MOJOK.CO – Seistimewa inilah Jogja. Ambigu. Taksa. Monokrom seperti Gotham nggak, tapi berwarna seperti Ancol juga nggak.
Untuk kesekian kalinya, koran Kedaulatan Rakyat (KR) mengeluarkan berita klitih di halaman depan. Bukan asal depan, tetapi juga menjadi headline. Bahkan, dari empat berita yang mengisi halaman satu itu, tiga di antaranya membahas klitih. Berita satunya lagi adalah prestasi Jogja menerima penghargaan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan atau SAKIP untuk keempat kalinya secara berturut-turut.
Magnet dari kabar keseluruhan halaman KR edisi Rabu Pahing 6 April itu bermuara pada satu sosok: Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwana X. Khusus klitih, Sinuwun mengeluarkan perintah: HUKUM! Sementara, berita prestasi SAKIP menampilkan potongan foto Sri Sultan sebagai Gubernur sedang berpidato.
KR dengan sangat presisi ngasih metode bagaimana membaca dan memahami Jogja yang istimewa. Ambigu, taksa, beyond. Baik dan buruk bisa bersanding dalam satu frame. Lebih kurang 100 meter di sisi kiri kediaman raja berdiri kampung santri (Kauman), sementara dua ribu meter di sebelah utara berdiam kampung pelacuran (Sarkem). Harmoni.
Di satu sisi, Jogja menyandang sebutan sebagai “kota pelajar”, tapi di sisi lainnya menjadi “kota bandit”.
Pastilah kamu heran dengan informasi ini bahwa proyek pertama operasi pemberantasan bandit/gali yang dikenal dengan akronim Petrus (penembakan misterius) di tahun 80-an awal dilangsungkan di Jogja.
Artinya, kejahatan malam bernama klitih itu bukan sesuatu yang muncul begitu saja; sebuah kenakalan remaja belaka. Ia menyatu dalam aliran darah Jogja yang kerap didaku sebagai “serambi Madinah” itu. Bandit-bandit muda yang baru akil baligh itu tumbuh bersama branding pariwisata dan pendidikan yang overdosis.
Mereka, bandit dan gali-gali muda itu, bukanlah anak tiri Jogja. Mereka adalah anak kandung. Jogja itu seperti film hidup yang baik; ada yang mesti mengambil peran sebagai tokoh baik yang menjadi bahan jualan Dinas Pariwisata, ada pula tokoh jahat atau villain. Villain atau garong atau gangster atau bandit atau gali mesti dipandang sebagai sesuatu yang utuh dalam film sejarah bernama Jogja. Usia perbanditan itu seusia kota ini. Ia satu sekutu yang “harmonis” dalam dinamika sosial dan kontestasi politik.
Soal bagaimana bangkit, tumbuh, dan bagaimana afiliasi politik gangster di Jogja, saya rekomendasikan membaca Genk Remaja: Anak Haram Sejarah ataukah Korban Globalisasi? karya Sidik Jatmika.
Tidak hanya membahas soal dua yang terbesar, yakni QZRUH (Q-ta Zuka Ribut Untuk Hiburan) dan JOXZIN (Pojok Bensin) beserta sub-subnya, buku itu juga menguraikan bagaimana regenerasi anggota geng ini berlangsung di ruang gelap yang tak ada dalam brosur pariwisata dan baliho sebesar gaban di perempatan jalan milik pemerintah. Bayangkan saja seperti sekolah, seperti itulah level geng itu terbentuk; dari SD, SMP, SMA, hingga ke level lebih tinggi lagi.
Berbeda dengan sosiolog, sejarawan biasanya menjadikan Kotagede sebagai laboratorium. Di brosur pariwisata, Kotagede dikenal dunia sebagai kampung seni di mana para empu dan perajin perak bekerja. Termasuk, di sini pula masjid tua berdiri yang bersisian dengan makam peletak batu pertama Mataram pada abad 17.
Tanyalah Buldanul Khuri, tokoh legendaris perbukuan Jogja, dia bisa bercerita tanpa henti-hentinya betapa artistiknya kampung kelahirannya itu, betapa religiusnya Kotagede.
Tapi, dalam waktu yang sama, di tanah Kotagede juga tertanam ari-ari JOXZIN. Bahkan, sejarawan UGM, Bambang Purwanto, lebih jauh lagi menelisik bagaimana kampung ini “melahirkan” bandit. Perkara inilah yang disumbangkan Bambang untuk mengisi salah satu bagian dari buku Kota Lama Kota Baru terbitan penerbit Ombak pada 2006.
