Saya punya teori simpel soal perantau Jogja. Orang yang pernah hidup di Jogja akan terbagi dua: 1) orang yang tidak bisa melepaskan diri dari Jogja; 2) orang yang bisa keluar dari Jogja, tapi selalu dihantui keinginan untuk kembali. Dua jenis orang ini, tentu saja, sama-sama kena kutuk. Tapi, kutukan terkerasnya adalah: dua jenis orang ini diikat oleh Jogja yang pernah dialaminya, dan itu sangat berbeda dengan Jogja yang sebenarnya.
Main ke Malang kemarin mempertemukan saya, secara tak sengaja, dengan beberapa orang “bekas” Jogja di sana. Mudah diduga, obrolan kami kemudian lebih banyak berkait soal betapa indah/hebat/manisnya Jogja.
Sama-sama terkutuk, orang yang bisa pergi meninggalkan Jogja tampaknya bernasib lebih baik dibanding orang macam saya yang tak sanggup keluar. Setidaknya, untuk mereka yang keluar, bayangan mereka tentang Jogja tetap awet, tak dicemari kenyataan, masih murni nostalgis, atau sebagian besar malah sudah dibumbui rindu dendam. Sementara orang macam saya, sembari tetap mengidealkan Jogja yang (dulu) saya alami, mesti melihat dari dekat Jogja yang berubah, Jogja yang mungkin sudah tak (se)indah (dulu) lagi.
Dan jelas ada jarak yang membentang antara Jogja yang pernah ada dengan Jogja yang sekarang ada. Dan tulisan kenangan saya di bawah ini, saya tulis dua tahun lalu, menjelaskan kepada kita seberapa jauh jarak itu.
***
Kembali ke kampus Sastra, kembali bersitatap dengan sudut-sudut yang masih bisa dikenali, atau yang seakan-akan masih bisa dikenali, menjadi orang asing kembali seperti dulu pertama kali memasukinya, tak ada yang bisa saya lakukan kecuali mencari tempat di mana saya merasa paling nyaman, atau setidak-tidaknya paling sedikit merasakan kekikukan. Dan, itu selalu adalah Bonbin Sastra (atau sebuah tempat yang setidaknya dulu pernah disebut begitu).
Saya sebut setidak-tidaknya, sebab di situ pun terus terang saya tak sepenuhnya nyaman. Banyak hal berubah dari deretan warung yang sejak era Ashadi Siregar dan Mochtar Pabottingi sudah di situ itu—coba cek Cintaku di Kampus Biru.
Tempat itu menjadi jauh lebih bersih dari yang dulu saya kenal; dan hal itu membuat saya merasa terancam. Tata letaknya, orang-orang yang datang dan makan, para penjualnya, juga namanya (bisa memikirkan hal lain kenapa sebuah tempat makan disebut kebun binatang selain kotor?). Dan terutama soal tata letak dan nama itulah salah satu sumber ketidaknyamanan saya. Orang-orang kenes mengubah landmark Bulaksumur itu seakan sebuah kafetaria di sebuah kota wisata di Italia sana, atau yang dekat-dekat sana, dengan nama berbunyi “i” di ujungnya: sebuah foodcourt dengan atap datar dari seng plastik transparan, seakan yang datang makan adalah bule-bule dari kutub yang tergila-gila dengan sinar matahari. Dan namanya … ya Allah, ya rabbi!
Tapi, bagaimanapun, ada satu hal di situ yang tidak saya temukan nyaris di tempat lain di seantero kampus Bulaksumur. Beberapa penjual berbinar ketika melihat saya mendekat dan memesan. Ketika Yu Par, salah seorang penjual paling legendaris di Bonbin yang masih bertahan, menyapa saya pendek: “Kok lama nggak kelihatan, Mas?”, saya nyaris menangis terharu (atau perasaan semacam itu). Saya mungkin berprasangka, tapi hal itu tampaknya agak sulit saya dapatkan jika saya mengetuk pintu ruang Jurusan.
