14 tahun lalu, Russell Crowe memerankan orang ini dalam film A Beautiful Mind. Film itu sendiri berakhir dengan John Nash, si jenius itu, menerima hadiah Nobelnya. Saat berada di podium, ia mengerling pada istrinya, Alicia Nash, yang diperankan dengan baik oleh Jennifer Connelly.
Semua orang berharap John dan Alicia hidup bahagia, lalu meninggal dengan tenang dalam kesunyian di kediaman mereka di usia senja. Akan tetapi, kenyataan tak seperti Hollywood yang membenci akhir cerita yang buruk seperti kematian. John dan Alicia Nash meninggal dunia Sabtu (23/05) lalu, karena kecelakaan dalam taksi yang mereka tumpangi di New Jersey.
Beberapa hari sebelumnya, mereka berada di Norwegia untuk menerima penghargaan Abel Prize for Mathematics. Seperti mereka yang mengenal pasangan Nash lewat film A Beautiful Mind, kolega-kolega John dan Alicia tidak pernah menyangka bahwa akhir cerita mereka berdua setragis itu.
John Forbes Nash, Jr. lahir 13 Juni 1928. Sejak kecil, John Nash bukan orang yang pandai bersosialisasi. Ia lebih suka menyendiri dengan membaca buku atau bereksperimen dengan peralatan elektronik. Oleh teman-temannya ia dianggap aneh. Puncak prestasinya dalam bidang kejombloan adalah saat dia berdansa dengan setumpuk kursi alih-alih dengan wanita.
Menginjak SMA, ia tertarik dengan buku Eric Temple Bell berjudul Men of Mathematics. Ia kemudian menghabiskan waktunya bergulat dengan konsep matematika yang abstrak. Begitu cintanya dengan matematika hingga saat kuliah ia merasa salah jurusan. Nash pindah kuliah dari Teknik Kimia ke Ilmu Kimia, hingga akhirnya ke Matematika.
Di saat banyak di antara kita menjadi mahasiswa tua karena skripsi yang tak kunjung rampung, di umur 22 tahun John Nash sudah mengantongi gelar doktoralnya. Ia membuat tesis doktoral mengenai teori permainan (game theory), termasuk gagasannya yang paling terkenal: Ekuilibrium Nash. Ekuilibrium Nash adalah kondisi di mana masing-masing pemain dalam permainan mengambil strategi yang terbaik baginya, dengan melihat strategi pemain lain dan selama strategi pemain lain itu tidak berubah. 44 tahun kemudian, ia menang Nobel Ekonomi karena tesisnya tersebut bersama John Harsanyi dan Reinhard Selten.
Sewaktu ia mengajar di MIT, John Nash bertemu Alicia Lopez-Harrison de Lardé. Alicia adalah mahasiswi jurusan Fisika Nuklir, salah satu dari cuma 16 wanita pada angkatan mahasiswa MIT tahun 1955. Tak hanya berotak brilian, Alicia juga seorang keturunan bangsawan El Salvador. Orang seperti Arman Dhani pasti minder ketakutan dan hanya bisa mbribik dari gajetnya jika bertemu dengan wanita seperti Alicia, tetapi tidak bagi John Nash. Nash yang dulu pernah mengajak setumpuk kursi berdansa ternyata bisa menikahi wanita seperti Alicia.
Meski begitu, hidup Nash tak selalu bahagia. Tahun 1959, saat istrinya sedang mengandung anak pertama mereka, ia didiagnosa mengidap schizofrenia paranoid. Ia sering berhalusinasi suara-suara aneh dan meracau bahwa alien mencoba berkomunikasi dengannya. Delusinya begitu parah sampai ia pernah membayangkan dirinya adalah seorang raja. Bukan Raja Yogyakarta tentu saja, bahkan lebih fantastis dari itu, ia membayangkan dirinya adalah Raja Antartika!
Penyakitnya itu membuat karier dan keluarganya hancur. Alicia memilih bercerai karena tak tahan dengan suaminya. Selama sembilan tahun kemudian, John Nash keluar-masuk rumah sakit jiwa.
Setelah sekian lama, Alicia akhirnya kembali ke dalam pelukannya dan perlahan-lahan keadaan Nash membaik. Dibantu Alicia, ia menata kembali hidup dan pikirannya. Ia mendapatkan lagi pekerjaannya sebagai dosen, serta memperoleh penghargaan-penghargaan bergengsi di bidang sains. Ia pun menikah untuk kedua kali dengan Alicia di tahun 2001.
Nash tak segan mengakui kesalahan dan arogansi masa lalunya. Salah satunya, dalam sebuah wawancara di CBS tahun 2002, ia mengakui bahwa komentar-komentar anti-Semitik yang pernah dilontarkannya adalah karena pikirannya sedang tidak beres. Ia juga memperbaiki hubungan dengan John David Stier, anak hasil hubungannya dengan Eleanor Stier, seorang perawat, yang sempat tidak ia akui dan tinggalkan.
John Nash, si jenius yang enigmatik. Ketika taksi itu membawa ia dan istrinya pergi selama-lamanya, mereka yang mengenalnya secara personal akan memutar ulang ingatan yang berbeda tentangnya. Sebagian akan ingat dengan Nash muda yang eksentrik, yang gemar berjalan sambil menyiulkan melodi Johann Sebastian Bach. Yang lain akan mengingatnya sebagai pria arogan dan egosentris yang sukar menerima kekalahan. Sebagian akan mengingatnya sebagai pemuda pemalu yang tidak berani bertegur sapa dengan Einstein ketika berpapasan di jalan. Sebagian lagi mengingat sosoknya sebagai “Hantu dari Fine Hall”, yang meninggalkan kertas berisi teka-teki membingungkan kepada dosen dan mahasiswa sambil menyalakan rokok.
Namun dunia akan mengenangnya atas apa yang pernah ia berikan pada ilmu pengetahuan. Dari ilmu ekonomi sampai biologi evolusioner, dari perang sampai masalah lalu lintas, semua berutang pada Ekuilibrium Nash. Bahkan karya-karyanya dalam bidang topologi yang kurang populer memberi sumbangsih besar untuk matematika.
Lebih dari itu, ia adalah paragon dari harapan: bahwa seorang yang nilai Aritmatikanya semasa sekolah hanya B-, bisa menjadi pemenang Nobel; bahwa penyakit bisa melemahkan tapi tak bisa menjatuhkan; dan, seorang pemuda cupu seperti dirinya bisa punya pasangan, bahkan menikah hingga maut memisahkan.
Selamat bermain catur dengan Einstein, di sana, John Nash!