Sesungguhnya, sejak pindah, bekas ibu kota Mataram ini hanya menjadi kota para abdi dalem yang bertugas menjaga makam dan masjid kerajaan. Seturut waktu, akibat penghapusan tanah apanage Praja Kejawen pada 1910-an, para abdi dalem kehilangan sumber ekonomi dan tersingkir menjadi buruh dan tani. Mereka tersingkir oleh keluarga pedagang yang kaya.
Dalam bahasa Mitsuo Nakamura, Kotagede berubah dari kota para perajin kerajaan menjadi pusat industri dan perdagangan bumiputera untuk mendukung para petani di sekitarnya.
Sejarah kekerasan di Kotagede pada akhir masa kolonial, tulis Bambang, bisa dirunut ke belakang pada akhir masa kolonial. Orang-orang Kotagede memiliki perangai yang mudah brutal dan kehilangan solidaritas sosial.
Di Mutihan dan Singosaren yang menjadi lokasi pertanian luas, misalnya, beberapa orang dianiaya secara kejam dan bahkan dibunuh di tempat karena penduduk lokal berhasil menangkap mereka pada saat sedang mencuri jagung, padi, atau ketela. Juga, dikenal ada kelompok grayak yang beroperasi di sepanjang jalan ketika hari mulai gelap.
Akibatnya, sebagian besar pedagang menghindari perjalanan setelah magrib atau sebelum matahari terbit. Para grayak atau gali-gali itu juga tak sungkan-sungkan mendatangi rumah penduduk dari pintu ke pintu, lalu memaksa penduduk untuk menyerahkan hartanya.
Lihat, malam bisa semenakutkan itu di bekas ibu kota Jogja. Lihat, itu dekade awal abad 20, bukan tahun 2022.
Dari mana muasal grayak-grayak yang menyatroni ibu kota Jogja itu; bagaimana gali/bandit itu eksis?
Tentu saja, mereka tidak di-drop begitu saja. Ada bentang waktu yang panjang bagaimana mereka hadir. Terutama sekali, mengenal postur politik yang melambarinya.
Jogja atau Mataram ini tidak tumbuh seperti Dek Rafathar atau Kaka Livy Renata; semua tampak sempurna tanjung kimpul. Kota ini dibangun oleh ceceran darah, konflik elite istana yang tidak berkesudahan.
Masukilah lorong diorama Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Yogyakarta, kamu bisa mencium narasi amis darah di sana karena perebutan takhta.
Salah satu roman yang bagus menjelaskan hubungan antara perbanditan awal dan suksesi berdarah di jantung Mataram adalah Rembulan Ungu karya Bondan Nusantara. Bondan yang juga maestro ketoprak di Jogja itu dengan gamblang memberi gambaran bagaimana bandit direkrut istana untuk menjadi pagar hidup melawan pembangkang.
Dinarasikan, selain Karaeng Galengsong dari Makassar, jagoan-jagoan muda Mataram yang tidak puas dengan Amangkurat I, merapat ke Bayat (Klaten) di pondok Panembahan Kajoran.
Di sana, pemuda Sampang gagah berani, Trunojoyo, melatih calon prajurit dengan jabatan sebagai panglima perang untuk menggempur Mataram dari sisi timur Sungai Opak. Sebelumnya, pemuda Sampang itu adalah pemberontak paling dicari Cakraningrat II. Raja itu mengirimkan red notice kepada Mataram untuk meringkus pembangkang liat itu.
Sementara, untuk menghancurkan pembangkang-pembangkang itu, Amangkurat I membentuk jaringan bandit lintas gunung, lintas daerah. Dengan fasilitas gaji, tempat tinggal, dan pelayanan tanpa batas yang disediakan istana itulah mengalir gali-gali dari Merbabu, seperti Suragobang, Suragedug dengan trisum muridnya yang berangasan: Jrabang, Jliteng, dan Brangas. Selain itu, masuk pula rombongan bandit dari Alas Lodaya, Gua Cerme, dan Nusakambangan.
Jadi, kelompok grayak, gali, bandit, klitih itu bukan sampah yang asing bagi Jogja. Mereka besar bersama sejarah Jogja. Jika hari ini kelompok gangster itu berafiliasi dengan partai politik, maka hal itu “wajar belaka” lantaran DNA mereka dari awal memang dekat dengan kekuasaan, dekat dengan halaman belakang istana.
Kemudian, banyak orang marah karena para bandit muda ini seperti tidak bisa diberantas dan merusak perbawa Jogja sebagai kota pendidikan, kota budaya, kota seni, kota tujuan wisata papan atas.
