Saya terbakar amarah saat menuliskan ini. Marah, sungguh marah. Bukan marah karena sore tadi saya mau tak mau harus mengosongkan tabungan karena biaya rumah kontrakan hampir jatuh tempo. Sudah harus membayar, biaya kontrakan naik pula. Saya tidak marah karena hal itu sudah menjadi kewajiban. Rasa dongkol memang ada tetapi masih dalam tahap wajarlah.
Saya marah karena malam tadi, saat sebagian besar mata tertuju ke Jakarta mengikuti debat dan omong kosong pilkada, di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, para petani memasuki babak baru dalam perjuangan menolak pendirian pabrik semen di tanah mereka. Intimidasi dan tindak kekerasan kian gamblang terjadi. Tenda perjuangan dan musala yang dibangun warga tolak semen dibakar oleh sekelompok orang (menurut kronologi yang dikeluarkan situsweb omahkendeng.org, para pelaku adalah sekira 70 laki-laki yang beberapa di antaranya berseragam PT Semen Indonesia).
Siapa yang tak marah mengetahui kejadian biadab itu? Bayangkan, saat ibu-ibu yang berjuang untuk tanah tumpah darahnya dan lahan sumber penghidupan keluarga, melakukan aksi damai di dalam tenda perjuangan, tiba-tiba muncul orang-orang yang datang berteriak, mengintimidasi, mengusir, dan merusak tenda yang sudah berdiri sejak 16 Juni 2014. Belum selesai, mereka melanjutkan dengan membakar musala. Ini gila.
Perjuangan yang dilakukan lewat aksi-aksi damai dan simpatik, ditambah perjuangan melalui jalur hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini dibalas secara keji. Tentu bukan kali ini saja perjuangan petani Kendeng dibalas dengan aksi-aksi amoral. Propaganda jahat di sosial media, teror dan intimidasi, penipuan Amdal dan izin lingkungan, hingga pengabaian terhadap keputusan hukum yang dimenangkan para petani di Mahkamah Agung, adalah sederet perlakuan bejat yang diterima petani Kendeng. Ada banyak contoh kasus. Mari kita lihat sebagian kecil saja.
Pada 17 Januari 2017, petani Kendeng yang melakukan aksi di depan kantor gubernur Jawa Tengah sengaja dihadapkan dengan massa yang mengatasnamakan petani tembakau. Bentrokan terjadi sebelum aparat keamanan berhasil meredam dan massa petani tembakau membubarkan diri karena hujan. Aksi kok bubar karena hujan. Lucu!
Akhir Desember 2016, masih di Kota Semarang. Aparat kepolisian dan Satpol PP mengusir para petani yang sudah 5 hari melakukan aksi damai di depan kantor gubernur Jawa Tengah. Anehnya, aksi tandingan yang dilakukan pihak pro-pabrik semen terkesan dibiarkan aparat. Ya memang sih, keberpihakan itu adalah sebuah keniscayaan. Dari kasus ini kita jadi tahu keberpihakan aparat keamanan itu di bawah kuasa modal.
Sebelum perusakan dan pembakaran tenda perjuangan serta musala malam tadi, sejak suara-suara penolakan pabrik semen mulai didengungkan, berkali-kali teror dan intimidasi dialami oleh petani Kendeng. Ancaman-ancaman kekerasan berkali-kali diterima. Propaganda di sosial media yang isinya menyudutkan para petani kontra pabrik semen bertubi-tubi disebarkan.
Tak cukup sampai di sini. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan akademisi ikut-ikutan menyakiti petani Kendeng. Pemerintah Jawa Tengah yang semestinya memberikan contoh sikap patuh terhadap hukum dan undang-undang yang berlaku di negeri ini, malah berkali-kali mengangkangi keputusan hukum dan lembaga yang lebih tinggi dari mereka. Akademisi malah mencederai kapasitas mereka dengan melakukan aksi penipuan dalam dokumen Amdal dan kajian lingkungan yang mereka lakukan.
Atas semua perlakuan yang diterima ini, apakah para petani Kendeng mundur dari penolakan pendirian pabrik semen di wilayah mereka? Saya yakin dan percaya jawabannya adalah tidak.
Saat tempat tinggal dan tanah kelahiran diusik, terancam kehilangan rumah, kehilangan lahan pertanian sebagai sumber penghidupan, tentu saja mereka yang masih waras akan melawan. Ikatan kultural dan spiritualitas antara manusia dengan alam tempat mereka lahir, tumbuh dan membesar tak akan pernah bisa diganti dengan uang. Teror, intimidasi, kekerasan dan fitnah yang dilancarkan, demi tanah tumpah darah yang harus dipertahankan, mereka hadapi dengan elegan.
Saya rasa, untuk saat ini, ketabahan yang dimiliki para petani Kendeng kontra pabrik semen dalam mempertahankan apa yang mereka yakini, adalah bentuk ketabahan paripurna. Mereka melawan dengan tabah, berjuang dengan tabah dalam waktu yang tidak sebentar. Melawan dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, seperti Pramoedya Ananta Toer pernah tulis.
Menyadari semua ini, kemarahan saya terakumulasi malu. Malu karena hanya sebatas bisa menggerutu, memaki dan menyumpah serapah menyaksikan apa yang dialami para petani Kendeng. Jika hanya sekadar begitu, semua orang juga mampu.
Banyak suara-suara di luar yang bilang bahwa mereka yang mendukung penolakan pembangunan pabrik semen adalah orang-orang yang tidak realistis dan hipokrit. Bagaimana mungkin disaat pembangunan terus menerus dilakukan di negeri ini ada orang yang menolak pendirian pabrik semen. Sedangkan semen itu bahan penting penunjang pembangunan. Orang-orang yang begitu itu adalah orang-orang yang menolak bangsa ini maju. Beukankah begitu? kalian pernah dengar suara-suara semacam itu? Atau malah kalian sendiri bagian dari yang menyuarakan itu?
Ah, jika memang marah sekaligus malu menyaksikan perlakuan yang diterima petani Kendeng demi hak hidup mereka kalian anggap sebagai sikap yang tidak realistis dan hipokrit, ya silakan saja. Jika memang mereka yang menolak pembangunan pabrik semen di Kendeng kalian anggap anti pembangunan dan menolak bangsa ini bisa maju, ya monggo saja. Toh kalian punya hak untuk beranggapan bukan?
Yang jelas, saya dan kawan-kawan lain yang mendukung penolakan pendirian pabrik semen di Kendeng, tak keberatan jika dianggap hipokrit, selama kami masih bisa berdiri satu saf dengan manusia-manusia yang kukuh membela hak dan nilai-nilai kemanusiaan di Kendeng. Walaupun kebanyakan dari kami, baru bisa mendukung dari jarak yang teramat jauh.
Maafkan kami, Ibu dan Bapak Petani Kendeng. Maafkan kami.