiden. Saya tersenyum. Pak Jokowi mengeluarkan hape dari sakunya. Cekrek. “Salam buat teman-teman di Mojok, ya….”

“Bapak membaca Mojok?” Saya tetap menyelipkan pertanyaan pungkasan setelah foto bersama.

“Tidak sering, tapi pernah beberapa kali. Terutama kalau dikirimi link oleh Kaesang atau Gibran. Isinya lucu dan segar. Enggak bikin orang tegang.”

Saya mau bertanya lagi. Tapi sudah terlanjur sungkan. Akhirnya saya pamitan.

Gerimis masih turun. Dari jauh, azan Magrib mulai bergema. Pelan, saya menyusuri Jalan Kaliurang. Syahdu.

BACA JUGA Saatnya Presiden Jokowi Merombak Kabinetnya dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version