MOJOK.CO – Jadi, tentang jilbab ini, kita tak perlu kaget. Bukan tidak mungkin, di masa-masa mendatang, aturan wajib akan terjadi di lebih banyak daerah.
Seorang siswi di Banguntapan, Bantul, melapor bahwa dirinya dipaksa pakai jilbab. Dia mengalami depresi karena mengalami pemaksaan tersebut. Sementara itu, Guru Bimbingan dan Konseling (BK) SMAN 1 Banguntapan, Bantul, DIY yang disebut telah memakaikan jilbab kepada salah seorang siswi secara paksa mengklaim telah meminta izin sebelum memakaikan kepada murid yang bersangkutan.
Soal memaksa seperti ini sebetulnya bukan hal baru. Pada 2019 lalu, saya melakukan riset kecil tentang fenomena jilbab di Indonesia untuk salah satu TV swasta. Waktu itu premisnya sederhana, bagaimana sih regulasi pemakaian jilbab di Indonesia? Sebagai negara sekuler, Pemerintah Indonesia punya sejarah lumayan panjang dengan pakaian ini. Jilbab pernah dilarang digunakan di sekolah-sekolah pada 1980. Namun kini ia malah jadi salah satu sumber polemik karena peraturan daerah.
Peraturan yang diskriminatif
Pada 2001, tiga kabupaten yaitu Indramayu dan Tasikmalaya (Provinsi Jawa Barat), dan Tanah Datar (Sumatra Barat) mengeluarkan keputusan wajib jilbab, sebagai perintah eksekutif. Keputusan itu merupakan bagian dari 154 peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan. Sebanyak 19 di antaranya diterbitkan pada tingkat provinsi, sementara tingkat kabupaten/kota ada 134 peraturan, dan satu peraturan daerah tingkat desa.
Peraturan daerah tersebut ada di 69 kabupaten/kota di 21 provinsi dan lebih dari setengah kebijakan daerah yang diskriminatif (80 kebijakan) diterbitkan nyaris secara serentak, yaitu antara 2003 sampai 2005. Ini menunjukkan satu gejala serius, betapa besar keinginan laki-laki untuk mengatur tubuh dan perilaku perempuan.
Memang, tidak semua aturan itu mewajibkan memakai jilbab. Sebanyak 80 di antara 189 peraturan diskriminatif itu secara langsung menyasar kepada perempuan. Peraturan ini menurut Komnas Perempuan, bertentangan dengan konstitusi dan semestinya dicabut atau batal demi hukum. Tapi apa ya mungkin? Wong liat aja Anies Baswedan, kurang Islam apa beliau? Anaknya saja tidak lepas dari kritik dan dipaksa berjilbab oleh orang asing.
Obsesi individual ini kemudian melembaga dalam bentuk perda. Januari tahun lalu, Komnas Perempuan menemukan adanya 62 kebijakan daerah yang memuat aturan busana yang mengadopsi interpretasi tunggal dari simbol agama mayoritas. Saya nggak nyebut Islam, ya. Secara agama ini kan damai, mana ada umat muslim yang suka random ngatur apalagi nyumpahin dosa ke orang asing di internet cuma karena dia nggak pake jilbab sesuai seleranya.
Kebanyakan perda-perda yang ada berkaitan mengatur tubuh perempuan. Seperti aturan memakai jilbab, memakai pakaian sopan, larangan menggunakan pakaian yang seksi, hingga perda yang membatasi aktivitas perempuan. Sialnya, penerapan peraturan ini kerap lebih memilih pendekatan yang mempermalukan pelanggarnya ketimbang memberikan pemahaman.
Perda jilbab yang diskriminatif
Jaringan Pemantau Aceh mencatat selama 2011 hingga 2012, terdapat 96 kasus kekerasan yang terjadi dalam konteks penerapan syariat Islam. Sejumlah 83 kasus di antaranya dialami oleh perempuan. Kasus tersebut di antaranya adalah kasus khalwat (berdua-duaan). Selain itu, ada juga kasus di mana ada sebanyak 234 perempuan berusia 14 sampai 55 tahun, yang mengalami kekerasan dengan adanya razia-razia jilbab.
Soal jilbab di Aceh ini juga bikin ingat tentang perdebatan mengenai Cut Nyak Dhien itu berjilbab atau tidak. Saat itu, beredar video-video yang menyebut bahwa Cut Nyak sebenarnya berjilbab, tapi karena manipulasi sejarah, dibikin tidak pakai. Dalam video yang sama juga disebutkan jika Pattimura merupakan muslim bernama Ahmad Lussy. Jangan-jangan Bunda Teresa itu Islam. Lihat saja beliau menutup aurat, suka bersedekah, dan punya nama asli Tasliymah?
Perda pakaian sopan dan jilbab yang ada menyasar tubuh perempuan, tapi minim sekali menyasar laki-laki. Tanggung jawab menutup aurat dibebankan pada perempuan, sementara laki-laki tidak. Ini adalah bentuk diskriminasi yang paling telanjang. Tapi pada praktiknya, pemerintah pusat atau aktivis perempuan tak bisa menentang atau mengkritisi perda ini tanpa dianggap anti terhadap agama.
Respons pemerintah Jokowi sebenarnya sudah bagus. Pada 2021, Menteri Agama (Menag), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), menandatangani surat keputusan bersama. SKB 3 Menteri ini mengatur tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Namun, aturan ini sudah dibatalkan Mahkamah Agung (MA).
Lagipula persoalan jilbab ini juga bukan hanya soal perintah agama, tapi juga punya nilai ekonomis yang sangat besar. Merk fashion ternama seperti Dolce & Gabbana telah merilis koleksi jilbab. Tidak hanya itu, merk retail seperti Nike dan H&M juga telah merilis produk-produk muslim untuk menyambut Ramadan.
Ada bisnis besar di sana?
Pada 2022, Indonesia mempertahankan posisinya pada The State of the Global Islamic Economy (SGIE) Report. Laporan tersebut menyebutkan bahwa konsumsi ekonomi syariah global yang mencakup enam sektor ekonomi riil mencapai dua triliun dolar AS oleh 1,9 miliar muslim seluruh dunia hingga kuartal III 2021.
Kontribusi terbesar konsumsi sektor riil berasal dari makanan halal sebesar 1,67 triliun dolar AS, tumbuh 7,1 persen. Diikuti modest fashion sebesar 375 miliar dolar AS yang tumbuh 6,1 persen, media dan rekreasi sebesar 308 miliar dolar AS atau tumbuh 7,5 persen.
Jadi, tentang jilbab ini, kita tak perlu kaget. Bukan tidak mungkin, di masa-masa mendatang, aturan wajib akan terjadi di lebih banyak daerah. Ini bukan cuma soal pakaian, apalagi agama. Mungkin ada perkara muamalah besar di belakangnya, makin banyak perda jilbab, makin banyak orang membutuhkannya, makin banyak dana umat yang didistribusikan untuk sesama.
Subhanallah. Jadi kangen Ustaz Yusuf Mansur.
BACA JUGA Lepas Hijab tapi Justru Merasa Lebih Beriman dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Yamadipati Seno