Dan masuk Bonbin Sastra juga menyadarkan saya dengan satu hal: jika yang paling mengesankan dari saat kuliah bukanlah ruang-ruang kelas dan guru-guru hebat, ia juga bukan berarti sudut-sudut perpustakaan dan buku-buku—sebagaimana banyak dibualkan para jebolan Kampus Bulaksumur secara angkuh, lebih-lebih oleh mereka yang pernah mampir di sebuah rumah kumuh di kompleks perumahan di kampus itu (itu lho, rumah dekat pos satpam dan bertetangga dengan asrama bule Australia). Tidak itu, bukan begitu.
Tempat dan hal mengesankan itu adalah tempat-tempat makan dan tindakan memakan. Gampangnya: warung dan mbadog. Itu adalah tempat yang membebaskan; melepaskan para mahasiswa kere dari intimidasi lapar dan represi kaliren, meski sejenak.
Bonbin Sastra menempati posisi istimewa dalam khazanah permakanan saya. Tapi harus saya katakan, ia bukan satu-satunya dan bukan yang paling istimewa.
REJEKI: Sang Pemula
Rejeki hanyalah satu dari ratusan warung makan yang ada di pusat kos-kosan mahasiswa yang membentang antara Fakultas Kehutanan UGM hingga Ring Road Utara. Jika ada sedikit yang istimewa dari warung Rejeki, itu adalah mbak-mbak penjualnya dan kebebasan pelanggan untuk bisa ambil nasi dan sayur sendiri. Bagi mahasiswa baru dari udik, tolong abaikan keistimewaan yang pertama—lebih-lebih mengingat apa yang kemudian pernah dilakukannya pada saya. Rejeki juga bukan warung yang dekat dengan kos-kosan yang saya huni. Dan, seingat saya, ia juga bukan yang paling enak.
Saya saat itu saya kos di Karang Gayam, di kompleks kos-kosan milik Pak Lurah yang memanggil saya dengan “Mas Maksud”, tinggal satu kamar dengan teman SMA saya, sebut saja namanya Dar. Walaupun kuliah di fakultas yang berbeda, kuliah-kuliah awal yang penuh matakuliah-matakuliah paket itu membuat kami nyaris selalu berangkat bersama pagi-pagi, dan di tengah perjalanan kami mampir ke Rejeki. Karena saya maupun Dar sama-sama orang baru di Jogja, seingat saya, masuk dan makan di Rejeki adalah semacam kesepakatan berdua yang kemudian diulang-ulang saban pagi.
Letak Rejeki yang tepat di pengkolan pasti salah satu faktor kenapa kami masuk ke situ. Jadi, begitu membelok dari jalan ke Toserba Pamor, masuk ke arah Tawangsari, dari kejauhan saya sudah bisa melihat warung yang selalu berjubel itu. Tapi, bisa ambil nasi dan sayur sendiri, jelas adalah faktor utama—paling tidak bagi saya. Saya terkejut manakala untuk pertama kali mengetahui bahwa di warung itu kita bisa makan ambil sendiri. Meski saat di rumah saya bisa melakukan itu, tapi mengambil nasi dan sayur sekehendak hati jelas tak bisa sembarangkan dan akan berujung pada tindakan tidak bertanggung jawab. Di Rejeki, saya seperti merasa merdeka.
Saya suka rasa kenyang setelah makan, juga penyuka sayur yang bersemangat. Dan Rejeki menyediakan itu.
Yang perlu ditekankan, kesenangan makan di Rejeki itu tidak saya lakukan karena saya rakus. Jika kata efisien agak sulit dimengerti, sebut saja itu sebagai tindakan menghemat. Makan (bukan sarapan) jam setengah 7 pagi dengan porsi banyak memberi saya sugesti bahwa saya tidak akan merasa lapar setidaknya sampai jam 4 sore. Dengan begitu, saya cukup makan dua kali sehari. Dan faktor inilah yang paling membuat kami makan, terutama pagi, di warung Rejeki.
Sampai kemudian saya kena batunya.
Sebagai penganut ideologi penting kenyang, saya dan juga Dar biasanya mengikuti pakem makan yang banyak dianut mayoritas mahasiswa Jogja waktu itu: sego siji tempe loro—dengan kombinasi tempe dan perkedel tahu atau bakwan (yang waktu awal-awal masih sering saya sebut sebagai ote-ote). Ini juga ditempuh agar kita tidak kejeblos makan menu yang mahal. Dengan mengikuti pakem begitu, setiap pagi kami berdua biasanya membayar dengan jumlah yang sama.
