MOJOK.CO – Anak saya menanyakan sesuatu yang membingungkan sekaligus menyenangkan: kalau kiamat terjadi di hari Jumat, daerah yang saat itu masih hari Kamis gimana dong?
“Bapak, kiamat kan katanya terjadi pada hari Jumat,” kata anak saya sore itu.
“Katanya begitu,” jawab saya sambil mencoba menebak arah pembicaraannya.
“Kalau kiamat jatuhnya hari Jumat, bagaimana dengan wilayah yang saat itu masih hari Kamis?”
Saya melongo.
Terus terang saya tidak tahu cara menjawab pertanyaan seperti ini. Ini bukan jenis pertanyaan anak SD yang sedang dijelaskan oleh gurunya tentang prahara kiamat. Ketika itu gunung-gunung meletus, lautan luber, bumi guncang, lalu si anak dengan enteng bertanya, “Kalau kiamat sekolahnya libur tidak, Bu?”
Kedua pertanyaan itu memang sama-sama tentang kiamat, sama-sama lugu, tapi berbeda situasinya. Pertanyaan kedua lebih mudah dijelaskan. Ada acara rapat saja sekolah bisa diliburkan, masak kekacauan sedemikian dahsyat sekolah tetap masuk?
Tapi tidak demikian dengan pertanyaan pertama. Apalagi ternyata pertanyaan oke tersebut juga didasarkan pada pengalaman nyata anak saya.
Pada hari Jumat sebelumnya, sekolahnya mengundang tamu dari Amerika untuk hadir di kelas Zoom-nya. Dalam sesi perkenalan, tamu itu menjelaskan bahwa saat itu di tempatnya tinggal masih hari Kamis malam.
Penjelasan tentang perbedaan hari itu mengusik pikirannya. Ternyata, ada perbedaan hari di dunia. Kenyataan itu akhirnya menyeret imajinasinya ke soal kiamat.
Anak saya membayangkan punya teman di luar negeri, lalu suatu ketika dia menelepon dan mendapat jawaban dari temannya yang panik, “Sori, Bro, di sini sedang kiamat!”
Saya tertawa mendengarkan fantasinya. Beneran selalu ada kegembiraan dan permainan dalam segala situasi, bahkan ketika situasinya kiamat.
Mungkin hanya di dunia anak-anak seseorang masih sempat menjawab panggilan telepon saat dunia sedang kiamat, sebagaimana seorang anak yang masih kepikiran soal sekolah saat dunia sedang kacau balau.
Mengapa anak-anak bertanya tentang kiamat?
Mungkin karena kiamat diajarkan di sekolahnya. Dalam acara dongeng untuk anak TPQ, misalnya, saya juga kerap menjumpai tema ini menjadi bahan cerita. Huru-hara kiamat digambarkan sedemikian rupa. Lengkap dengan efek suara oleh sang pendongeng dan membuat anak-anak terpaku.
Cerita lalu bersambung pada situasi neraka yang penuh dengan ular, kalajengking, dan api yang menyambar. Anak-anak makin membeku. Suasana baru mencair ketika kisah surga yang serbamenyenangkan diceritakan.
Dongeng kemudian ditutup dengan pesan agar anak-anak selalu hati-hati dan patuh terhadap ajaran agama serta rajin belajar, juga berbakti kepada orang tua.
Dalam Al-Quran, gambaran tentang langit terbelah, bumi yang guncang, gunung-gunung yang beterbangan, atau bintang yang berjatuhan untuk melukiskan situasi kiamat memang banyak ditemukan. Namun, saya kadang bertanya-tanya, apakah ilustrasi mengerikan semacam itu sudah layak diceritakan kepada anak-anak yang masih SD atau, apalagi, taman kanak-kanak?
Sekalipun percaya kepada hari akhir adalah rukun iman, dan mengetahui hal itu dapat menyadarkan anak-anak bahwa segala sesuatu ada risikonya, tetapi saya cenderung meyakini ada cara lebih baik: cukuplah anak-anak seusia itu tahu rukun iman saja. Selebihnya, masih banyak materi yang bisa diajarkan agar mereka menjadi generasi yang hebat.
Mengajarkan anak-anak berkata jujur, ramah kepada siapa saja, patuh pada orang tua, salat tepat waktu, meminta maaf ketika salah, berbagi dengan orang lain, barsabar untuk menunggu giliran, menghormati pendapat orang lain, atau membuang sampah pada tempatnya, misalnya, akan sangat penting bagi perkembangan hidup anak-anak. Baik bagi dirinya maupun lingkungan sekitarnya.
Lagian, penegasan berulang tentang kiamat dalam Al-Quran itu juga dimaksudkan untuk mematahkan kepercayaan orang-orang Mekkah saat itu tentang kehidupan.
Konsep-konsep tentang hari akhir, hari pembalasan, dan akhirat diejek sebagai dongeng kuno atau mimpi-mimpi yang kacau. Mereka lebih memilih nihilisme yang beranggapan bahwa tidak ada sesuatu pun di luar kubur. Sebuah nihilisme yang akhirnya mendorong mereka ke arah hedonisme yang memuja kemakmuran di dunia dan tidak berminat dengan kehidupan akhirat.
Sikap negatif terhadap hari akhir ini tentu masih hidup hingga hari ini, dan mungkin tanpa kita sadari menjalar dalam diri kita, tapi saya ragu ia sudah tumbuh dalam diri anak-anak.
Karena itu, daripada menakut-nakuti mereka dengan cerita neraka dan sibuk membangun kesan tentang Tuhan yang gemar menghukum, lebih baik kita membiasakan mereka dengan hal-hal baik dan gembira.
Kegembiraan itu tidak hanya baik bagi perkembangan psikologi anak-anak, tapi juga bagi masa depan kehidupan beragama dan bermasyarakat mereka. Dan, soal ini, kita memang harus belajar banyak dari anak-anak.
BACA JUGA Ustadz Akhir Zaman dan Dongeng Dukhon Mereka dan tulisan Muhammad Zaid Su’di lainnya.