Solusi?
“Pelaku penghilangan nyawa orang HARUS dihukum,” kata Sinuwun. “Orang tua HARUS mengawasi anak-anaknya.”
“Patroli malam,” kata polisi.
“Pelakunya keluarkan dari sekolah,” kata wali kota.
“Perbanyak memasang CCTV,” kata orang dewan.
“Hapus istilah klitih,” kata orang Pemda.
“Harus” apa lagi? Untuk sementara, itu saja dulu daftar solusinya.
Saudara, klitih maupun geng remaja ini urusan yang kompleks karena akar sejarah perbanditan di kota ini sangat panjang. Ini kisah kekerasan yang “membudaya”, yang berurat, yang berakar.
Bertambah repot lagi kalau kamu jalan-jalan di Kotagede, kita disuguhkan sebuah “monumen kekerasan” yang dilegalisasi sebagai situs budaya yang dilindungi negara. Petilasan Watu Gilang. Batu Gilang ini adalah lempengan di mana kepala Mangir dibenturkan hingga remuk. Tempat kejadian perkara adalah di dalam istana.
Di atas batu itulah kepala (batu) Mangir sebagai pembangkang dari Selatan pecah setelah Panglima Baru Klinthing dan pasukan pengawal dilucuti dan dibantai dalam operasi kepit urang.
Pramoedya Ananta Toer dalam naskah lakon Mangir dengan telengas mengatakan gerakan Mangir berakhir di Kotagede dengan kisah yang sangat memilukan. Politik tipu daya Panembahan Senopati membawa kepalanya yang jenius, penuh nyali, dan keras sikap ke batas akhirnya. Kepala yang bersimbah darah itu yang dicium sejadi-jadinya oleh Pambayun, istri terkasih Mangir dan sekaligus putri raja yang diumpankan untuk memuluskan pemadaman gerakan tani Mangir di pinggir Kali Progo.
Batu Gilang yang kemudian diawetkan dan menjadi bagian atraksi wisata budaya dan pendidikan Jogja itu menjadi semacam pamflet peringatan untuk jangan macam-macam dengan kekuasaan. Keraton membutuhkan monumen untuk terus-menerus dilihat kawula sebagai pemberitahuan politik budaya bahwa segarang apapun nyalimu, kawula tetaplah di bawah duli dan titah sang raja.
Agar kekerasan itu absah, raja membutuhkan legitimasi. Agama adalah selimut legitimasi itu. Di Kotagede, Batu Gilang tak diselimuti masjid dan jauh dari kompleks religiusitas.
Lihatlah, Batu Gilang dikurung bangunan yang tak berbeda dengan rumah penduduk Purbayan di sekitarnya. Tak ada sentuhan ornamen religiusitas apa pun di sana. Jika ia tak berdiri di tengah jalan dan kendaraan melipir di kiri kanannya, sebagaimana Kandang Menjangan di Krapyak atau Tugu Golong Gilig di Gowongan, sama sekali tak ada yang istimewa dari petilasan ini.
Berbeda dengan “Makam Raja-Raja Mataram” yang berada dalam kompleks Masjid Kotagede. Posisinya mendapatkan perlindungan nomor satu dari agama. Kuasa raja disanggah agama, sementara si kawula yang membangkang, walaupun bagian dari darah dan daging Keraton, tak layak mendapatkan penghormatan.
Oleh karena itu, tulisan di spanduk kumal warna merah yang tertempel di dinding luar rumah Watu Gilang saat saya berkunjung, “wisata budaya dan pendidikan”, saya pandang sebagai monumen sunyi kekerasan.
Akhirul kalam, petilasan itu adalah monumen kekerasan abad 16 yang disumbang Jogja untuk pendidikan politik Indonesia yang gemah ripah loh jinawi. Dan, tak terlalu jauh dari petilasan itu, siswa SMA Muhammadiyah 2 meregang nyawa pada dini hari di pekan pertama Ramadan oleh atraksi kekerasan bandit-bandit muda.
Seistimewa itulah Jogja. Ambigu. Taksa. Monokrom seperti Gotham nggak, tapi berwarna seperti Ancol juga nggak. Itulah alasan mengapa Petrus Gundala itu ditakdirkan lahir, tumbuh, dan bak buk bak buk di Jogja dan kalau bisa tetaplah bekerja di Jogja sebagai superhero PNS. Itu.
BACA JUGA Polda dan Pemda DIY Sepakat Hapus Istilah Klitih untuk Berantas Klitih dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Editor: Yamadipati Seno