Sampai pada suatu hari, saya diharuskan membayar lebih beberapa ratus dibanding Dar. Mulanya saya anggap itu salah hitung, tapi selisih harga itu terjadi lagi di hari berikutnya, dan berikutnya lagi, sehingga membuat saya gusar. Mungkin karena kegusaran saya begitu sangat, meski tak sempat bertanya, “Kenapa makan saya lebih mahal?”, mbak-mbak penjual yang saya sebut di awal tadi kemudian menjelaskan: “Maaf, nasinya saya hitung satu setengah”. Modyar aku!
Kebebasan itu ternyata ada batasnya.
Setelah itu, saya tak terus sama sekali meninggalkan Rejeki. Meski begitu, kisah “nasi-satu-setengah” membuat saya berpikir untuk menjajal warung-warung makan lain di sekitar situ. Siapa tahu ada yang lebih murah.
WARUNG BU SRI
Tentu bukan karena mengalami “insiden” di Rejeki jika di bulan ketiga semester pertama saya pindah jauh dari kampus UGM. Namun, tentu saja, kepindahan ini masih berurusan dengan soal “makan dan memakan”. Saya tinggal berdua dengan seorang teman di sebuah kamar yang berdampingan dengan tangki air, di samping sebuah masjid di tepian Kali Code. Ini tempat dan masa-masa yang sulit dilupakan. Tempat saya untuk pertama kalinya mencoba terlibat secara langsung dengan masyarakat, masyarakat Jogja khususnya, dan berakhir dengan perasaan gagal. Juga tempat cerpen-cerpen pertama lahir; tiga bioskop mesum yang jaraknya hanya sejangkauan; pasar buku Shoping yang terasa di depan kamar.
Dan, tentu saja Warung Bu Sri.
Untuk ke kampus, setiap pagi saya mendaki dari tepian Code menuju Jalan Mataram, menunggu bus kota Jalur 2 atau Jalur 4. Di antara jalan mendaki dari tempat saya tinggal dan seberang Kantor Pos (Barang), tempat saya nyegat bus kota, saya biasanya membelok ke kanan sedikit, mampir ke Warung Bu Sri, warung ramai yang jadi tempat tukang becak Pasar Bringharjo makan, juga anak-anak Asrama Manado yang bersebelahan dengannya dan para pegawai Kantor Kelurahan Ngupasan yang tak jauh dari situ.
Di warung itu, saat itu, tiga ribu sudah bisa makan ayam—itu pun kadang bisa susuk. Tapi, tentu saja saya tidak termasuk yang tertarik. Saya masih memakai pakem “sego siji tempe loro”. Kalau rasa kangen atas masakan rumah sedang kumat, paling-paling saya nambah pindang (yang sebenarnya gerih itu)—lumayan, setidaknya dapat rasa asinnya. Jadi, paling-paling, angka belanja saya berkisar antara seribu hingga seribu lima ratus.
Tapi, dari pengalaman, saya kemudian menemukan pakem baru yang membuat makan pagi saya bisa jadi jauh lebih murah.
Di samping bahasanya yang nyaris seperti dialog ketoprak itu, hal yang memerlukan waktu lama untuk bisa saya telan dari Jogja adalah rasa sayurnya. Dan makan pagi dengan sayur sering membuat perut tidak nyaman—meski untuk alasan kenyang, hal itu kadang perlu diabaikan. Makan pagi tanpa sayur juga adalah sebentuk pemungutan ingatan: nasi hangat, sambal pedas dengan aroma petis yang keras, dan ikan layur atau ikan dodog goreng adalah kemewahan Pantura Jawa yang tak bisa ditemukan padanannya dalam belasan tahun di Jogja. Maka, pada suatu makan pagi, saya memesan nasi putih tanpa sayur, hanya dengan sambal, plus sepotong bakwan. Bu Sri adalah ketua pengajian di masjid setempat, di mana saya kerap ikut membantu. Karena itu, meski tidak pernah ambil nasi sendiri, nasi untuk saya selalu banyak. Dan demi melihat sepotong bakwan yang tampaknya tak berdaya melawan sendirian segundukan nasi, bukannya menambah bakwan, saya malah meminta agar nasinya dikurangi. Sehabis makan, saya bertanya: “Berapa, Bu?”. “Limaratus saja ….” Itu jawaban dan jumlah yang mengejutkan, tapi melegakan. Dan itu adalah pakem makan pagi saya yang baru: nasi setengah, tanpa sayur, bakwan satu. Pakem itu saya pakai jika diperlukan, dan itu tentu saja sering.
Makan dengan pakem macam itu bukan hanya ringan di kantong dan enak di perut, tapi juga ringkas dilakukan. Saya tidak senang makan berlama-lama, dan nasi panas dengan sambal dan sepotong bakwan membuat saya bisa memaksimalkan kecepatan makan saya. Dan ini baik untuk mahasiswa yang mesti menunggu bus kota untuk bisa sampai ke kampus. Dan makan saya bisa lebih cepat lagi jika di seberang meja saya melihat si Lamijo makan.
Saya tidak ingat namanya, tapi saya namai saja dia Lamijo. Ia pegawai kantor Kelurahan Ngupasan. Itu tampak dari seragam pamong yang dipakainya. Wajahnya bolong-bolong, dengan kumis tebal, hitam, dan kencang, atau anggap saja seperti itu; wajah-wajah yang dipunyai oleh para penjahat di film-film Suzzanna. Jadwal makan paginya sering bertepatan dengan jadwal makan pagi saya—mungkin dia sengaja. Saya tidak tahu apakah sifatnya segarang wajahnya, karena saya tidak mengenalnya, dan tidak berusaha mengenalnya. Namun, cukup dengan melihat piring makannya saja, saya memutuskan untuk tidak menyukainya. Ia selalu makan dengan ayam, paling jelek dengan lele. Dan hal itu membuat menu makanan saya yang sebenarnya tak ada persoalan jadi tampak sangat tidak enak. Dan karena itu saya cepat-cepat menghabiskan makan saya—sayang kalau tak dihabiskan.
(Lamijo, wajah tak menyenangkannya, dan menu makanannya yang lebih tak menyenangkan itu, sempat saya abadikan dalam sebuah cerpen berjudul “Cerita Sepotong Tempe”, yang diterbitkan dalam kumpulan cerpen milik sebuah badan pers mahasiswa UGM. Cerpen yang penuh amarah (dan rasa lapar) itu, saya ingat betul, dikomentari dengan nyinyir oleh seorang senior: “Kowe lagi mendem yo, Fud?” begitu tanya orang yang di kemudian hari menerbitkan novel saya, Kambing dan Hujan.)
Tapi jangan salah, bukan berarti saya tak pernah makan ala Lamijo. Untuk alasan yang mudah ditebak, saya masih meneruskan tradisi SMA saya, yaitu puasa senin-kamis. Tak memungkinkan masak sendiri, saya membeli nasi untuk makan sahur. Dan agar nasi tak terlalu dingin, saya membeli nasi dan lauk agak malam untuk saya makan tengah malam. Biasanya, saya beli nasi saat warung Bu Sri nyaris tutup, sekitar jam 9 malam. Ini menimbulkan pertanyaan. “Makannya kok telat banget, Dik Mahfud?”. Dengan malu-malu saya jawab bahwa nasi itu untuk sahur.
Pada kesempatan berikutnya, saya mendapati sesuatu yang janggal di bungkusan nasi saya. Ada paruh ayam menyembul dari balik kertas minyak yang distapler. Itu kepala ayam. Saya tidak terlalu suka, tapi bagaimanapun itu tetaplah ayam. “Sudahlah, daripada sisa,” jelasnya, sebelum saya bertanya. “Bayar nasinya saja.” Dan pada malam lainnya, saya kadang mendapati lele. Kadang malah daging ayam dari bagian terbaik.
Sampai setidaknya setahun kemudian, saya masih puasa senin-kamis. Tidak sekadar agar ngirit, tapi juga agar bisa makan ayam atau lele gratis.